Jumat, 29 Maret 2013

Negeri Huru Hara, Berpenghuni Para Hura Hura




Negeri Huru Hara, Berpenghuni Para Hura Hura 

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Miris kita mendengar, di negeri yang penghuninya dikenal beradab, berbudaya dan beragama, kerap menggema kegaduhan. Tak hanya kegaduhan dalam kehidupan politik, kegaduhan yang melibatkan fisik pun telah menjadi pristiwa panjang yang seolah tak ada habisnya.  Pristiwa huru-hara yang teristilah dengan nama bentrokan, tawuran, perkelahian antar pelajar, antar mahasiswa, antar warga, antar suku, antar kelompok, antar organisasi, antar aparat, antar pelajar dan aparat, antar mahasiswa, antar warga dan aparat dan antar apapun namanya, telah tertoreh menjadi catatan-catatan kelam perjalanan kehidupan negeri ini. Dan menjadi fakta, karena setiap hari pristiwa bentrokan menjadi tayangan pemberitaan di sejumlah  telivisi.

Tak terhitung lagi jumlah nyawa dan harta yang melayang. Bujuran jasad anak manusia dalam kondisi babak belur, baik yang sekarat maupun yang sudah terenggang nyawanya, menjadi informasi dan tontonan yang selalu tayang.  Warga sipil versus warga sipil (warga biasa, pelajar, mahasiswa, preman dan kelompok warga atas nama organisasi, suku dan agama), warga sipil versus aparat bersenjata, aparat bersenjata versus aparat bersenjata, acap terpublikasi sebagai dua kubu yang saling bertarung dalam setiap pristiwa bentrokan, dan itu pula yang menjadi pelaku dan korbannya. Masalah sepele sampai masalah krusial, (akan jadi catatan panjang bila dipaparkan), merupakan sebab musabab terjadinya pristiwa bentrokan. Berbagai jenis benda, mulai dari batu, kayu, parang, pedang, klewang, panah, tombak sampai senjata api rakitan dan pabrikan, kerap terinventarisir menjadi senjata yang saling menghantam saat terjadinya perang dua kubu. 

Beradab, berbudaya dan beragama yang terlabel pada manusia yang berpijak di tanah heterogen ini, seakan tergugat oleh suasana huru hara dari berbagai pristiwa bentrokan. Disintegrasi pun seakan menjadi ancaman, Miskomunikasi kerap mengganggu proses interaksional. Disharmonisasi telah menjadi virus dalam pergaulan. Kekrabatan tampaknya tak lagi kuat mengikat persaudaraan. Bhineka Tunggal Ika seolah hanya sebatas ikon dan jargon tanpa makna. Rasa perikemanusiaan seakan sirna dari pikiran dan perasaan. 

Ditengah kondisifitas negeri yang terusik oleh berbagai pristiwa perseteruan, bagi anak negeri terutama kalangan yang hidup di wilayah urban tak perlu takut tak ada lagi tempat untuk berpijak ataupun sekedar berdomisili. Tak punya rumah pun, orang masih bisa bertempat tinggal di wisma yang bernama emperan, kolong jembatan, pinggir kali atau pinggiran rel keretaapi. Tak punya pekerjaan pun, masih bisa berpenghasilan dengan berprofesi sebagai pengemis dan gelandangan dengan menjual jasa tampang belas kasihan. 

Pemandangan biasa,  jika di negeri gemah geripah loh jenawi ini, masih banyak orang yang berjuang keras untuk bisa hidup. Masih saja banyak orang menjual harga diri untuk sekedar memperpanjang hidup. Dan masih banyak pula orang harus mengarungi kerasnya kehidupan supaya bisa bertahan hidup. 

Pun menjadi pemandangan jamak, jika di negeri yang dari dulu masih belum berhasil masuk kategori negara maju ini, banyak orang bisa menikmati hidup seperti kehidupan di negara maju, dalam gelimang harta dan kemewahan. Gaya metropolis, pola hidup komsumtif, pergaulan ala liberal, terdominasi dalam kehidupan kalangan kaum berduit. Lakon hura-hura kaum berduit yang terdiri dari komunitas pengusaha dan penguasa (pejabat) termasuk keluarganya, berlangsung terus sepanjang perjalanan waktu. Brankas uang kaum ini seperti tak pernah kosong. Keuntungan usaha yang berlebih bagi pengusaha, dan uang masuk yang berlimpah ruah bagi kalangan pejabat atau yang punya kekuasaan, menempatkan mereka dan keluarganya tetap bisa bertahan hidup dengan bergaya, maupun menempatkan mereka bisa bergaya dalam mengarungi kehidupan. 

Bukan benci dan antipasti dengan kaum berduit, para peengusaha dan pejabat, namun terkadang yang membuat hati terenyuh, karena ditengah masih banyaknya rakyat negeri ini hidup dalam kekurangan, ternyata banyak orang yang dari kalangan berduit, menganut pola hidup hura-hura. Yang lebih menggiriskan, ketika kita mendengar ternyata dari kalangan berduit tersebut mendapatkan harta kekayaan, tak sepenuhnya dari hasil jerih payah usahanya. 

Di negeri ini tak sedikit pengusaha bisa meraup keuntungan besar dalam sekejap, paling tidak dalam hitungan waktu yang singkat. Pengusaha yang punya nyali dan berani berspekulasi, menyodorkan uang besar kepada pemangku kekuasaan birokrasi, maupun kepada penguasa yang bisa mengatur pemangku birokrasi, akan  menjadi pengusaha yang berhasil berhasil meraup keuntungan besar. 

Demikian pula kalangan pejabat yang notabena punya kekuasaan sebagai pembuat kebijakan dan penguasa birokrasi pemerintahan, termasuk pejabat yang punya wewenang sebagai pengawas dan pembuat peraturan, serta pejabat yang berwenang melakukan penegakan hukum, tak sedikit meraup kekayaan via pemanfaatan jabatan dan kekuasaannya.

Dalam kondisi tertentu, tak sedikit kalangan pejabat dan pengusaha hidup berdampingan dalam pola simbiosis mutualisme (saling membutuhkan dan saling menguntungkan). Pegusaha yang hobi berkongkalikong, pengusaha gemar senang berspekulasi, pengusaha yang berbisnis illegal selalu menjadi sahabat terselebung dengan para pejabat yang membuka pintu untuk diajak bersekongkol. Amplop tebal dari pengusaha seperti ini kerap bersileweran dari bawah meja pejabat seperti yang demikian. Bahkan sesama pejabat yang berwatak sejenis pun punya hubungan terselubung, yang kedekatannya juga dilekatkan oleh amplop bawah tangan.

Tak heran kalangan pengusaha dan pejabat (termasuk keluarganya) yang demikian, bisa hidup hura-hura dan penuh gaya. Terlampau gampang meraih limpahan materi dadakan, itulah salah satu alasannya, kendati limpahan materi itu diraih melalui proses pekerjaan diluar koridor alias tanpa jerih payah dari usaha dan jabatan yang sebenarnya.
Belum lama dan dan saat ini kepada kita masih tetap dihidangkan tontonan dan bacaan, tentang sejumlah pengusaha dan pejabat, yang terbongkar persengkongkolannya meraup uang negara yang nota bene uang untuk kepentingan rakyat negeri ini. Pengusaha yang ditangkap jelas kalangan pengusaha yang berani dan berpengalaman berspekulasi, sementara pejabat yang ditangkap juga kalangan pejabat yang lihai mencari rezeki sampingan yang jauh lebih besar dari gaji dan insentifnya sebagai pejabat, dengan memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan jabatannya. 

Masih segar dalam ingatan kita sejumlah kasus korupsi yang terkuak,nyata-nyata dilakukan secara bersama antara pengusaha dan pejabat. Sejumlah pejabat pemerintahan, pejabat wakil rakyat (dan ada pula diantaranya yang berprofesi ustad), pejabat tingkat tinggi dilembaga penegakan hukum yang berpangkat jenderal bintang dua, serta pejabat  pemegang palu di lembaga yang menjadi benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, merupakan serentetan pajabat yang terlibat sebagai pelaku pencuri uang negara. Ironisnya hasil telurusan harga dari sejumlah pejabat yang terlibat sebagai pelaku extra ordinary crime (korupsi; kejahatan luar biasa) tersebut mengalokasikan harta curiannya dengan cara yang terkesan dengan gaya hidup hura-hura. Mobil-mobil mewah dan rumah-rumah mewah, apartemen dan villa mewah  jadi belanjaan, Bahkan ada pula yang menambah lebih dari satu isteri muda yang cantik rupanya, dan isteri-isteri mudanya dilengkapi gelimangan kemewahan.dari harta haram yang dicurinya.

Inilah deskripsi wajah kehidupan di negeri ini. Kendati negeri berada dalam ancaman disintegrasi, disharmonisasi serta miskomunikasi, karena hampir setiap hari diwarnai aneka ragam pristiwa bentrokan diberbagai belahan tempat. Namun keprihatinan hidup sebagian anak bangsa selalu bisa berdampingan dengan kehidupan hura-hura sebagian anak bangsa lainnya, dan masing-masing bisa saling pandang-pandangan. Memang yang berkemewahan, ada yang punya perhatian, dan tak sedikit diantaranya perhatian karena punya kepentingan, tapi sangat banyak yang tak punya  perasaan dan kepedulian. Miris, melihat wajah negeri ini. Negeri penuh huru-hara dan di dalamnya masih banyak berpenghuni para manusia yang hidup penuh hura-hura. (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA