Minggu, 31 Maret 2013

Demokrasi Telah Wafat di Partai Demokrat




Demokrasi Telah Wafat di Partai Demokrat 

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Roh sebuah partai politik yang hidup di negara demokrasi adalah nilai demokrasinya. Partai politik ada dan dibutuhkan dinegara Republik Indonesia karena sistem ketatanegaraan yang sejak merdeka  memang  menganut sistem demokrasi. Partai Politik merupakan kekuatan yang menjadi perpanjangan tangan rakyat untuk ikut ambil bagian dalam pengelolahan negara dan pemerintahan. Partai politik bisa hidup dan berkembang juga karena proses demokratisasi, dimana kekuatan rakyatlah yang menjadi penentunya. Maka keberadaan dan gerak langkah partai politik di republik ini juga harus berdasarkan aturan dan prinsip demokrasi.

Nilai demokrasi tidak hanya pada melekat pada proses pengambilan keputusan di partai politik, tapi juga keputusan yang diambil melalui proses demokratisasi juga merupakan keputusan yang ternilai menggambarkan adanya nilai demokrasi di partai politik. Jika demokrasi sudah terabaikan dalam sebuah partai politik, atau demokrasi hanya dijadikan tameng,  maka partai politik tersebut pantas dianggap telah wafat dari kehidupan yang ber alam demokrasi. 

Partai Demokrat adalah salah satu partai politik yang hidup dan berkembang di negara republik yang beralam demokrasi bernama Indonesia. Dipastikan, itulah salah satu alasan partai bentukan SBY diberi nama Partai Demokrat (partai yang namanya menggunakan kata Demokrat). Partai yang lahir lima tahun setelah reformasi ini, langsung mendapat dukungan rakyat. Pertama kali ikut pemilu (Pemilu 2004) Partai Demokrat langung berada diurutan ketiga, dan pada Pilpres 2004, dan SBY yangt diusung Partai Demokrat juga berhasil mendapat kepercayaan rakyat menjadi sebagai presiden. Lalu pada pemilu kedua tahun 2009 yang diikuti, dukungan rakyat kepada Partai Demokrat semakin menguat dan berhasil meraih tahta sebagai partai pemenang pemilu, dan kembali SBY yang diusung partai ini berhasil dipilih rakyat jadi presiden untuk kedua kalinya. 

Ternyata perkembangan selanjutnya berkata lain. Puncak kejayaan dan kebesaran Partai Demokrat ambruk dalam sekejap. Penyebabnya adalah Kasus Korupsi yang melibatkan politisi Partai Demokrat. Dimulai dari keterlibatan seorang politisinya bernama M Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat dan anggota DPR RI) sebagai pelaku korupsi di sejumlah mega proyek,  Lalu berkembang dan merembet melibatkan politisi Partai Demokrat lainnya, diantaranya Angelina Sondakh (Wakil Sekjen partai Demokrat dan Anggota DPR RI), Andi Malaranggeng (Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat dan Menteri Pemuda Olah Raga) serta Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat). Dan diperkirakan masih ada keterlibatan sejumlah politisi lain di partai tersebut, termasuk indikasi keterlibatan Sekjen Partai Demokrat, Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang juga putra bungsu SBY.

Ambruknya nama besar Partai Demokrat, ditandai dengan merosotnya elektabilitas partai. SBY pun turun tangan. Penyelamatan diawali dengan pengambil alihan otoritas Anas selaku Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Setelah Anas ditetapkan tersangka oleh KPK dan mengundurkan diri dari Partai Demokrat dan dari jabatannya sebagai Ketua Umum. Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat pun digelar untuk mencari pengganti Anas, dan juga karena desakan kepentingan pencalegan yang memerlukan figur ketua umum defenitif sebagai penandatangan administrasi daftar caleg Partai Demokrat.

Dinamika politik internal Partai Demokrat menjelang KLB begitu menggelora. Satu sisi, faksi-faksi di partai tersebut mulai tampak menggalang kekuatan menuju kursi Ketua Umum. Di sisi lain gema aklamasi dan penetapan calon yang disyaratkan harus mendapat restu SBY juga berkumandang. Bahkan mendekati KLB, suara kencang pengusungan SBY dan Ibu Ani sebagai Calon Ketua Umum semakin bulat, dan dalam sekejap mengerucut ke pengusungan SBY. Manuver Marzukie Ali yang telah menggalang kekuatan, sempat membuat perbedaan paham antara SBY dan Marzukie Ali. Polemik sms antara SBY dan Marzukie pun sempat terjadi. 

KLB Partai Demokrat telah usai digelar di Bali tanggal 30 Maret 2013. Meskipun telah diperkirakan, namun keputusan-keputusan yng dihasilkan KLB tetap dianggap sangat luar biasa dan diluar kebiasaan. SBY terpilih secara aklamasi. Lalu SBY juga ditetapkan sebagai formatur tunggal untuk menyusun kepengurusan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagai peraturan partai pun diubah untuk kepentingan akomodasi terkait penyusunan kepengurusan partai dan kepentingan jabatan dan kekuasaan SBY di Partai Demokrat. Ketua Harian menjadi jabatan baru di Partai Demokrat dan Syarif Hasan diangkat untuk mengisi jabatan tersebut. 

Sebagai Ketua Umum terpilih, SBY juga masih tetap menduduki posisi lamanya sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan itu terlansir dengan diangkatnya Marzukie Alie sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi (menggantikan Anas), dan diangkatnya EE Mangindaan sebagai Ketua Harian Dewan Pembina. Sementara kepengurusan lain di Dewan Pembina dan Majelis Tinggi Partai Demokrat tetap diduduki orang yang sama.   

Pengangkatan Syarif Hasan sebagai Ketua Harian DPP, EE Mangindaan sebagai Ketua Harian Dewan Pembina dan Marzukie Ali sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi. adalah untuk membantu memperingan tugas SBY dengan tiga jabatan tertinggi yang dijabatnya di Partai Demokrat, sehingga tidak mengganggu tugasnya selaku presdiden. Dan sekaligus menjawab keraguan banyak kalangan atas jabatan rangkap SBY. Untuk kepengurusan DPP (selain penambahan jabatan Ketua Harian), juga diperkirakan akan ada penambahan jabatan lain, dan diperkirakan SBY juga akan mengganti sejumlah pengurus di jabatan posisi penting. Posisi Ibas sebagai Sekjen Partai Demokrat diperkirakan takkan bergeser. 

Pelaksanaan KLB Partai Demokrat memang sebagai amanat partai yang diatur oleh aturan tertinggi partai tersebut dan pelaksaan KLB sebagai bentuk tuntuan demokrasi di internal partai. Dalam konteks ini Partai Demokrat bertujuan melaksanakan proses demokratisasi dan mekanisme pelaksanaannya (soal kepanitiaan, utusan dan pemilik suara dalam KLB) juga masih dalam konteks mekanisme demokrasi, termasuk kesepakatan pengambilan keputusan dengan cara aklamasi. 

Namun yang disayangkan keputusan yang dihasilkan oleh KLB Partai Demokrat, telah mencederai nilai demokrasi. SBY yang terpilih secara aklamasi, tanpa meninggalkan jabatan lain di struktur Partai Demokrat, yaitu Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai yang sebelumnya telah dijabat SBY, adalah fakta bahwa SBY telah mengangkangi nilai demokrasi. SBY dengan tiga jabatan tertinggi yang didudukinya di Partai Demokrat, ditambah jabatan Sekretaris Jenderal yang juga jabatan strategis di Partai Demokrat tetap dipegang putra kandungnya Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas). semakin menasbihkan bahwa kuku kekuasaan SBY dan keluarganya telah menancap kuat di Partai Demokrat. SBY telah berhasil menjadi Paduka Raja dipartai besutannya, dan menjadikan kekuasaan monarkhi bercokol di partai yang berlabel demokrasi. 
Tak logika dan sangat diluar kebiasaan dalam berpartai maupun berorganisasi, bahwa sebagai pimpinan pembina atau penasehat, pengawas, dan pelaksana suatu partai atau organisasi dijabat oleh satu orang. Di organisasi  sebuah perusahaan saja, tidak pernah ditemukan  jabatan Presiden Komisaris atau Komisaris Utama dan Presiden Direktur atau Direktur Utama, diduduki oleh orang yang sama.  Namun fakta telah berbicara lain, Partai Demokrat telah direproduksi ulang melalui KLB Bali, dengan hasil yang luar biasa dan diluar kebiasaan. 

Penampilan atau performa baru Partai Demokrat hasil reproduksi KLB Bali, jasadnya tak lagi sepenuhnya berisi roh kekuatan demokrasi, karena telah digantikan oleh dominasi kekuatan monarkhi, yang terimplementasi dengan tancapan kuat cengkraman kekuasaan SBY dan keluarganya. Selanjutnya, demokrasi di Partai Demokrat hanyalah tinggal nama, dan sekedar tertempel dan terstempel sebagai pamflet, dan sebagai syarat untuk bisa hidup menjadi peserta dalam kompetisi politik memperebutkan kepercayaan rakyat dengan hadiah tropy kekuasaan. 

Sebenarnya Partai Demokrat sudah tak pantas menggunakan kata Demokrat dan jargon jargon yang berbau demokrasi, karena nilai demokrasi tak tercermin pada kepemimpinan baru di partai itu. Tapi karena regulasi negara ini tak bisa secara langsung mewafatkan partai dengan kondisi demikian, maka Partai Demokrat dengan roh monarkhi tetap bisa hidup. Penentu akhir kelangsungan hidup Partai Demokrat apakah bisa hidup dan berkembang atau wafat dan terkubur, atau setengah hidup dan setengah wafat alias sekarat, adalah suara rakyat negeri ini. Sebab suara rakyatlah yang bisa merekomendasikan dan menentukan kelangsungan hidup Partai Demokrat. Namun demikian dalam konteks kehidupan demokrasi, Partai Demokrat yang telah mengeyampingkan dan mensekaratkan bahkan bisa dianggap telah mewafatkan nilai demokrasi dalam penampilan barunya, selakyaknya sudah tak pantas hidup di alam kehidupan yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA