Jumat, 08 Maret 2013

Politik Dinasti di Parpol Berlabel Demokrasi




Politik Dinasti di Parpol Berlabel Demokrasi

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Belakangan mencuat polemik terkait masalah politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), dan itu sehubungan dengan pembahasan RUU Pilkada yang didalam RUU tersebut diusulkan pemerintah bahwa kerabat kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pro dan kontra pun muncul menyikapi usulan dalam RUU Pilkada tersebut, baik terjadi diluar pembahasan resmi maupun dalam pembahasan di internal DPR RI. 

Harus disadari bahwa  politik dinasti yang terjadi di pilkada selama ini,  tak hanya karena UU Pilkada yang memang tak ada melarangnya, juga tak terlepas dari  hasil keputusan politik partai politik, yang memberikan sertifikat halal bagi  kerabat kepala daerah menjadi calon kepala daerah.  Intinya memang sumber terjadinya prakter politik dinastiuntuk pilkada adalah selain UU Pilkada, adalah partai politik, karena partai politiklah yang punya otoritas mengusung calon kepala daerah dari kerabat kepala daerah. 

Politik dinasti, sebenarnya paling kental berlangsung  di dalam tubuh partai politik, dan itu membias ke ranah ekternal partai politik, salah satunya dalam pencalonan  kepala daerah. Tak sedikit kerabat elit dan politisi partai yang diusung menjadi calon kepala daerah.  Di lingkungan internal partai sendiri pun, politik dinasti telah terbangun sejak lama. Modus lain yang membuka peluang berlangsung politik dinasti dalam pilkada, ketika seorang kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota berposisi  sebagai pimpinan partai di level daerah, sehingga seorang kepala daerah punya kekuasan untuk mengusung calon dari kerabatnya. Misalnya,  gubernur atau bupati/walikota  yang merangkap ketua partai, akan lebih mempemulus kerabatnya jadi calon kepala daerah, melalui jalur partai yang dipimpin sang gubernur atau bupati/walikota tersebut. Maka tak heran dalam satu propinsi ada sejumlah kepala daerah bupati/walikota merupakan kerabat gubernurnya. Ataupun gubernur atau bupati/walikota terpilih merupakan kerabat gubernur atau bupati/walikota sebelumya, Serta ada juga di dua daerah berdekatan bupati/walikota nya merupakan kerabat. 

Tradisi politik dinasti di tubuh partai politik sampai saat ini semakin menggurita. Sebagian besar parpol termasuk partai politik besar memang tak mengharamkan berlakunya politik dinasti. Di internal kepengurusan partai politik, juga mendiskripsikan kentalnya politik dinasti, Itu karena penguasa di partai politik memang mengkondisikan seperti itu. Maka tak heran ketika parpol menelurkan calon legislatif maupun calon kepala daerah yang punya hubungan kekerabatan dengan kekuasaan di parpol. 

Yang menggiriskan, politik dinasti di sejumlah parpol ada yang sudah mengarah ke gaya kepemimpinan politik monarkhi. Malah itu justru berlangsung di partai politik yang namanya ada label demokrasi. Salah satunya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini namanya memang terlekat kata demokrasi, namun nilai-nilai demokrasi terkesan terkikis di tubuh partai tersebut. Kepemimpinan dan kekuasaan di PDIP sudah mengarah ke gaya kepemimpinan politik monarkhi. 

Di partai ini, Megawati Sukarnoputri seolah telah terkultuskan bagai Ratu, karena sejak PDIP diproklamasikan dan sampai sekarang,  putri Bung Karno tersebut belum tergantikan, dan memang terkondisi tak bisa digantikan sebagai Ketua Umum PDIP, sebelum Megawati yang punya keinginan untuk turun tahkta. Jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina juga tak tergoyahkan dari genggaman kekuasan suaminya Taufik Kiemas. Begitu juga putrinya Puan Maharani yang sejak masih hijau di dunia politik telah diplot sebagai salah satu Ketua DPP PDIP, dan sebagai putri dari Ratu partai, sudah mulai tampak dielus-elus dan dipersiapkan suatu saat kelak untuk menggantikan kedudukan Megawati. Sebab sekarang saja Puan Maharani,  sudah terlihat punya kekuasan berlebih di kepengurusan DPP PDIP, dan para elit PDIP juga memposisikan dan menganggap Puan Maharani bagai seorang  putri kerajaan

Partai Demokrat, juga partai berlabel demokrasi, Di partai yang namanya melekat kata demokrat itu, politik dinasti juga tampak melekat, sejak partai tersebut didirikan, Ketua Umum pertama Hasil Kongres I Partai Demokrat tahun 2005, dipegang oleh Hadi Utomo, yang merupakan kerabat dekat SBY (Istri Hadi Utomo merupakan saudara kandung istri SBY Ibu Ani Yudhoyono).  Kongres II Partai Demokrat tahun 2010, juga menasbihkan putra bungsu SBY yaitu Edi Bhaskoro Yudhoyono (Ibas), yang saat itu masih hijau di Partai Demokrat dan masih bau kencur di dunia politik, menjadi Sekretaris Jenderal partai Demokrat, mendampingi Anas Urbaningrum yang saat itu berhasil terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. 

Sejak awal kekuasaan di Partai Demokrat memang telah tersentral dan dikondisikan berada di level Ketua Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina pun sampai sekarang masih tetap berada di genggaman Susilo Bambang yudhoyono. Selaku pendiri SBY punya peran penting di partai yang didirikannya tersebut. Selaku Pendiri, Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Demokrat, SBY memiliki kekuasaan yang maha dahsyat. SBY punya kewenangan mengambil alih kekuasaan pimpinan eksekutif  partai dari tangan Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Dan itulah yang terjadi ketika SBY melucuti kewenangan Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum DPP Partai Demokrat. 

Kekuasaan SBY di Partai Demokrat, bisa dikonotasikan persis kekuasaan pada kepemimpinan bergaya monarkhi. Kekuasaan SBY secara politis di Partai Demokrat juga tak terbantahkan begitu besarnya. Hal itu disebabkan figur SBY, memang dari awal sudah terkultus serta dianggap sebagai pemilik partai dan dianggap laksana Kaisar di Partai Demokrat. Dari sikap dan performannya yang tenang dan santun, SBY memang tak tampak sebagai pemimpin otoriter. Namun tak ternafikan kalau figur SBY lambang kekuasaan di Partai Demokrat,  dan para elit Partai Demokrat yang kebanyakan berprilaku penjilat, kerap berprilaku seperti abdi dalem kerajaan yang selalu memposisikan SBY bak junjungan mereka. 

Kalaupun akhirnya usulan dalam RUU Pilkada, terkait larangan bagi kerabat kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, menjadi peraturan permanen, tak serta merta  prakter politik dinasti akan terhenti. Karena larangan tersebut hanya untuk kerabat kepala daerah. Bagi kerabat pejabat di DPR dan di DPRD, serta kerabat pejabat di pemerintahan pusat, bahkan kerabat presiden dan menteri, masih tetap bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah.  Juga politik dinasti untuk pencalonan anggota legislatif masih akan tetap berlangsung. Dan satu-satunya tempat proses penggodokannya adalah partai politik. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA