Kamis, 20 Mei 2010

Antara Ambisi dan Visi Misi (Tulisan /Artikel)


Antara Ambisi dan Visi Misi


Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


Sepuluh pasangan calon, sudah dipastikan akan bertarung untuk memperebutkan gelar jabatan kekuasan yang bernama Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar. Tak dipungkiri kalau jabatan itu menjadi incaran dan target utama untuk diraih. “Ambisi” kesepuluh pasangan untuk menggapai singgasana yang konon katanya memang empuk dan menjanjikan itu, memang tak perlu diragukan dan sudah jadi harga mati bagi para calon. Sehingga tak ada alasan lain kecuali karena “ambisi”, yang menjadi faktor utama penyebab para calon mau bertarung habis-habisan untuk meraih posisi jabatan puncak itu.

Memang tak salah, kalau pun ada alasan dari pasangan calon, yang konon katanya maju, karena terpanggil untuk membangun dan memajukan kota Siantar atau alasan alasan yang senada dengan itu, atau pun alasan yang lebih mengkerucut dan tendensius yaitu ingin mensejahterakan rakyat Siantar, ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, rasanya semua alasan itu secara politis sudah dianggap jamak dan sudah menjadi alasan yang mentradisi, dan sah-sah saja dijadikan alasan, meskipun sebenarnya bukan alasan yang substansial,. Yang pasti semua itu adalah alasan sekunder, yang dikondisikan menjadi alasan utama yang secara lebih terperinci pasti mereka tuangkan dalam visi misinya masing-masing.

Membuktikan kebenaran bahwa “ambisi” yang menjadi alasan utama pasangan calon maju, memperebutkan singgasana tertinggi di negeri Siantar, jelas bukan hal yang sulit. Pastinya para calon adalah orang yang berduit, tapi meskipun berdompet tebal, sejatinya takkan mungkin seseorang berani maju dengan menghabiskan finansial ratusan juta hingga miliaran bahkan puluhan miliar rupiah, hanya untuk alasan klasik tadi. yaitu ingin membangun dan memajukan kota Siantar, ataupun ingin mensejahterahkan rakyat dan ingin menciptakan pemerintahan yangbersih dan bebas KKN.

Tak hanya itu, karena ambisi jugalah, membuat para calon berlomba-lomba menjelmakan diri menjadi dermawan musiman. Kegiatan sumbang sana sumbang sini, mewarnai pergerakan para calon untuk mewujudkan ambisinya itu.. Nama besar tokoh-tokoh tertentu, juga menjadi komoditas yang dimanfaatkan para calon, begitu juga pemanfaatan fasilitas-fasilitas tertentu. Gelar acara dengan kedok sosialisasi juga berlangsung silih berganti, Pesta dan kemalangan pun di peneltrasi dan dijadikan ajang unjuk muka, dan semuanya itu karena untuk mewujudkan ambisi tersebut.

Tak hanya itu, karena didorong untuk mewujudkan ambisinya, para calon pun tak merasa risih, tak merasa jengah dan tak merasa sungkan melakoni pragmen murahan yang gampang ditebak endingnya. Selain menjadi dermawan musiman, para calon pun tiba-tiba berfriksi dari sosok aslinya, dan tanpa latihan dan niat uang tulus berubah menjadi sosok yang santun, alim, peduli dan berperilaku merakyat. Bahkan karena ambisi untuk meraih kekuasan pula, para calon juga tak ketinggalan mengeksploitasi suku, agama dan komunitas-komunitas tertentu seolah-olah calon tersebut memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap hal-hal itu. Yang lebih ironis lagi, supaya ambisinya bisa terwujud, sampai-sampai ada calon yang nekat mengelabui dan membohongi publik, hanya karena ingin menunjukkan diri sebagai calon yang dinilai seorang intelek.

Mungkin itulah beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang secara realita memang kerap terjadi menjelang pemilukada kota Siantar. Namun ironisnya, karena ambisi tadi, visi misi yang seharusnya memberikan penguatan karakter para calon dan bisa berperan menjadi bahan konstruktif untuk dinilai masyarakat, akhirnya diposisikan sebagai piguran, dan terkesan disampingkan sebagian besar calon, Peran visi dan misi tidak lagi menjadi hal yang strategis dan diprioritaskan. Fakta yang terjadi, sebagian besar para calon lebih fokus menebar senyum via baliho dan spanduk dengan ukuran jumbo sampai ukuran kecil yang bertaburan dipenjuru tempat yang dtrategis agar dilihat orang, ketimbang mempromosikan dan mensosialisasikan visi-misinya agar dapat menjadi bahan penilaian dan pertimbangan masyarakat

Sebagai bukti bahwa visi dan misi dianggap tak berperan oleh sebagian calon, saat ketidakhadiran sebagian kandidat tersebut dibeberapa acara debat kandidat yang digelar beberapa elemen masyarakat.. Dan dapat ditangkap dari ketidakhadiran mereka di ajang debat kandidat, menunjukkan bahwa bagi mereka visi an misi bukanlah hal yang penting, meskipun kemungkinan ketidakhadiran pasangan calon tersebut karena takut dan tak mampu berdebat, ataupun mungkin karena tak menguasai visi dan misinya saat diperdebatkan.

Sebenarnya antara ambisi dan visi misi adalah hal yang efektif untuk mendulang dukungan dari masyarakat, jika diantara keduanya berjalan sinkron. Ambisi para calon untuk menjadi pemenang di pemilukada, lebih berpotensi dapat terwujud, jika visi misinya tersosialisasi dan bisa jadi bahan penilaian, apalagi jika visi dan misi tersebut dinilai berpeluang untuk diaplikasikan dan gampang diterima dan dicerna masyarakat.

Tapi kenyataannya, sebagian besar masyarakat Siantar khususnya yang memiliki hak pilih mengenal sosok para pasangan calon hanya secara fisiknya saja, dan itupun lebih banyak dikenal via baliho dan spanduk. Untuk soal visi dan misi para calon, sebagian besar masyarakat memang tak tahu banyak. Kunjungan para calon ketengah tengah masyarakat saat melakukan sosialisasi, selalu minus visi misi. Para calon lebih menganggap penting cara mencari simpati dengan menebar senyum dan melakukan cara instant dengan menebar uang atau menyuguhkan bantuan, dari pada mensosialisasikan visi dan misinya kepada masyarakat.

Dengan kondisi yang demikian, sangat wajar jika masyarakat hanya tahu sekelumit tentang siapa sebenarnya para calon, dan sangat wajar pula jika masyarakat tak punya rekomendasi lebih rinci tentang para pasangan calon yang akan berkompetisi di pemilukada.. Dan tak bisa dipungkiri munculnya sikap apatis dari masyarakat, keputusan tidak menggunakan hak pilihnya, Kalaupun masyarakat menentukan sikap untuk menggunakan hak pilihnya, lebih cenderung didasarkan pengaruh pragmatis yang bersifat instant ataupun karena keterkaitan komunitas yang sifatnya cenderung primordial.

Kendati demikian kita masih berharap agar masyarakat jeli untuk melakukan penilaian secara sadar dan cerdas sebelum mentukan pilihan. Kita berharap pemimpin Siantar kedepan lahir dari ajang demokrasi yang benar-benar demokratis, dan dari hasil pilihan masyarakat yang menginkan pemimpin yang pantas jadi pemimpin. Semoga !!!


Penulis

Direktur Eksekutif Governement Monitoring (GoMo)

Siantar-Simalungun


Catatan :

Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Siantar 24 Jam, Jumat, tanggal 21 Mei 2010.





Selasa, 11 Mei 2010

Ketika Oknum Polisi Bertindak Ala Preman…. Pantaskah ? (Tulisan / Artikel)

Ketika Oknum Polisi Bertindak Ala Preman…. Pantaskah ?

Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


“ Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya “

Kalimat diatas penulis kutip dari salah satu alinea yang termaktub pada bagian umum penjelasan UU No 2 Tahun 2002, Dan dalam kalimat tersebut sangat tegas disebutkan dengan dinamika yang ada, maka tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab kepolisian lebih difokuskan dan lebih ditingkatkan kepada pelayanan masyarakat, dan itu memang menjadi harapan masyarakat. Untuk mewujudkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yang diperlukan adalah kemampuan sebagai pelayan dari aparatur kepolisian, baik itu aparat polisi dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi.

Meskipun sudah ditegaskan dalam UU, tapi kita juga harus menyadari, masih ada aparat polisi yang secara personal tak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Tapi yang jelas ketidakmampuan tersebut tidaklah harus terefleksikan dengan sikap arogan yang dipertontonkan oleh aparat polisi, atau paling tidak seorang aparat polisi idealnya bisa menahan diri dari sikap arogan tersebut.

Atraksi arogansi yang dilakukan Kapolresta Pematangsiantar AKBP Fatori Sik, dihalaman Mapolresta Siantar terhadap sejumlah insan pers, pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2010 lalu adalah bentuk arogansi berlebihan dari seorang yang namanya polisi. Pantas kah hal itu dilakukan ? Siapapun yang ditanya, bahkan kalangan polisi sekalipun, sudah pasti akan menjawab ‘tidak pantas’, bahkan jawabannya ‘sangat-sangat tidak pantas’ ketika yang melakukan itu adalah seorang pimpinan di kepolisian.


Bertindak Ala Preman

Tindakan kasar yang dipertontonkan Kapolresta Pematangsiatar Fatori Sik, saat meminta kepada sejumlah wartawan untuk menunjukkan hasil rekaman gambar dan rekaman saat dia bertindak arogan ikut melakukan razia lalu lintas, lalu mengancam wartawan akan dipindahkan ke Papua, kemudian melontarkan kata kotor kepada wartawan, serta mencampakkan topi kebesaran dan tongkat komandonya ke hadapan wartawan, dan menantang wartawan berduel dengannya, adalah sebuah tindakan sudah tidak bisa ditolerir. Dan sangat pantas kalau lembaga kepolisiaan mengambil tindakan tegas atas perbuatan seorang pimpinan polisi yang bergaya ala preman itu.

Kalau dikaji ada beberapa hal yang dapat diangkat dari tindakan arogan ala preman yang dilakukan Kapolresta itu, diantaranya menghalang-halangi tugas jurnalistik sebagai tindakan itu melanggar UU Pokok Pers, menghina dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan melanggar KUH Pidana. Dan yang lebih parahnya, AKBP Fatori selaku pejabat tertinggi di Polresta Siantar justru menghina lembaganya sendiri yaitu lembaga kepolisian, dalam hal ini dirinya tidak hanya melanggar UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, juga melanggar aturan lainnya yang menyangkut lingkungan kepolisian, seperti sumpah jabatan dan kode etik kepolisian yang bersumber dari Tri Brata dan Catur Prasatya.

Tak perlu penulis sebutkan satu persatu pasal-pasal dan point apa saja yang telah dilanggar oleh seorang Kapolresta berpangkat AKBP bergelar Sarjana Ilmu Kepolisian yang bernama Fatori tersebut. Yang pasti tindakan arogan ala preman yang dipertontonkannya, telah melanggar tiga Undang Undang dan beberapa aturan kepolisian lainnya. Rasanya sudah tidak ada nilai plus yang melekat di diri AKBP Fatori Sik, sebagai seorang aparat kepolisian yang digaji dan mendapat tunjangan jabatan dari anggarankepolisian yang notabene uang negara.

Ironis memang, ketika topi dan tongkat komando yang merupakan lambang kebesaran dirinya sebagai anggota dan pejabat kepolisian, justru dianggapnya barang murahan yang tak berharga, dan seenaknya dicampakkannya begitu saja, Bahkan dia juga tak menghargai jabatan yang dipercayakan kepadanya, karena saat mencampakkan topi dan tongkat komando dihadapan insan pers, dia juga melontarkan kalimat yang mengindikasikan dirinya tidak senang dengan posisi jabatan yang didudukinya.

Alangkah disayangkan perbuatan AKBP Fatori Sik itu, terlepas apa latar belangkang yang membuatnya bergaya ala preman seperti itu, yang jelas harga diri dan martabat lembaga kepolisian yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi sebagaimana diucapkannya saat disumpah ketika dia diangkat sebagai polisi, justru telah dijatuhkannya. Malah perbuatan tersebut menambah deretan persoalan dan menambah carut marutnya wajah lembaga kepolisian yang sebelumnya telah diterpa banyak persoalan.

Sungguh tak pantas dan memang sangat tak pantas, jika seorang aparat kepolisian telah menghinakan lembaganya sendiri, apalagi itu dilakukan oleh seorang aparat yang menjabat sebagai pimpinan kepolisian. Apakah perbuatannya itu masih pantas untuk ditolerir? Apakah aparat polisi yang bertindak ala preman seperti itu, harus didiamkan ? dan Apakah aparat kepolisian seperti itu pantas dipelihara dan dipertahankan ? Semua itu berpulang kepada petinggi (stake holder) di lembaga kepolisian, dan penulis yakin petinggi kepolisian tidak akan mentolerir perbuatan polisi seperti itu.

Namun yang pasti dengan paradigma baru di kepolisian, menempatkan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, dan itu adalah salah satu tugas kepolisian yang diamanatkan UU No 2 Tahun 2002. Tidak hanya itu masyarakat memang menginkan aparat polisi yang bisa “memanusiakan” masyarakat. Tidak hanya itu, masyarakat juga menginginkan sosok para aparat polisi yang bisa melindungi masyarakat terutama dari tindakan preman, bukan aparat polisi yang bergaya ala preman. Semoga polisi, termasuk polisi di Siantar, merupakan polisi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Penulis
Direktur Eksekutif Government Monitoiring (GoMo) Siantar-Simalungun
dan Vocal Point Institute for Judicial Monitoring (IJM) Siantar-Simalungun

Catatan :
Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Siantar 24 Jam, Selasa tanggal 11 Mei 2010





Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA