Sabtu, 11 Desember 2010

Menyampaikan Laporan Dan Sambutan pada Syukuran HUT Ke 2 Harian SIANTAR 24 Jam

Saat menyampaikan laporan dan sambutan pada Syukuran HUT Ke 2 Harian SIANTAR 24 Jam, Rabu 1 Desenber 2010. Di Halaman Kantor Harian SIANTAR 24 Jam Jalan Sriwijaya Pematangsiantar.

Foto Bersama Tim Junior SIANTAR FUTSAL

Bersama Tim Junior SIANTAR FUTSAL, sebelum pertandingan Eksebisi PEnutupan SIANTAR 24 Jam - LA Light Futsal Tournament 2010. Minggu 28 November 2010 LA Light Futsal Tournament 2010. Minggu 28 November 2010. Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar

Foto Bersama Perwakilan PT Djarum (Sponsor) dan Wasit Pertandingan SIANTAR 24 Jam Futsal Yournament 201T

Bersama Pimred (Putra Marpaung) dan Pimpres (Rencana Siregar) Harian SIANTAR 24 Jam, Perwakilan PT Djarum Adhi Krestanto (Sponsor) serta Komisi dan Wasit pertandingan SIANTAR 24 JAm - LA Light Futsal Tournament 2010. Minggu 28 November 2010. Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar

Menyerahkan Trophy Tetap Kategeri Pelajar kepada Juara I Tim FUTSAL SMA Negeri 2 PematangsIantar

Bersama Pimred Harian SIANTAR 24 Jam Putra Marpaung, menyerahkan Trophy Tetap kepada Tim Futsal Pelajar SMA Negeri 2 Siantar yang berhasil menjadi Juara I Kategori Pelajar SIANTAR 24 Jam - LA Light Futsal Tournament 2010. Minggu, 28 November 2010, Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar.

Menyerahkan Trophy Kepada Tim Futsal Pelajar

Saat menyerahkan trophy, uang pembinaan dan piagam kepada salah satu Tim Futsal Pelajar yang berhasil menjuarai SIANTAR 24 Jam - LA Light Futsal Tournament 2010. Minggu, 28 November 2010. Lokasi SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar.

Menyampaikan sambutan pada Penutupan SIANTAR 24 Jam Futsal Tournament 2010

Saat menyampaikan kata sambutan pada Penutupan SIANTAR 24 Jam-LA Light Futsal Tournament. Minggu, 28 November 2010. Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar

Foto Bersama Dengan Tim Futsal Pelajar pada Pembukan SIANTAR 24 Jam Futsal Tournament 2010

Foto bersama dengan wasit pertandingan dan dua Tim Futsal Pelajar yang akan melakukan pertandingan perdana pada Pembukaan SIANTAR 24 Jam-LA Light Futsal Tournament 2010. Selasa 23 November 2010. Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar.

Memberikan Sambutan dan Pembukaan SIANTAR 24 Jam Futsal Tournament 2010

Memberikan sambutan dan pengarahan pada Pembukaan SIANTAR 24 Jam-LA LIGHT Futsal Tournament 2010 Dalam rangka HUT Ke 2 Harian SIANTAR 24 Jam. Selasa, 23 November 2010. Lokasi : SIANTAR FUTSAL Indoor Soccer Jalan Sriwijaya Pematangsiantar.

Akhir Petualang Pejabat Polisi Arogan “Good Bye Fatori” ( Tulisan/Artikel )

Akhir Petualang Pejabat Polisi Arogan

“Good Bye Fatori”


Oleh : M Alinapiah Simbolon SH


Seorang Perwira Polisi yang bernama Fatori dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dengan gelar Sarjana Ilmu Kepolisian (Sik), akhirnya dicopot dari jabatannya sebagai Kapolresta Pematangsiantar, sejak tanggal 5 Desember 2010 lalu.

Meskipun dalam bahasa kepolisian tidak disebutkan pencopotan, yang jelas, pelucutan jabatan Fatori sebagai Kapolresta Siantar, menurut penulis merupakan akhir dari petualangan aksi arogansi bergaya preman seorang pejabat nomor wahid di instirusi kepolisian Kota Siantar, dan membawa catatan hitam dalam karir kepolisiannya.

Syukurlah, akhirnya oknum pejabat pemimpin kepolisian itu dicopot dari jabatannya. Tapi kalau dirunut kebelakang, tentu sangat disayangkan, kenapa baru tanggal 5 Desember 2010 kemarin Fatori dilengserkan dari jabatannya oleh stakeholder kepolisian. Idealnya sejak insiden dihalaman Mapolresta tanggal 8 Mei 2010 lalu, Fatori pantasnya sudah dicopot .

Namun tindakan arogansinya pada tanggal 8 Mei 2010.yang jelas-jelas telah menghinakan kebesaran korpsnya sendiri, dengan melemparkan topi dan tongkat komandonya kepada wartawan dan menantang para wartawan berduel sembari mengeluarkan kata kotor, ternyata tak membuat petinggi kepolisian mengambil tindakan pencopotan Fatori. Padahal sejumlah wartawan yang melihat langsung aksi Fatori itu, saat diundang Kapoldasu, telah menceritakan dan memberikan bukti perbuatan Fatori tersebut.

Kalau kita berandai-andai, maka seandainya Fatori dicopot sejak pristiwa itu, sudah barang tentu aksi arogansi dan gaya preman yang dipertontonkan Fatori tidak akan berlanjut . Razia tak beretika yang langsung dilakukannya dan kerap disertai kata-kata makian yang keluar dari mulutnya, lalu penyerangan terhadap Mapolresta Siantar oleh sejumlah oknum TNI akibat imbas dari penahanan sepeda motor, kemudian penyetopan terhadap mobil rombongan Bupati Simalungun JR Saragih, serta aksi arogansinya yang lain seperti keluarnya makian langsung maupun via telpon dan kepada kawan-kawan wartawan dengan kata-kata yang tak pantas, sampai kepada pemukulan Wartawan TV Andi Siahaan di tahanan dan berlanjut dengan pengancaman terhadap Andi Siahaan dipastikan tak akan pernah terjadi.

Yang pasti kebencian Fatori dengan sebahagian besar insan pers takkan berlangsung lama, dan pemberitaan terhadap arogansi Fatori yang mencoreng citra kepolisian takkan terjadi terus menerus

Juga sebaliknya, kalaulah Fatori dilengserkan sejak saat itu, mungkin lembaga kepolisian yang dipimpinnya tak tercoreng oleh perbuatannya, dan mungkin Fatori enyah dari bumi Siantar tidak membawa catatan kriminal akibat diduga menganiaya serta mengancam tahanan. Dan mungkin juga aparat polisi bawahannya tak makan hati cukup lama dengan arogansi kepemimpinannya. Bahkan masyarakat yang berkepentingan dengan kepolisian tak merasa takut dengan aturan kaku yang dibuatnya.

Tapi sudahlah, sekarang Fatori sudah tidak mejabat lagi sebagai pimpinan polisi di bumi Siantar. Aksi petualangan arogansi perwira menengah dari pejabat polisi yang bernama Fatori sudah tak ada lagi dan sudah berakhir, “Good Bye Fatori”. Memang tidak bisa dipastikan kalau aksi seperi itu tidak berlanjut, karena tidak bisa dipastikan kalau pengganti Fatori akan lebih baik dari Fatori atau justru sebaliknya.

Rentetan adegan arogansi yang terjadi selama Fatori menjabat Kapolresta Pematangsiantar, dapat dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya, baik bagi Pejabat Kapolresta yang baru maupun masyarakat dan khususnya para insan pers.

Para wartawan harus tetap kritis ketika polisi tak becus melakukan tugasnya, dan polisi selain harus bekerja melakukan penegakan hukum dengan benar dan menjamin adanya rasa keadilan, juga harus menjalankan fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Bukan mengajari, yang pasti polisi punya aturan main dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya yaitu UU No UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian., serta punya kode etik yang tertuang dalam Tri Brata dan Catur Prasatya. Sekali lagi “ Good Bye Fatori “.


Penulis Adalah

Ombudsman Harian SIANTAR 24 jam, dan

Direktur Eksekutif Government Monitoring (Gomo) Siantar Simalungun.

Perubahan Atau Perseteruan Lanjutan (Tulisan /Artikel)

Perubahan Atau Perseteruan Lanjutan

Oleh : M Alinapiah Simbolon SH


Siapa pun yang ditanya, tentu sangat menginginkan terjadi perubahan pasca dilantiknya Hulman Sitorus dan Koni Ismail Siregar sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar periode 2010-2015. Perubahan menjadi sesuatu hal yang paling diidamkankan masyarakat, mengingat dua periode kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota sebelumnya, selalu diwarnai konflik politik yang kerap memanas, dan berimbas kepada terhambatnya program pemerintahan.

Harapan terhadap dua sosok yang telah resmi berpasangan sebagai penguasa pemerintahan ini, utamanya adalah bisa menjadi inspirator dan aktor terjadinya perubahan dalam konteks adanya kemajuan dan terciptanya harmonisasi dalam pemerintahan Siantar, meskipun saat pencalonan keduanya tidak secara eksplisit meggiring isu perubahan.

Terlepas apakah kemenangan yang diraih Hulman dan Koni pada pemilukada lalu, diraih dengan fair atau tidak, yang jelas kemenangan mereka patut diberikan apresiasi, setidaknya karena dinilai mampu menaklukkan incumbent, dan sekaligus mampu menghentikan atau membuat tidak berlanjutnya kekuasaan yang bergaya monarkhi dibawah kekauasaan RE Siahaan. Dan tidak hanya itu kemenangan tadi juga diharapkan menjadi tonggak untuk mewujudkan impian masyarakat yang tak mau lagi melihat dan mendengar adanya disharmonisasi yang antar elit politik dan tak ingin Siantar sebagai kota yang wajah pemerintahannya carut marut akibat kentalnya praktek nepotisme dan merebaknya prilaku korupsi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah perubahan sebagaimana yang diharapkan masyarakat akan dapat terwujud dibawah kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota yang baru, ? Secara objektif memang belum bisa dinilai, kendati demikian dikalangan masyarakat banyak pendapat yang muncul kepermukaan. Mungkin dikalangan masyarakat yang mendukung Hulman-Koni merasa optimis bahwa dibawah kepemimpinan Hulman dan Koni, Siantar akan ada perubahan, setidaknya akan lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Sah-sah saja penilaian itu, meskipun didasarkan pada faktor emosional dan bukan berdasarkan nilai objektivitas. Dan sebaliknya sah-sah saja ketika ada juga sebagian masyarakat yang secara emosional, karena bukan pendukung Hulman dan Koni, juga merasa pesimis tidak terjadi perubahan, bahkan memperkirakan kepemimpinan sekarang akan lebih parah dari kepemimpinan sebelumnya.

Berbagai estimasi pro kontra yang muncul ditengah-tengah masyarakat, setidaknya bisa menjadi atensi, mengingat bahwa kondisi pemerintahan Siantar selama ini dan sampai saat ini yang masih penuh persoalan. Dan kondisi itu telah mempeneltrasi pemikiran masyarakat untuk ikut menilai kinerja pemerintahan. Tak hanya itu, kekhawatiran masyarakat juga cukup besar, sehingga harapan terjadinya perubahan, dinilai berpotensi besar untuk tidak terwujud atauppun sulit terwujud. Hal itu tergambar di pemikiran masyarakat, akibat masih bersemayamnya bibit perseteruan antara eksekutif dan legislatif, yang saat ini dinilai sudah terkondisi.

Awal perseteruan sudah terjadi dan puncaknya terkait persoalan pelantikan Walikota dan Wakil Walikota, dan ini dinilai akan terus berlanjut. Bendera start perseteruan babak baru, dengan tidak mengakui Walikota dan Wakil Walikota, sudah diproklamirkan ke publik oleh Ketua DPRD Pematangsiantar yang dari awal memang tidak mau ikut terlibat dalam pelantikan penguasa baru Siantar itu. Sudah barang tentu gendering perang yang dicetuskan Ketua DPRD itu akan berimbas kesegala arah, terutama akan menghambat jalannya program dan kinerja pemerintahan. Jika demikian yang bakal terjadi, dapat dipastikan kalau pembahasan beberapa agenda pemerintahan di DPRD khususnya Pembahasan PAPBD 2010, juga diperkirakan akan terkendala.

Anggota DPRD Pematangsiantar, secara substansi juga belum mengejewantahkan diri sebagai wakil rakyat, karena terkadang lebih mementingkan kepentingan pribadi, dan tak terlepas juga ada kepentingan politisnya. Dan situasi di lembagai DPRD Siantar yang demikian, jelas tak menjamin lancarnya proses pembahasan berbagai agenda yang terkait dengan pemerintahan, dan kedepan juga tak menjamin terjalinnya hubungan harmonis antara eksekutif dan legislatif. Hubungan harmonis belum tentu terjalin, tetapi perseteruan babak babak baru berpeluang bakal terjadi, itulah realita dari gambaran kondisi yang diprediksi bakal terjadi untuk lima tahun kedepan.

Memang tak sepenuhnya beban dan tanggung jawab untuk memajukan kota Siantar berada di pundak Walikota dan Wakil Walikota, namun sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan, Walikota dan Wakil Walikota lah yang berperan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, termasuk berperan menciptakan hubungan yang harmonis dan kondusif dengan lembaga legislatif, serta dengan lembaga lain dan komponen masyarakat yang ada.

Sekarang ini yang ada dihadapan penguasa baru kota ini, adalah harapan masyarakat yang menginginkan terjadi perubahan, apakah itu dapat diwujudkan, tentunya, tergantung kemauan dan kemampuan Hulman Sitorus dan Koni Ismail sebagai pasangan pemimpin. Pastinya, untuk menciptakan perubahan ditengah kondisi masih bersemayamnya bibit perseteruan antar elit politik, dan banyaknya persoalan pemerintahan peninggalan penguasa lama yang harus mereka hadapi, bukan segampang membalikkan telapak tangan. Perubahan tak bisa diprogram dan diwujudkan hanya dengan janji-janji. Terwujudnya perubahan adalah dengan pembuktian, paling tidak berusaha untk melakukan langkah awal untuk membuktikannya, tak bisa direalisasikan dengan iming-iming baik dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk voucher. Namun begitu pun kita tunggu saja apakah harapan masyarakat itu bisa terwujud di bawah kepemimpinan penguasa baru, atau kondisinya akan tetap pada posisi status quo yaitu kembali berlangsung perseteruan lanjutan.. (***)

Sabtu, 31 Juli 2010

Kisah Dibalik Kasus Pembongkaran Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Ketiga/Habis) - Catatan Kasus

Kisah Dibalik Kasus Pembongkaran Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Ketiga/Habis)
Bantah Tuduhan, Dan Paparkan Bukti Rekayasa

Laporan : M Alinapiah Simbolon SH


Tuduhan Rosmawati Djingga terhadap kelima anak kandung Almarhun Tho Cing Weng, yang melakukan persekongkolan dengan Rusdi selaku pegawai Bank PT Cimb Niaga Tbk Pematangsiantar, membongkar Safe Deposit Box, atas nama ayah kadnung mereka Almarhum Tho Cing Weng, dibantah keras kelima anak saudara kandung tersebut. Tidak hanya itu yang mereka dibantah, tuduhan yang tertuang didalam gugatan perdata yang diajukan Rosmawati Djingga juga mereka dibantah habis-habisan.

“ Tidak ada yang benar, semua yang dituduhkan perempuan itu (Rosmawati Djingga) terhadap kami, satu pun tak ada yang benar,” kata Adi Sufianto didampingi saudaranya Herlina, Diana dan Hasan, saat ditemui di depan Tahanan Kejaksaan. Negeri Pematangsiantar, Selasa (27/7).

“ Kita tidak pernah melakukan persekongkolan dengan Rusdi untuk membongkar Safe Deposit Box itu, kita mengajukan sesuai prosedur dan kita lengkapi dengan surat keterangan waris dan kuasa ahli waris dan laporan hilang kunci Safe Deposit Box dari Polresta,” tegas Adi Sufianto.

Herianto juga mengungkapkan hal sama saat ditemui di rumah sakit tempatnya dirawat. “ Kita taidak pernah bersekongkol dan tuduhan wanita itu tidak ada yang benar, termasuk tuduhannya didalam gugatan perdata satupun tak ada yang benar, dan hanya pengakuan yang keluar dari mulutnya, tanpa ada bukti autentik,” ujar Herianto.

Menurut ayah dua anak itu pengakuan Rosmawati, bahwa dia banyak memiliki harta bawaan, hanyalah pengakuannya saja yang dituangkannya dalam gugatan perdata, tanpa ada bukti autentik. Begitu juga tuduhannya terhadap kelima anak kandung Almarhum Tho Cing Weng diantaranya pernah meminjamkan uang kepada Herianto untuk modal usaha membuka toko Nusantara di Jalan Merdeka sebesar Rp 400 juta, dan meminjamkan uang untuk modal nikah, menurut Herianto adalah bohong. “ Saya buka usaha tahun 1997 dan belum kenal dengan wanita itu dan saya nikah tahun 1995 dan juga belum kenal dengan dia, itukan namanya pembohongan,” katanya.

Begitu juga tuduhan terhadap saudaranya yang katanya juga ada meminjam uang kepada Rosmawati, juga dibantah Herianto, karena menurutnya itu hanya pengakuan yang tanpa bukti kuat. Seperti tuduhannya meminjamkan uang kepada Herlina untuk sewa kantin RS Vita Insani sebesar Rp 150 juta, meminjamkan uang kepada Diana untuk sewa rumah sebesar Rp 100 juta, kepada Adi Sufianto untuk sewa toko sebelah RS Vita Insani sebesar Rp 200 juta, kepada Hasan katanya karena kalah judi sebesar Rp 300 juta dan kepada Adi Sufianto untuk usaha jual beli mobil sebesar Rp 200 juta. “Semua yang dituduhkannya itu kepada kami jelas tidak benar, apalagi tak ada buktinya.,” tegasnya.

Herianto dan saudaranya juga menuding segala surat-surat yang dibuat Rosmawati Djingga, yang menjadi dasar baginya mengakui sebagai ahli waris almarhum ayah mereka merupakan rekayasanya sendiri. Yang diherankan mereka mengapa Lurah Pahlawan P Sitorus dan diketahui Camat Siantar Timur Junaidi Sitanggang S STP, juga menerbitkan surat keterangan sebagai waris Almarhum Tho Cing Weng atas nama Rosmawati Djingga, padahal sebelumnya, Lurah tersebut dan diketahui Camat yang sama telah mengeluarkan surat keterangan sebagai ahli waris Almarhum Tho Cing Weng atas nama kelima anak kandung Almarhum Tho Cing Weng.

Juga yang diherankan mereka yaitu keluarnya surat keterangan nikah atas nama Tho Cing Weng dan Rosmawati Djingga. Surat keterangan nikah tersebut terbit setelah 9 hari setelah ayah mereka meninggal dunia. Dan surat itulah yang dijadikan Rosmawati mengurus surat keterangannya sebagai ahli waris, dan ironisnya Ketua PN Pematangsiantar pun melegalkan surat keterangan waris atas nama Rosmawati Djingga tersebut. “ Inikan aneh bin ajaib namanya, masak surat keterangan nikah ayahnya dengan wanita itu, keluar setelah beberapa hari ayahnya meninggal dunia, inikan tak logika namanya dan ada unsur rekayasa, semasa Rosmawati tinggal dengan ayah saya, kami tidak tahu pasti apa mereka resmi menikah, karena kami awalnya memang tak setuju,” kata Herianto.

Yang lebih kejam dan dinilai betul betul rekayasa menurut Herianto adalah keluarnya akta notaris dari Notaris Robert Tampubolon yang isinya menyatakan bahwa Almarhum Tho Cing Weng semasa hidupnya untuk pertama serta untuk penghabisan kalinya telah menikah dengan Rosmawati Djingga dan tidak mempunyai anak. “ Inkan sadis dan jelas rekayasanya,” katanya lagi.

Pihak Rusdi juga tak habis pikir atas rekayasa yang diduga dilakukan Rosmawati Djingga tersebut. Rusdi melalui Ajuna Ginting SH selaku pengacaranya, menduga kuat kalau semua itu merupakan rekayasa, dan banyak pihak yang diduganya juga terlibat. “ Kita pasti akan mengungkapkan dugaan keterlibatan pihak-pihak tersebut,” katanya saat dihubungi melalui selularnya.

Ditambahkannya, bahwa dia sangat mengesalkan kenapa seorang lurah yang sama begitu berani menerbitkan surat keterangan ahli waris atas nama Rosmawati Djingga dan diketahui camat yang sama , padahal sebelumnya lurah tersebut telah mengeluarkan surat keterangan ahli waris untuk dari pewaris yang sama untuk atas nama lima anak kandung Almarhum Tho Cing Weng. Begitu juga dengan surat yang dikeluarkan Sulthoni SH MH Ketua PN Pematangsiantar yang melegalkan surat keterangan ahli waris hanya berdasarkan surat keterangan ahli waris atas nama Rosmawati Djingga yang dikeluarkan lurah Pahlawan tersebut. Begitu juga dengan akte notaries yang dibuat Notaris Robert Tampubolon SH. “ Kita patut menduga ada apa-apanya dengan terbitnya surat Lurah, surat Ketua PN dan akte notaris itu,” tandas Arjuna.

Dikatakannya lagi bahwa, persoalan persekongkolan membuka Safe Deposit Box itu yang dituduhkan Rosmawati Djingga kepada kliennya Rusdi juga penuh kecurigaan, “Kenapa hanya Rusdi dan lima anak kandung Tho Cing Weng yang dijerat pidana, petugas yang melakukan pembongkaran kenapa tidak ikut dipidanakan,” tanyanya.

“ Kita telah pelajari semuanya dan nanti dipersiadangan kita akan ungkapkan semua kejanggalan dan rekayasa dan kita akan membuktikan bahwa proses pembongkaran Safe Deposit Box itu sudah prosedural, karena seperti itulah proses yang sudah sering terjadi jika ada masalah ahli waris pemilik Safe Deposit Box yang sudah meninggal,” jelasnya. (Habis)

Kisah Dibalik Kasus Pembongkaran Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Kedua) - Catatan Kasus

Kisah Dibalik Kasus Pembongkaran Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Kedua)
Dizholimi Ibu Tiri, Terpaksa Mencari Keadilan Dari Balik Jeruji


Laporan : M Alinapiah Simbolon SH


Rasa kesal dan benci dari dari lima saudara kandung yang dipenjarakan Rosmawati Djingga, sudah pasti akan terus terus terpendam dan terdendam didalam hati lima saudara kandung ahli waris asli Almarhum Tho Cing Weng. Tentu perasaan yang sama juga dirasakan oleh Rusdi yang juga dipenjarakan wanita yang mengaku isteri Almarhum Tho Cing Weng tersebut.

Bagi ke enam orang tersebut, berada dibalik terali besi bukanlah sesuatu keadilan yang sesungguhnya. Dan mereka tak menyangka kalau akan mengalami nasib sebagai orang pesakitan, serta menghadapi tuduhan telah melakukan perbuatan pidana di meja hijau. Kondisi itu mengharuskan mereka bersabar dan sambil berjuang dan berharap keadilan itu datang meski harus berada di balik jeruji.

Ternyata tidak hanya itu yang mereka hadapi, akibat niat busuk Rosmawati Djingga yang ingin menguasai warisan Almarhum Tho Cing Weng. Mereka juga harus menerima beban psikologis yang sangat berat, dan beban psikologis itu itu juga sangat dirasakan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil.

Seperti yang dialami Diana, tangisan dua buah hati Diana, yaitu Aan yang berusia 2 tahun dan Ce Ce yang berusia 10 tahun, yang menemuinya di depan ruang tahanan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar usai sidang di Pengadilan, Selasa (27/7), ternyata mengalahkan ketegaran dirinya sebagai seorang ibu. Rengekan dan jeritan dengan ugkapan “ Pulang Ma….Pulang Ma…” yang berulangkali keluar dari mulut Aan anak bungsunya, serta pelukan erat disertai tangisan dari putinya Ce Ce, akhirnya tak bisa membendung air mata Diana. Sembari menangis, ia pun memeluk erat dua buah hati yang sangat disayanginya itu. Sang suami bernama Darwin juga tak kuasa menahan tangisnya. Mata puluhan orang yang menyaksikan adegan sedih tersebut pun ikut berkaca-kaca, termasuk saudaranya Adi Sufianto Hasan dan Herlina yang juga bergabung bersama Diana dan dua anaknya itu.

“ Dia (Aan), terus sakit selama aku dalam tahanan, dia rindu samaku, dan sekarang ini pun dia masih demam tinggi. tapi apa yang harus kuperbuat. Ini semua akibat perbuatan busuk perempuan (Rosmawati Djingga. Red) itu, dan ini juga buah dari penzholiman yang dilakukannya dan buah ketidakadilan yang kami terima,” ungkapnya sesenggukan.

“ Seorang wanita berjilbab, yang saat itu datang bersama dua anak Diana,yang ternyata ipar Diana (adik suaminya), juga tampak sedih dan mengeluarkan air mata melihat pertemuan Diana dan anaknya. “ Selama tiga bulan ibunya ditahan, si Aan terus sakit, makan tak selera dan tidur selalu mengigau, karena rindu dengan mamaknya. Ngeri kali cobaan yang diterima Diana dan saudaranya, anaknya pun jadi korban,” katanya.

Kondisi itupun membuat Maria SM Purba SH dan Dewi R Susanna SH selaku pengacara kelima saudara kandung itu, tak tinggal diam. Merekapun berupaya mengajukan permohonan penangguhan untuk Diana, kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemamtangsiantar.

Herianto, yang merupakan lelaki tertua dari lima bersaudara itu, juga menanggung beban psikologis yang berat atas masalah yang dihadapinya bersama saudara kandungnya. Dia pun stress memikirkan nasibnya dan saudaranya. Akibat beban pikiran yang berat, akhirnya dia jatuh sakit dan kini dirawat di salah satu rumah sakit swasta, dan statusnya dibantarkan sampai sembuh. “Aku stress memikirkan semua yang kami hadapi dan jantungku pun kumat dan sakit pada pencernaan. Aku juga terpaksa dipapah ke pengadilan menghadiri sidang.,” ujarnya.

Tak hanya anak kelima anak kandung Almarhum Tho Cing Weng yang merasa terzholimi, akibat perbuatan busuk Rosmawati Djingga. Rusdi dan keluarganya pun merasakan hal yang sama. Julikin isteri Rusdi, meskipun tampak tegar, namun apa yang ada di dalam perasaannya, sulit terungkapkan. “ Suami saya sangat dekat dengan dua anak kami. Anak saya sampai saat ini terus menanyakan kapan papanya pulang. Kalau mereka sudah bertanya seperti itu, saya langsung sedih. Kok begini lah beratnya cobaan yang saya hadapi,” tuturnya.

“ Saya tidak terima dengan apa yang dituduhkan Rosmawati terhadap suami saya, Saya dan keluarga merasa yakin kalau keadilan dan kebenaran akan terkuak. Semua rekayasa yang di buat Rosmawati pasti akan terungkap. Kakak saya di Jakarta juga banyak membantu dan mengirimkan pengacara dari sana untuk mendampingi suami saya,” katanya.

Sementara Arjuna Ginting SH selaku kuasa hukum Rusdi, saat dihubungi melalui telepon seluler, mengatakan bahwa dia telah menyurati berbagai pihak atas ketidakadilan yang diterima kliennya selama proses kasus tersebut. “ Kita telah menyurati berbagai pihak atas kejanggalan kasus tersebut termasuk rekayasa yang dibuat Rosmawati Djingga. Saya langsung menghantarkan surat-suratnya dan saat ini saya masih di Jakarta dan sudah saya pastikan segala surat-surat sudah sampai. Dalam waktu dekat saya akan turun ke Siantar dan membeberkan semuanya,” tandas Arjuna. (Bersambung)

Kisah Dibalik Kasus Pembongkaran Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Kesatu) - Catatan Kasus

Kisah Dibalik Kasus Safe Deposit Box Di Bank PT Cimb Niaga (Bagian Kesatu)
Klaim Sebagai Ahli Waris, Penjarakan Pewaris Sah Dan Pegawai Bank

Laporan : M Alinapiah Simbolon SH

Ironis dan tragis kalau orang yang merasa tak bersalah akhirnya meringkuk diterali besi karena direkayasa melakukan sebuah perbuatan tindak pidana. Hal itulah yang dialami lima orang kakak beradik kandung dan seorang pegawai Bank PT Cimb Niaga Tbk Pematangiantar.

Herlina, Herianto, Adi Sufianto, Diana, Hasan sebagai anak kandung dan ahli waris sah dari Almarhum Tho Cing Weng, dan Rusdi yang merupakan Asisten Manager di Bank PT Cim Niaga Tbk Pematangsiantar (dulunya bernama Bank Lippo), tentu tak bisa terima atas nasib mereka yang dituduh bersekongkol membongkar Safe Deposit Box (SDB) di Bank PT Cimb Niaga Tbk Pematangsiantar pada tanggal 27 Januari 2010, milik dan atas nama Almarhum Tho Cing Weng. Dan mereka juga tak bisa terima ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dibalik jeruji. Tuduhan itu mereka nilai sebagai rekayasa yang dilakukan wanita bernama Rosmawati, yang tiba-tiba belakangan mengaku sebagai ahli waris satu-satunya.

Wajar saja jika tuduhan yang dilakukan Rosmawati, diduga oleh lima anak kandung Almarhum Tho Cing Weng, merupakan hasil rekayasa untuk menguasai harta warisan Almarhum Tho Cing Weng, dengan mengklaim sebagai ahli waris, melalui bukti surat yang diduga rekayasa. Anehnya justru lima orang kakak beradik kandung yang merupakan anak kandung serta seorang pegawai Bank PT Cimb Niaga, yang dipolisikan wanita yang konon katanya pernah menjadi isteri Tho Cing Weng. Anehnya lagi, pengaduan Rosmawati Djingga tersebut terhadap kakak beradik yang merupakan anak kandung hasil perkawinan Almarhum Tho Cing Weng dengan Almarhum Tjai Hong, menghantarkan mereka kebalik jeruji, dengan tuduhan melakukan pembongkaran Safe Deposit Box milik Almarhum Tho Cing Weng (ayah mereka sendiri) di Bank PT Cimb Niaga Tbk Pematangsiantar.

Tak hanya kelima orang itu, Rusdi salah seorang pegawai Bank yang menjabat sebagai Asisten Manager di Bank Bank PT Cimb Bank Niaga Tbk Pematangsiantar yang merasa sudah melakukan pekerjaannya membuka Safe Deposit Ban itu secara prosedural tersebut pun juga ikut dilaporkan Rosmawati Djingga ke polisi, dan nasibnya juga sama dengan Herlina, Herianto, Adi Sufianto, Diana, Hasan.

Kejam dan sadis perlakuan yang telah diterima lima bersaudara itu, begitu juga dengan apa yang diterima oleh Rusdi. Herlina, Adi Sufianto, Diana, dan Hasan yang sempat ditemui usai persidangan di PN Pematangsiantar, Selasa (27/7) sekitar Jam 02.00 WIB, menuturkan kalau semua yang dilakukan oleh Rosmawati Djingga merupakan rekayasa dan fitnah yang kejam. “Dia telah merekayasa semuanya, Masak kami anak kandung dan ahli waris yang sah yang dipenjara, kita tidak terima dengan semua ini,” ujar Adi Sufianto berurai air mata.

“ Kami tak tahu kemana kami mengadu, kalau Tuhan punya alamat kami akan mengadu melalui surat resmi kepada Tuhan. Tapi kami yakin bahwa hukum akan berlaku adil, tapi yang kami rasakan meringkuk dipenjara selama tiga bulan, tidak hanya pada kami dampaknya, tapi dampaknya psikologisnya juga terhadap anak-anak kami yang masih kecil,” timpal Diana terisak-isak sambil memeluk dua anaknya yang masih kecil.

Herianto yang tebaring dirumah di RS Vita Insani, saat ditemui, Selasa (27/7) sekitar Jam 19.00 WIB, juga menegaskan kalau mereka merasa tidak bersalah membuka Safe Deposit Box milik Almarhum ayahnya tersebut. “ Kita telah melakukannya secara prosedur, dengan surat ahli waris yang lengkap, bahkan sebelumnya kita sudah buat laporan hilang ke Polresta, dan kita lampirkan surat laporan hilang itu, saat mengajukan pembongkaran Safe Deposit Box itu. Yang jelas kita tidak pernah bersekongkol dengan Rusdi dalam membongkar Safe Deposit Box itu,” kata Herianto.

Menurut Herianto, banyak tuduhan terhadap dia dan saudaranya, merupakan fitnah, termasuk tuduhan yang dinyatakan Rosmawati Djingga dalam gugatan perdata yang diajukannya di pengadilan, dan kita bisa membuktikan dan punya bukti yang kuat kalau tuduhannya itu tidak benar sama sekali. “ Semua yang dituduhkan Rosmawati adalah fitnah dan tidak benar, kita dapat membuktikan bahwa tuduhannya tidak benar, dan kita bisa membuktikan bahwa semua itu rekayasa,” tambahnya.

Sementara pihak Rusdi melalui pengacaranya Arjuna Ginting SH, juga menilai kalau pengaduan Rosmawati Djingga terhadap kliennya Rusdi dan kelima anak kandung dan ahli waris Almarhum Tho Cing Wei adalah rekayasa. Arjuna yang dihubungi melalui telepon seluler, mengaku telah melakukan berbagai upaya dalam mengkuak rekayasa yang diduga dilakukan oleh Rosmawati Djingga. “ Banyak kejanggalan seputar surat-surat milik Rosmawati Djingga yang diduga rekayasa. Kasus ini perlu di clear kan, agar publik tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, Dan jika klien saya tak terbukti bersalah kita akan mengadukan Rosmawati telah melakukan fitrnah dan pencemaran nama baik,” ungkapnya.

Anehnya sampai pada sidang kedua berkas dimana kelima anak Almarhum Tho Cing Weng sebagai terdakwa, ternyata batang hidung Rosmawati Djingga (yang menjadi pelapor dan saksi korban) tidak tampak hadir di persidangan. Ketidakhadiran Rosmawati Djingga tentunya menjadi tanda tanya, bahkan informasinya pihak kejaksaan juga tak mengetahui dimana keberadaan Rosmawati Djingga. “ Seenak itu dia mengadukan orang, tapi saat persidangan dia tak hadir, hebat kali dia dan sedah sesesuka hatinya,” celetuk salah seorang keluarga terdakwa. (Bersambung)

Minggu, 20 Juni 2010

Pemilukada Berlumur Noda (Tulisan / Artikel)

Pemilukada Berlumur Noda

Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH



Helatan pemilukada Siantar, telah usai digelar. Tak disangka pesta demokrasi dalam rangka suksesi kepemimpinan Kota Siantar tersebut hanya berlangsung satu putaran, dan hasilnya pun telah diketahui dan pemenangnya telah ditetapkan oleh pihak penyelenggara. Pragmentasi pemilukada mulai dari proses awal hingga penetapan siapa yang menjadi pemenangnya, kini hanya tinggal cerita, dan mungkin akan menjadi catatan sejarah, itupun kalau kelak masih diingat dan dikenang.

Yang menang, untuk sementara sembari menunggu legalitas kemenangannya, pasti merasa berbahagia dan merasa bersyukur, meskipun masih ada rasa kekhawatiran karena kemenangannya masih diusik oleh pihak yang tak bisa menerima kekalahan.. Yang tak berhasil meraih kemenangan, dengan terpaksa harus menerima kekalahan, kendati masih ada yang tak bisa terima dengan kekalahan dan tak terima dengan kemenangan pasangan pemenang, dan kemungkinan akan melakukan upaya resistensi melalui jalur hukum untuk menggagalkan hasil kemenangan pasangan pemenang.

Jika memang ada perlawanan dari pihak yang kalah, maka tak tertutup kemungkinan kemenangan yang telah diraih pasangan pemenang bisa digagalkan melalui gugatan, dan efektifitas gugatan itu tergantung hasil keputusan lembaga yang berwenang memutuskan persoalan pemilukada yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun untuk sementara pasangan pemenang, adalah calon yang diprioritaskan untuk dinobatkan sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Jika akhirnya tak ada yang merasa keberatan, ataupun perlawanan tak berhasil menggagalkan kemenangan, maka kemenangan tadi dipastikan akan dilegalkan pada saat acara pelantikan sebagai puncak kemenangan. Dan pada tahap ini akan paripurna lah rasa bahagia dan rasa syukur sang pasangan pemenang.

Terlepas apapun hasilnya, sudah menjadi rahasia umum kalau pemilukada Siantar diwarnai berbagai persoalan, dan persoalan-persoalan itu menjadi lumuran noda dan catatan buruk dalam proses perjalanan pemilukada di Kota Pematangsiantar. Perseturuan antara KPU dan Panwaslukada, yang kemudian diakuinya Panswaslukada setelah jadwal Pemilukada ditetapkan, adalah sebuah ketimpangan dari perjalanan awal proses pemilukada di Siantar. Lalu, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dan banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT, juga menjadi problema yang tidak bisa di antisipasi oleh penyelenggara. Tidak hanya itu, persoalan dukungan sah terhadap lima pasangan calon perseorangan juga menjadi sangat diragukan kebenarannya, dan tak sesuai dengan kenyataan, jika di bandingkan dengan total hasil suara yang diraih ke lima calon perseorangan setelah pemungutan suara.

Persoalan lain yang lebih dilematis adalah terkuaknya masalah Ijazah SD dan menyusul Ijazah Sarjana Burhan Saragih Calon Walikota Pasangan RE Siahaan. Terkuaknya masalah ijazah tersebut membuktikan kebobrokan KPUD Siantar yang ternyata tidak maksimal ataupun tidak memaksimalkan diri melakukan verifikasi terkait masalah ijazah para calon. Anehnya, KPUD Siantar juga dinilai tak berani mengambil sikap tegas untuk mendiskualifikasi Pasangan RE Siahaan-H Burhan Saragih dari bursa calon, padahal pihak Universitas Amir Hamzah dan Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh pada prisnsipnya telah menyatakan Ijazah S1 Burhan Saragih tidak sah. Dan kebobrokan KPUD Siantar seputar verifikasi Ijazah para calon pun kembali terkuak, dengan terkuaknya keraguan atas keabsahan Ijazah SMP Calon Walikota Hulman Sitorus, setelah berhasil menjadi pemenang pemiluka.

Terjadinya praktek money politik yang dilakukan beberapa calon, juga menembah deretan persoalan di pemilukada. Praktek jual beli suara di pemilukada Siantar dari awal sudah menggema, dan tak dipungkiri kalau hal itu tetap berlangsung pada detik akhir menjelang pemungutan suara, bahkan modus jual beli suara melalui voucher yang diduga dilakukan calon pemenang pun berlangsung efektif dan relatif aman, meskipun pada saat pemungutan suara, beberapa warga ada yang berhasil ditangkap mengunakan hak pilih orang lain untuk mencoblos calon tertentu.

Beragam persoalan yang terjadi di pemilukada Siantar, hanya bisa menjadi renungan bagi kita, paling tidak membuat kita berpikir, ternyata hanya sebatas inilah nilai demokrasi pemilukada Siantar. Apapun hasilnya, ataupun hasilnya akan bisa memberi perubahan atau tidak kepada Kota Siantar lima tahun kedepan, yang pasti sterilisasi pemilukada Siantar telah tercederai oleh berbagai persoalan. Siapa pun yang bertanggung jawab atas terjadinya persoalan-persoalan itu, kita kah…? penyelenggara kah…? atau para calon kah…? Pastinya persoalan-persoalan itu telah membuat pemilukada Siantar berlumur noda.


Penulis adalah :

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo) Siantar-Simalungun,
dan Ombusdman Harian Siantar 24 Jam


Catatan :
Tulisan ini telah diterbitkan
di Harian Siantar 24 Jam, Senin 21 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

Ketika Kita Harus Memilih (Tulisan / Artikel)


Ketika Kita Harus Memilih


Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


Judul tulisan ini memang agak melankolis laksana judul sebuah novel, namun dalam konteks judul tulisan ini, penulis sedikit ingin menggambarkan tentang kisah asmara pemilukada di negeri yang bernama Siantar ini. Kisah asmara politik ini bermuara kepada keteguhan hati kita selaku pemilik mutlak hak pilih untuk membuat pilihan, yaitu pilihan untuk memilih ataupun pilihan untuk tidak memilih.

Perlu kita sadari selaku pemilik hak pilih yang bermukim di kota ini, bahwa kita sedang ditaksir berat dan dicintai oleh sepuluh pasangan yang berambisi menjadi pemegang tampuk pimpinan sekaligus kepala rumah tangga di Kota Raja Sangnawaluh ini. Sejak ditetapkan secara resmi sebagai orang yang diposisikan untuk dipilih, sejak saat itulah sepuluh pasang calon tersebut telah berupaya untuk menarik simpati dan mencurahkan perhatian dan cintanya kepada kita dan ratusan ribu orang seperti kita, dan itu semata untuk mengincar hak pilih yang kita miliki. Dan harus kita sadari pula, hari ini merupakan masa injury time buat kita merasakan rasa cinta dari mereka, dan harus kita sadari cinta sementara dari mereka hanya sampai esok hari saja, karena itulah limit waktunya. Lalu besok akan kita buktikan, akankah kita akan merespon rasa cinta mereka kepada kita atau tidak ? dan respon dari perhatian dan rasa cinta kita akan kita jawab esok hari, karena memang besoklah hari penentuan dan pembuktiannya.

Hak pilih yang diberikan Undang-Undang kepada kita, memang betul-betul mujarab, ibarat pesugihan yang betul-betul punya daya pikat. Kita telah dibuat cantik dan ganteng serta punya daya tarik dengan hak pilih tersebut. Khasiatnya memang telah dirasakan, bahkan tak sedikit dari kita yang punya hak pilih, telah merasakan manisnya pemberian mereka saat mereka merayu kita pada ajang sosialisasi maupun kampanye. Itu semua mereka lakukan karena ingin menikmati madu dari hak pilih yang kita miliki, dan mereka berharap agar hak pilih yang seperti pelet berkhasiat tinggi yang kita miliki itu, besok pada hari keramat yang telah ditetapkan KPU, sasarannya kita arahkan kepada mereka.

Berbagai macam cara telah mereka lakukan untuk meraih simpati, dukungan dan mendapatkan hak pilih kita. Mulai dari bersikap santun, alim, peduli, dermawan dan merakyat pun mereka lakoni. Tidak hanya itu, untuk meraih simpati dan dukungan tadi, malah ada diantara kesepuluh pasangan itu, menjadikan panggung politik pemilukada sebagai panggung sandiwara. Ada diantara pasangan berkoar mengkalim bahwa mereka telah memberikan bukti nyata, meskipun nyataannya tak terbukti, dan ada pula yang menyamar sok santun, sok alim, sok peduli dan sok merakyat padahal aslinya tak seperti itu. Serta banyak hal lain yang mereka lokankan yang pada hakikatnya adalah sebatas sandiwara satu babak dibabak pemilukada. Yang lebih ironis ada diantara para calon menganggap kita-kita yang memiliki hak pilih, sebagai orang-orang mata duitan, dan menjadikan hak pilih kita sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan. Dengan cara arogan mereka pun memberanikan diri membeli hak pilih itu dengan rupiah dengan nilai variatif. Karena dianggap produk dagangan, maka harga untuk mendapatkan hak pilih tersebut pun terjadi persaingan.

Intensitas para calon untuk mencari dukungan semakin tinggi, sejalan dengan semakin dekatnya menuju hari pemilihan yang dianggap keramat dan telah ditasbihkan esok hari tanggal 9 Juni 2010. Pada kondisi ini, para calon semakin was-was, sehingga frekwensi penggalangan pun semakin diperkuat, ada yang masih tetap melakukan sosialisasi tersembunyi, untuk menjaga komitmen pemilih yang telah digalang selama ini, dan ada pula yang melakukan usaha illegal termasuk dengan cara melakukan serangan pajar. Tak heran para tim sukses pun diluncurkan untuk melakukan misi rahasia untuk membeli suara buat calonnya. Mereka pun melakukan segala cara untuk bisa membeli hak pilih kita. Formulir C 6 dan kartu pemilih milik kita pun jadi objek foto copian para tim sukses, sebagai bukti administrasi dalam rangka membeli suara tadi.

Menghadapi hari penentu lima tahun masa depan negeri Siantar, tentunya kita punya wewenang dan kebebasan untuk mengarahkan hak pilih kita kemana sasarannya. Bahkan kita juga punya wewenang dan kebebasan untuk tidak mengarahkan hak pilih itu kepada siapapun. Itu semua tergantung kepada kemauan kita. Meskipun dianjurkan untuk memilih, tapi yang jelas tidak ada sanksi kalaupun kita mengambil sikap untuk tidak memilih, karena masalah penggunaan hak pilih sifatnya partisipatif.

Namun ketika kita mengambil sikap untuk memilih, tentu sikap kita itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Ada diantara kita memilih karena kedekatan dengan calon, ada yang karena faktor persamaan komunitas dan banyak faktor lainnya yang hanya kita sendiri yang tahu. Tak kita pungkiri juga, ternyata banyak diantara kita yang setuju dianggap mata duitan oleh para calon, sehingga kita akan mengambil sikap memilih karena hak pilih kita telah dan akan ditukar dengan sejumlah rupiah. Betapa sangat disayangkan, jika hanya karena rupiah kita terpaksa harus memilih para calon yang tak pantas untuk dipilih, hanya karena rupiah kita harus memilih calon yang sudah dicap politisi busuk dan sebenarnya sudah tak laku lagi, dan karena rupiah kita harus memilih calon yang bermasalah dan tak punya jati diri. Ironis memang kalau itu yang akan terjadi

Penulis selaku pemilih berharap agar kita memilih secara cerdas dan berdasarkan hati nurani, kalau pun ada beberapa faktor yang menyebabkan kita menjatuh pilihan, idealnya faktor itu adalah hasil dari penilaian dan pertimbangan yang cerdas dan hasil godokan hati nurani kita, dan bukan karena faktor yang bersifat instant. Perlu jadi renungan buat kita, bahwa esok kita akan memilih orang yang akan memimpin kita untuk kurun waktu lima tahun mendatang, dan hasil pilihan kita akan menentukan nasib kota yang kita huni ini, bahkan akan menentukan nasib kita sebagai rakyat yang akan dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan kita.


Penulis adalah
Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)
Siantar-Simalungun


Catatan :
Tulisan ini telah diterbitkan
di Harian Siantar 24 Jam, Selasa 8 Juni 2010

Kamis, 20 Mei 2010

Antara Ambisi dan Visi Misi (Tulisan /Artikel)


Antara Ambisi dan Visi Misi


Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


Sepuluh pasangan calon, sudah dipastikan akan bertarung untuk memperebutkan gelar jabatan kekuasan yang bernama Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar. Tak dipungkiri kalau jabatan itu menjadi incaran dan target utama untuk diraih. “Ambisi” kesepuluh pasangan untuk menggapai singgasana yang konon katanya memang empuk dan menjanjikan itu, memang tak perlu diragukan dan sudah jadi harga mati bagi para calon. Sehingga tak ada alasan lain kecuali karena “ambisi”, yang menjadi faktor utama penyebab para calon mau bertarung habis-habisan untuk meraih posisi jabatan puncak itu.

Memang tak salah, kalau pun ada alasan dari pasangan calon, yang konon katanya maju, karena terpanggil untuk membangun dan memajukan kota Siantar atau alasan alasan yang senada dengan itu, atau pun alasan yang lebih mengkerucut dan tendensius yaitu ingin mensejahterakan rakyat Siantar, ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, rasanya semua alasan itu secara politis sudah dianggap jamak dan sudah menjadi alasan yang mentradisi, dan sah-sah saja dijadikan alasan, meskipun sebenarnya bukan alasan yang substansial,. Yang pasti semua itu adalah alasan sekunder, yang dikondisikan menjadi alasan utama yang secara lebih terperinci pasti mereka tuangkan dalam visi misinya masing-masing.

Membuktikan kebenaran bahwa “ambisi” yang menjadi alasan utama pasangan calon maju, memperebutkan singgasana tertinggi di negeri Siantar, jelas bukan hal yang sulit. Pastinya para calon adalah orang yang berduit, tapi meskipun berdompet tebal, sejatinya takkan mungkin seseorang berani maju dengan menghabiskan finansial ratusan juta hingga miliaran bahkan puluhan miliar rupiah, hanya untuk alasan klasik tadi. yaitu ingin membangun dan memajukan kota Siantar, ataupun ingin mensejahterahkan rakyat dan ingin menciptakan pemerintahan yangbersih dan bebas KKN.

Tak hanya itu, karena ambisi jugalah, membuat para calon berlomba-lomba menjelmakan diri menjadi dermawan musiman. Kegiatan sumbang sana sumbang sini, mewarnai pergerakan para calon untuk mewujudkan ambisinya itu.. Nama besar tokoh-tokoh tertentu, juga menjadi komoditas yang dimanfaatkan para calon, begitu juga pemanfaatan fasilitas-fasilitas tertentu. Gelar acara dengan kedok sosialisasi juga berlangsung silih berganti, Pesta dan kemalangan pun di peneltrasi dan dijadikan ajang unjuk muka, dan semuanya itu karena untuk mewujudkan ambisi tersebut.

Tak hanya itu, karena didorong untuk mewujudkan ambisinya, para calon pun tak merasa risih, tak merasa jengah dan tak merasa sungkan melakoni pragmen murahan yang gampang ditebak endingnya. Selain menjadi dermawan musiman, para calon pun tiba-tiba berfriksi dari sosok aslinya, dan tanpa latihan dan niat uang tulus berubah menjadi sosok yang santun, alim, peduli dan berperilaku merakyat. Bahkan karena ambisi untuk meraih kekuasan pula, para calon juga tak ketinggalan mengeksploitasi suku, agama dan komunitas-komunitas tertentu seolah-olah calon tersebut memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap hal-hal itu. Yang lebih ironis lagi, supaya ambisinya bisa terwujud, sampai-sampai ada calon yang nekat mengelabui dan membohongi publik, hanya karena ingin menunjukkan diri sebagai calon yang dinilai seorang intelek.

Mungkin itulah beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang secara realita memang kerap terjadi menjelang pemilukada kota Siantar. Namun ironisnya, karena ambisi tadi, visi misi yang seharusnya memberikan penguatan karakter para calon dan bisa berperan menjadi bahan konstruktif untuk dinilai masyarakat, akhirnya diposisikan sebagai piguran, dan terkesan disampingkan sebagian besar calon, Peran visi dan misi tidak lagi menjadi hal yang strategis dan diprioritaskan. Fakta yang terjadi, sebagian besar para calon lebih fokus menebar senyum via baliho dan spanduk dengan ukuran jumbo sampai ukuran kecil yang bertaburan dipenjuru tempat yang dtrategis agar dilihat orang, ketimbang mempromosikan dan mensosialisasikan visi-misinya agar dapat menjadi bahan penilaian dan pertimbangan masyarakat

Sebagai bukti bahwa visi dan misi dianggap tak berperan oleh sebagian calon, saat ketidakhadiran sebagian kandidat tersebut dibeberapa acara debat kandidat yang digelar beberapa elemen masyarakat.. Dan dapat ditangkap dari ketidakhadiran mereka di ajang debat kandidat, menunjukkan bahwa bagi mereka visi an misi bukanlah hal yang penting, meskipun kemungkinan ketidakhadiran pasangan calon tersebut karena takut dan tak mampu berdebat, ataupun mungkin karena tak menguasai visi dan misinya saat diperdebatkan.

Sebenarnya antara ambisi dan visi misi adalah hal yang efektif untuk mendulang dukungan dari masyarakat, jika diantara keduanya berjalan sinkron. Ambisi para calon untuk menjadi pemenang di pemilukada, lebih berpotensi dapat terwujud, jika visi misinya tersosialisasi dan bisa jadi bahan penilaian, apalagi jika visi dan misi tersebut dinilai berpeluang untuk diaplikasikan dan gampang diterima dan dicerna masyarakat.

Tapi kenyataannya, sebagian besar masyarakat Siantar khususnya yang memiliki hak pilih mengenal sosok para pasangan calon hanya secara fisiknya saja, dan itupun lebih banyak dikenal via baliho dan spanduk. Untuk soal visi dan misi para calon, sebagian besar masyarakat memang tak tahu banyak. Kunjungan para calon ketengah tengah masyarakat saat melakukan sosialisasi, selalu minus visi misi. Para calon lebih menganggap penting cara mencari simpati dengan menebar senyum dan melakukan cara instant dengan menebar uang atau menyuguhkan bantuan, dari pada mensosialisasikan visi dan misinya kepada masyarakat.

Dengan kondisi yang demikian, sangat wajar jika masyarakat hanya tahu sekelumit tentang siapa sebenarnya para calon, dan sangat wajar pula jika masyarakat tak punya rekomendasi lebih rinci tentang para pasangan calon yang akan berkompetisi di pemilukada.. Dan tak bisa dipungkiri munculnya sikap apatis dari masyarakat, keputusan tidak menggunakan hak pilihnya, Kalaupun masyarakat menentukan sikap untuk menggunakan hak pilihnya, lebih cenderung didasarkan pengaruh pragmatis yang bersifat instant ataupun karena keterkaitan komunitas yang sifatnya cenderung primordial.

Kendati demikian kita masih berharap agar masyarakat jeli untuk melakukan penilaian secara sadar dan cerdas sebelum mentukan pilihan. Kita berharap pemimpin Siantar kedepan lahir dari ajang demokrasi yang benar-benar demokratis, dan dari hasil pilihan masyarakat yang menginkan pemimpin yang pantas jadi pemimpin. Semoga !!!


Penulis

Direktur Eksekutif Governement Monitoring (GoMo)

Siantar-Simalungun


Catatan :

Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Siantar 24 Jam, Jumat, tanggal 21 Mei 2010.





Selasa, 11 Mei 2010

Ketika Oknum Polisi Bertindak Ala Preman…. Pantaskah ? (Tulisan / Artikel)

Ketika Oknum Polisi Bertindak Ala Preman…. Pantaskah ?

Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


“ Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya “

Kalimat diatas penulis kutip dari salah satu alinea yang termaktub pada bagian umum penjelasan UU No 2 Tahun 2002, Dan dalam kalimat tersebut sangat tegas disebutkan dengan dinamika yang ada, maka tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab kepolisian lebih difokuskan dan lebih ditingkatkan kepada pelayanan masyarakat, dan itu memang menjadi harapan masyarakat. Untuk mewujudkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yang diperlukan adalah kemampuan sebagai pelayan dari aparatur kepolisian, baik itu aparat polisi dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi.

Meskipun sudah ditegaskan dalam UU, tapi kita juga harus menyadari, masih ada aparat polisi yang secara personal tak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Tapi yang jelas ketidakmampuan tersebut tidaklah harus terefleksikan dengan sikap arogan yang dipertontonkan oleh aparat polisi, atau paling tidak seorang aparat polisi idealnya bisa menahan diri dari sikap arogan tersebut.

Atraksi arogansi yang dilakukan Kapolresta Pematangsiantar AKBP Fatori Sik, dihalaman Mapolresta Siantar terhadap sejumlah insan pers, pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2010 lalu adalah bentuk arogansi berlebihan dari seorang yang namanya polisi. Pantas kah hal itu dilakukan ? Siapapun yang ditanya, bahkan kalangan polisi sekalipun, sudah pasti akan menjawab ‘tidak pantas’, bahkan jawabannya ‘sangat-sangat tidak pantas’ ketika yang melakukan itu adalah seorang pimpinan di kepolisian.


Bertindak Ala Preman

Tindakan kasar yang dipertontonkan Kapolresta Pematangsiatar Fatori Sik, saat meminta kepada sejumlah wartawan untuk menunjukkan hasil rekaman gambar dan rekaman saat dia bertindak arogan ikut melakukan razia lalu lintas, lalu mengancam wartawan akan dipindahkan ke Papua, kemudian melontarkan kata kotor kepada wartawan, serta mencampakkan topi kebesaran dan tongkat komandonya ke hadapan wartawan, dan menantang wartawan berduel dengannya, adalah sebuah tindakan sudah tidak bisa ditolerir. Dan sangat pantas kalau lembaga kepolisiaan mengambil tindakan tegas atas perbuatan seorang pimpinan polisi yang bergaya ala preman itu.

Kalau dikaji ada beberapa hal yang dapat diangkat dari tindakan arogan ala preman yang dilakukan Kapolresta itu, diantaranya menghalang-halangi tugas jurnalistik sebagai tindakan itu melanggar UU Pokok Pers, menghina dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan melanggar KUH Pidana. Dan yang lebih parahnya, AKBP Fatori selaku pejabat tertinggi di Polresta Siantar justru menghina lembaganya sendiri yaitu lembaga kepolisian, dalam hal ini dirinya tidak hanya melanggar UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, juga melanggar aturan lainnya yang menyangkut lingkungan kepolisian, seperti sumpah jabatan dan kode etik kepolisian yang bersumber dari Tri Brata dan Catur Prasatya.

Tak perlu penulis sebutkan satu persatu pasal-pasal dan point apa saja yang telah dilanggar oleh seorang Kapolresta berpangkat AKBP bergelar Sarjana Ilmu Kepolisian yang bernama Fatori tersebut. Yang pasti tindakan arogan ala preman yang dipertontonkannya, telah melanggar tiga Undang Undang dan beberapa aturan kepolisian lainnya. Rasanya sudah tidak ada nilai plus yang melekat di diri AKBP Fatori Sik, sebagai seorang aparat kepolisian yang digaji dan mendapat tunjangan jabatan dari anggarankepolisian yang notabene uang negara.

Ironis memang, ketika topi dan tongkat komando yang merupakan lambang kebesaran dirinya sebagai anggota dan pejabat kepolisian, justru dianggapnya barang murahan yang tak berharga, dan seenaknya dicampakkannya begitu saja, Bahkan dia juga tak menghargai jabatan yang dipercayakan kepadanya, karena saat mencampakkan topi dan tongkat komando dihadapan insan pers, dia juga melontarkan kalimat yang mengindikasikan dirinya tidak senang dengan posisi jabatan yang didudukinya.

Alangkah disayangkan perbuatan AKBP Fatori Sik itu, terlepas apa latar belangkang yang membuatnya bergaya ala preman seperti itu, yang jelas harga diri dan martabat lembaga kepolisian yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi sebagaimana diucapkannya saat disumpah ketika dia diangkat sebagai polisi, justru telah dijatuhkannya. Malah perbuatan tersebut menambah deretan persoalan dan menambah carut marutnya wajah lembaga kepolisian yang sebelumnya telah diterpa banyak persoalan.

Sungguh tak pantas dan memang sangat tak pantas, jika seorang aparat kepolisian telah menghinakan lembaganya sendiri, apalagi itu dilakukan oleh seorang aparat yang menjabat sebagai pimpinan kepolisian. Apakah perbuatannya itu masih pantas untuk ditolerir? Apakah aparat polisi yang bertindak ala preman seperti itu, harus didiamkan ? dan Apakah aparat kepolisian seperti itu pantas dipelihara dan dipertahankan ? Semua itu berpulang kepada petinggi (stake holder) di lembaga kepolisian, dan penulis yakin petinggi kepolisian tidak akan mentolerir perbuatan polisi seperti itu.

Namun yang pasti dengan paradigma baru di kepolisian, menempatkan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, dan itu adalah salah satu tugas kepolisian yang diamanatkan UU No 2 Tahun 2002. Tidak hanya itu masyarakat memang menginkan aparat polisi yang bisa “memanusiakan” masyarakat. Tidak hanya itu, masyarakat juga menginginkan sosok para aparat polisi yang bisa melindungi masyarakat terutama dari tindakan preman, bukan aparat polisi yang bergaya ala preman. Semoga polisi, termasuk polisi di Siantar, merupakan polisi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Penulis
Direktur Eksekutif Government Monitoiring (GoMo) Siantar-Simalungun
dan Vocal Point Institute for Judicial Monitoring (IJM) Siantar-Simalungun

Catatan :
Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Siantar 24 Jam, Selasa tanggal 11 Mei 2010





Jumat, 30 April 2010

Wabah “ Cair ” Menjangkiti Pemilukada Siantar (Tulisan / Artikel)

Wabah “ Cair ” Menjangkiti

Pemilukada Siantar


Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


Pernah suatu ketika penulis mendengar ocehan seorang bocah 7 tahun kepada ayahnya. “ Yah….. tadi ada acara calon walikota, yang datang dikasi duit..... pokoknya ‘cair’ lah yah ! Kalau ayah tadi datang pasti dapatan,” itu adalah sepenggal laporan seorang bocah pada ayahnya.

Laporan sang anak yang bijak dan cepat nangkap tersebut kepada ayahnya, menurut penulis, adalah sebuah diskripsi betapa dahsyatnya gaung bagi-bagi uang yang dilakoni oleh calon walikota untuk medapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat menjelang pemilukada, sampai-pai bocah ingusan pun tahu istilah “cair”. Ini adalah sebuah imbas negatif akibat kondisi proses pembelajaran politik yang sudah menyimpang dari etika demokrasi.

Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kota Siantar, acara yang digelar calon walikota dengan titel sosialisasi, silaturrahmi, tatap muka atau apapun namanya, dapat dipastikan akan dihadiri warga secara berbondong-bondong. Sebab di acara seperti itu terselip sebuah harapan dari masyarakat yang datang, akan mendapat saweran dari sang calon. Seiring berjalannya waktu dan semakin dekatnya jadwal kontes pertarungan politik dalam rangka meraih kekuasaan di kota ini, maka intensitas dan frekwensi acara seperti itu akan semakin banyak dan semakin tinggi, dan sudah barang tentu akan semakin banyak pula peluang masyarakat dapat saweran.

Dalam kondisi seperti ini, acara yang gelar ataupun yang dihadiri calon, bagi masyarakat kebanyakan jadi prioritas untuk dihadiri.. Kehadiran masyarakat datang ke acara seperti itu bukan lagi untuk menilai sang calon, apakah memang berbobot dan pantas untuk dipilih menjadi imam kota Siantar, tapi yang menjadi target utama adalah apakah dalam acara itu ada sesi pencairan (bagi-bagi uang) atau tidak.

Harus kita akui, sekarang ini sebagian kalangan masyarakat juga sudah apriori dalam menentukan pilihannya. Tak ada lagi penilaian secara logika, ataupun penlaian secara hati nurani. Mana yang “cair“ itulah yang kemungkinan akan dipilih. Bahkan pemikiran seperti itu semakin mengkristal, mana yang “cair “ nya lebih besar, itu yang pasti dipilih.

Ironis memang dengan pemikiran masyarakat pemilih seperti itu, mungkin kondisi di kota Siantar sama seperti didaerah lain. Tapi yang jelas kondisi seperti ini, adalah akibat ambisi besar para calon, yang ingin meraih kursi kekuasaan, sehingga cara apapun dilakukan agar terpilih, termasuk dengan trik yang konon katanya memang efektif, yaitu bagi-bagi uang. Trik itu harus diakui memang sudah mentradisi sejak lama. Dan kemudian dengan kondisi masyarakat yang kehidupannya sangat memprihatinkan, trik cari simpati yang dilakukan para calon untuk meraup dukungan dengan cara bagi-bagi uang itukian mentradisi dan direspon cepat oleh masyarakat. Dalam situasi seperti ini, kedua belah pihak masing-masing punya target, para calon menargetkan dapat dukungan suara, dan masyarakat pun menargetkan akan mendapat uang, dan ada yang menargetkan akan memilih jika “cair “ dari calon.

Mungkin dikota Siantar kondisinya terlihat lebih parah. Wabah “cair“ semakin menjangkiti pemilukada Kota ini. Betapa tidak, sang incumbent yang berambisi besar untuk berkuasa kembali, justru lebih proaktif dan lebih terbuka melakukan trik bagi-bagi uang kepada masyarakat. Tidak hanya bagi uang, bagi-bagi barang seperti gelas pun jauh sebelumnya sudah dilakukan, termasuk memanfaatkan pembagian beras raskin sebagai bentuk mencari dukungan. Apapun ceritanya target untuk terpilih bagi sang incumbent tampaknya sudah menjadi harga mati. Karena jika tidak terpilih sudah pasti akan berbahaya bagi dirinya, karena kemungkinan besar “maut” telah menunggunya..

Segala kemampuan, termasuk fasilitas jabatan walikota yang masih melekat pada dirinya pun dikerahkannya agar bisa menang dalam pemilihan nanti. Acara pemerintahan pun dimanfaatkannya dan uang pun bertebaran di acara itu. Tak hanya itu, sang incumbent melalui tim suksesnya telah menebarkan angin surga, bahwa pihak sang incumbent secara vulgar berani menggulirkan uang nilainya sangat fantastis kepada setiap pemilih yang menjatuhkan pilihan kepada dirinya.

Calon lain tampaknya juga tak ketinggalan mengambil langkah melakukan bagi-bagi ke masyarakat. Yang lebih seru lagi, ternyata tidak hanya sang incumbent yang berani bermanuver akan membeli suara dengan harga yang fantastis. Ada juga calon lain juga turut melakukannya, bahkan ada calon yang mengaku berani mengulirkan dana yang melebihi jumlah yang dijanjikan incumbent, jika pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tersebut, dan kabar itu telah menyebar luas dikalangan masyarakat.

Dengan kondisi seperti ini, sudah barang tentu momentum pencairan akan berlangsung lebih semarak. Istilah “Cair” pun semakin mewabah ditengah-tengah masayarakat. Hal itu memang sebuah realita yang terjadi saat ini. Sepertinya sebagian masyarakat sudah tak perduli kalau proses demokratisasi telah ternodai oleh wabah “Cair” yang saat ini telah merasuki jiwa dan pikiran masyarakat. Tapi yang pasti proses pemilukada akan tetap berjalan meskipun dinodai oleh wabah “cair” tersebut. Karena meskipun sudah aturan yang melarang cara-cara seperti itu, dan diharapkan bisa menjadi obat mujarab untuk memberantas wabah “cair” itu, ternyata belum mujarab. Tapi kita masih berharap, karena bisa saja pada saat pada saat hari pencoblosan, wabah “cair” itu memang tak efektif mempengaruhi masyarakat, jika timbul kesadaran masyarakat pemilih untuk menggunakan haknya secara sadar tanpa dipengaruhi oleh uang. Atau paling tidak masyarakat berani mengambul sikap, uang tetap diambil, tapi pilihan bukan oleh pengaruh uang.


Penulis

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

Siantar-Simalungun


Catatan :

Telah terbit di Harian Siantar 24 Jam, Selasa tanggal 27 April 2010



Menyerahkan Trophy Mini Cross

Saat Menyerahkan Trophy kejuaraan Mini Cross Se Sumut

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA