Minggu, 01 November 2009

Catatan Dan Informasi Tentang Tulisanku

Tulisanku yang berjudul

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung
Yang terdiri Bagian Kesatu, Kedua dan Ketiga

Telah diterbitkan di Harian Siantar 24 Jam
secara bersambung pada tanggal 7, 8 dan 9 September 2009

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Ketiga/Habis)

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Ketiga/Habis)


Eksis Sebagai Sekolah Nasional


Ditulis oleh : M. Alinapiah Simbolon. SH



Untuk mempertahankan PN Sehati yang merupakan harta peninggalan leluhur “Chong Hua School” dimana saat itu berada dalam kondisi krisis pasca keluarnya peraturan pemerintah yang mengharuskan merubah status sekolah menjadi sekolah nasional, maka atas masukan Ye Jin Song dimintakan supaya Ibrahim Asikin (ShieChien Fang) yang sudah menjadi pengusaha berkenan kembali ke dunia pendidikan untuk mengurus sekolah dengan jabatan sebagai pengurus harian, karena Ibrahim Asikin dinilai memenuhi persyaratan sebagaimana yang disyaratkan pemerintah masa itu.

Memang akhirnya PN Sehati dapat diselamatkan dari krisis dan pengambilalihan pemerintah dengan terbentuknya Pengurus Yayasan Baru pada tahun 1977 dan PN Sehati berubah nama menjadi Perguruan Sultan Agung, karena memang saat itu disyaratkan pemerintah nama sekolah swasta diambil dari nama pahlawan. Adapun para pengurus yayasan antara lain Julius (Yu Chu Fa), Muchsin Hasan (Mok Ping Sin), Yap Li Wen, Witarmin ( Shi De Ming), Cai Jin Yen, Ibrahim Asikin (Shie Chien Fang), Cang Ta Wen, Cang Da Weng, dan yang menjabat Ketua Yayasan adalah Ye Jing Cong, Lie Hong Cao. Saat itu Ibrahim Asikin yang juga menjabat sebagai Pengurus Harian, disebabkan kesibukan aktivitas bisnis dan keluarga akhirnya menyerahkan jabatan pengurus harian kepada Muchsin Hasan.


Era Baru sebagai Sekolah Nasional

Sejak pergantian Kepengurusan yayasan, dan berubah menjadi sekolah nasional dengan bergantian nama menjadi Perguruan Sultan Agung, sekolah ini memasuki era baru, melalui usaha peningkatan kegiatan proses belajar mengajar, peningkatan kegiatan ekstra kurikuler, dan peningkatan kegiatan lainnya sehingga, sehingga hal itu secara signifkan meningkatkan nama baik Perguruan Sultan Agung. Selain itu Sekolah juga semakin berkembang dengan memiliki jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Lalu pada tahun 1981, Yayasan Sultan Agung dipimpin oleh Muchsin Hasan dan disaat itu Pengurus merumuskan strategi pengembangan sekolah melalui peningkatan dalam rangka meningkatkan kegiatan proses belaja mengajar dengan meningkatkan fasilitas seperti ruang belajar, ruang administrasi, perpustakaan, laboratorium, dan memulai memperkenalkan computer kepada anak didik, serta peningkatan kegiatan ekstra kurikuler seperti drumband, bola basket, bola volley, tari-tarian, seni rupa, seni lukis dan seni suara.


Sekolah Swasta yang Berkualitas

Peningkatan demi peningkatan terus terjadi dan Sultan Agung semakin eksis sebagai sekolah nasional. kemajuan yang signifikan terjadi mulai tahun 2000 sejak Yayasan Perguruan Sultan Agung diketuai oleh Hasan Wijaya (A Ken). Pada Tahun itu juga Perguruan Sultan Agung menambah jenjang pendidikan dengan membuka Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE). Dengan berdirinya STIE Sultan Agung otomatis fasilitas pun harus bertambah dan itu terealisasi dengan penambahan 10 ruangan kelas, ruang laboratorium Computer, Laboratorium IPA dan Laboratorium Bahasa. STIE Sultan Agung sekarang ini memiliki beberapa beberapa jurusan yang antara lain Jurusan Manajemen S1, Jurusan Akutansi D3, dan Manajemen Pemasaran D3 yang ketiga jurusan tersebut telah berstatus Terakreditasi. Dan pada tahun 2008 lalu STIE menambah Jurusan Akutansi S1 yang saat ini statusnya masih dalam proses evaluasi.

Sejak dibawah kepemimpinan Hasan Wijaya terjadi penambahan Komputer yang sebelum tahun 2000 hanya memiliki 20 buah komputer saat ini Perguruan Sultan agung telah memiliki 300 buah computer. Selain itu berbagai penambahan fasilitas terus berlangsung seperti pengadaan genset dengan kekuatan besar untuk mengatasi kekuarangan listrik, memperabaharui perpustakaan, penambahan area bermain untuk Taman Kanak-Kanak, serta pengadaan fasilitas transport dengan membeli Bus baru untuk keperluan siswa dan sebuah mobil kijang untuk keperluan guru dan pegawai.

Selain peningkatan dibidang pendidikan sekolah juga memberikan perhatian ekstra terhadap kemajuan dibidang olah raga, sejak tahun 2001 Sultan Agung secara rutin mnggelar Kejuaraan Bola Basket Sultan Agung Cup yang amerupakan even kejuaraan antar sekolah se Sumatera Utara. Dan 4 tahun terakhir Perguruan Sulta Agung merupakan Juara bertahan, selain itu Sultan Agung juga mengukir prestasi pada tahun 2008 sebagai Juara II di kejuaraan Bola Basket antar sekolah se Sumatera Utara dan Juara II Kejuaraan antar pelajar Piala Yamaha yang berlangsung di Medan.

Disamping Bola Basket sekolah juga mengadakan Pelatihan Tae Kwan Do dan Drum Band, dan untuk Kegiatan Drum Band, Sultan Agung masih diakui sebagai Drumband terbaik di daerah ini, dan pada HUT Kodam Bukit Barisan yang adi pusatkan di Kota Pematangsiantar Atraksi Drumband Sultan Agung lah dimintakan tampil memeriahkan acara tersebut.

Prestasi yang sangat spektakuler yang diraih oleh Perguruan Sultan Agung adalah tampilnya para penari pelajar Yayasan Perguruan Sultan Agung pada tanggal 17 Agustus 2008 di Istana Merdeka Jakarta dalam Acara resmi Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63. Itu adalah penampilan kedua penari Perguruan Sultan Agung di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di tahun 2008 setelah acara Pesta Danau Toba bulan Juni 2008. Sejak itu penari Sultan Agung kerap diundang tampil dalam even dan acara besar seperti pada HUT Kodam Bukit Barisan yang diadakan di Pematangsiantar 2009.

Sebagai sekolah nasional yang saat ini menjadi salah satu sekolah swasta favorit di Pematangsiantar, di usianya yang ke 100 tahun atau satu Abad Sultan Agung seakan tak henti berbenah menuju kemajuan di bidang pendidikan. Ini merupakan kerja keras Pengurus Yayasan dan segenap pelaku pendidikan yang mengabdi di Sultan agung. Di bawah komando Hasan Wijaya selaku Ketua Yayasan, Perguruan sultan Agung saat ini memiliki anak didik di tingkat TK sebanyak 350 orang, SD 1020 orang, SMP 650 orang, SMU 820 orang serta STIE sebanyak 600 orang. Bahkan untuk tingkat kelulusan beberapa tahun terkhir Perguruan Sultan Agung merupakan memiliki persentasi tingkat kelulusan tertinggi, dan pada tahun 2009 ini tinggkat kelulusannya mencapai 100 persen.

Kini Perguruan Sultan Agung telah memperlihatkan jati diri sebagai sekolah nasional, terbukti bahwa yang mengecam pendidikan disekolah tersebut tidak lagi didominasi oleh suku etnis Tionghoa, persentasi siswa yang besekolah di Perguruan Sultan Agung terdiri dari 35 persen yang beragama Islam, 35 persen yang beragama Kristen dan 30 persen yang beragama Budha. Sementara persentase untuk kategori kalangan pribumi sebesar 65 persen dan non pribumi hanya sebesar 35 persen.

Berarti memang saat ini wajah Perguruaan Sultan Agung benar-benar sekolah nasional yang mengutamakan kualitas pendidikan, meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa perjalan sejarah telah mencatat bahwa Sultan Agung merupakan titisan leluhur sejak 100 tahun yang lalu dari kalangan tokoh etnis Tionghoa yang sesungguhnya peduli dengan pendidikan. Selamat Ulang Tahun Ke 100 YP Sultan Agung. (Habis)


Catatan :

Tulisan dikutip dari :

Catatan Sejarah Sultan Agung Dalam Aksara Mandarin yang telah di terjemahkan ke Bahasa Indonesia



Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Kedua)

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Kedua)


Terkenal dengan Sebutan PN SEHATI


Oleh : M. Alinapiah Simbolon. SH


Perbedaan pandangan diantara masyarakat Tionghoa yang telah terbawa ke dalam lingkungan sekolah masih tetap berlangsung meskipun era Penjajahan Jepang telah berakhir dengan masuknya era kemerdekaan.. Puncak perselisihan di lingkungan sekolah terjadi sekitar tahun 1948 sampai dengan 1950. dan pada tahun 1948-1950 terjadi perebutan kekuasaan Kepengurusan dilingkungan sekolah Zhong Hua. Tapi perselisihan itu tidak berlangsung lama, sebab setahun kemudian yaitu pada tahun 1951 Kepemimpinan Chong Hua School kembali dipegang oleh pengurus terdahulu.

Delapan tahun kemudian yaitu pada tahun 1958 terjadilah penggantian Pengurus Yayasan Chong Hua School, dan pengurus yang terpilih antara lain : Si Ping Sin, Huang Yi Chang, Chen Kui Chuan, Si Nan dan beberapa nama lainnya. Namun setelah setahun pergantian kepengurusan yakni pada tahun 1959 Pemerintah mengeluarkan Peraturan bahwa sekolah yang awalnya dibentuk berdasarkan kesukuan terutama sekolah Tionghoa termasuk Chiong Hua School berada dibawah kekuasaan Pengawasan Tentara dan bersamaan itu pula keluar Larangan dari pemerintah bahwa sekolah tidak boleh mengajarkan bahasa Tionghoa. Sehingga saat itu juga Chong Hua School berubah nama menjadi PPS (Panitia Pengawas Sekolah). Kendati telah berganti nama dan berada dibawah pengawasan tentara tapi kendali sekolah tetap berada dibawa pengurus yayasan.

Kondisi dibawah pengawasan tentara terus berjalan sampai dengan terjadinya pergolakan G 30 S PKI tahun 1965. Untuk menghindari penutupan sekolah yang dilakukan oleh pemerintah akibat bias dari Pemberontakan G 30 S PKI, pengurus yayasan saat itu mengutus Kepala Sekolah bernama Sie Chien Fang agar bekerjasama dengan para pendidik dari Medan untuk mengadakan komunikasi dengan pihak Depertemen Pendidikan dan pihak Ketentaraan di Medan.

Upaya yang dilakukan Kepala sekolah Sie Chien Fang dengan bantuan Lae Se Sing dan Siau Jin Hua yang merupakan para pendidik di Medan, akhirnya membuahkan hasil dan Komandan Ketenteraan resmi menjadi Pelindung dan Penasehat Sekolah, sehingga sekolah pun terlepas dari kesulitan. Lalu sejak saat itu sekolah kembali berubah nama dari PPS (Panitia Pengawas Sekolah ) menjadi PN Sehati (Perguruan Nasional Sehati) atau saat itu disebut dengan Sekolah Sehati. Dan Sejak saat itu sebutan nama PN Sehati cukup terkenal dan melekat dihati masyarakat, bahkan sampai saat sekarang ini masih banyak orang terutama dari kalangan orang tua yang menyebut Sultan Agung dengan PN Sehati.

Untuk lebih menguatkan eksistensi PN Sehati, setahun kemudian yakni pada tahun 1966, atas perundingan bersama, pengurus yayasan mengundang beberapa tokoh muda etnis Tionghoa untuk berpartisipasi dalam mengurusi sekolah. Tokoh pemuda yang diundang diantaranya Yao Yong Cien, Se Chi Kuang, Lie Zhi He, Lie Jin Lin, Chang Muli, Cen Se Phei, Si Fu Ceng, Mo Ping Sin, Si Te Ming dan beberapa nama lainnya. Kelompok tokoh muda ini yang disebut masa itu sebagai “Panitia Penolong”.

Dua tahun berikutnya pada tahun 1968 muncul lagi peraturan baru dibidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan izin bagi yang tidak berwarganegara untuk menyelenggarakan “Sekolah Untuk Suku Khusus”, dan dibawah pimpinan Ye Jin Cong PN Sehati berubah fungsi sebagai “Sekolah yang mengatasi kesulitan suku khusus”. Saat itu para pendidiknya adalah guru-guru nomor satu dari Sumatera Utara yang didatangkan dari Sekolah Nan An Medan, bahkan ada tamatan dari Universitas Thai Ta Taiwan dan Universitas dari Hongkong.

Untuk mengoptimalkan manajemen kepengurusan sekolah dan sekaligus usaha kaderisasi kepengurusan sekolah, pada tahun 1972 terjadi perubahan struktur internal di PN Sehati, dimana Yayasan memutuskan mengangkat Wu Tien Yu (Paul Wu) menjadi Direktur Pelaksana (Kepsek) PN Sehati.

Selanjutnya pada tahun 1975 kembali menjadi kembali sekolah mengalami krisis, karena pemerintah mengumumkan peraturan baru bahwa semua sekolah Tionghoa harus diubah menjadi sekolah Nasional dan dilarang mengajarkan Bahasa Tionghoa. Masih menurut peraturan itu, siswapun harus berkewarganegaraan Indonesia, dan jumlah siswa pribumi dan nonpribumi haruslah sama, Inilah yang disebut dengan masa pembauran.

Akibat peraturan itu akhirnya sangat susah untuk melakukan penyesuain keadaan, dan ini spontan menimbulkan perbedaan pandangan antara pihak sekolah dengan pihak depertemen pendidikan. Dengan kondisi seperti itu lalu pemerintah mengambil alih kekuasaan didalam sekolah dan pihak yayasan hanya diberi wewenang untuk mengatur keuangan saja. Sebagai bentuk mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut maka Direktur Pelaksana (Kepala Sekolah) Wu Tien Yu (Paul Wu) rela mengundurkan diri sebagai salah satu syarat yang dibuat pemerintah, karena kalau tidak mengundurkan diri maka pemerintah akan mengambil alih secara keseluruhan dan sekolah PN Sehati akan dijadikan sekolah negeri. (Bersambung)



Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Satu)

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Satu)


Awalnya Sekolah Tionghoa Bernama

Chong Hua School


Ditulis oleh : M. Alinapiah Simbolon. SH


Mungkin banyak orang yang tak tahu dan tak percaya kalau Sekolah yang saat sekarang ini bernama Yayasan Perguruan Sultan Agung yang berlokasi di Jalan Surabaya No. 19 Pematangsiantar itu, beberapa hari lagi tepatnya pada tanggal 9 September 2009 nanti ternyata memasuki Usia ke 100 tahun atau 1 (satu) Abad. Bahkan faktanya dengan usia 100 tahun sekolah ini termasuk salah satu sekolah swasta yang cukup tua di Indonesia dan sekolah nomor satu tertua untuk Sumatera Utara.

Sekolah ini berdiri seratus tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 9 September 1909, jauh sebelum kemerdekaan dan lebih kurang satu tahun sejak Kebangkitan Nasional. Pertama sekali berdiri sekolah ini diberi nama “ Chong Hua School “ atau disebut juga dengan nama” Zhong Hua” ataupun “Xian Zhong“ , nama sekolah ini berbau bahasa China karena sekolah khusus ini untuk warga Tionghoa yang ada di Siantar saat itu.

Yang sangat berjasa mendirikan sekolah ini adalah Lie Yen Liang. Chen Chun Ming, Chen Sun Tan, Cen Cong dan beberapa nama lainnya yang merupakan tokoh tokoh masyarakat Tionghoa yang peduli pendidikan masa itu. Awalnya ditengah keberadaan penduduk suku Tionghoa yang tidak begitu banyak dan umumnya bermatapencaharian dibidang perekonomian yaitu sebagai pedagang, lalu muncul ide dari tokoh masyarakat Tionghoa tersebut untuk mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak masyarakat Tionghoa. Maka atas izin pemerintahan Hindia Belanda masa itu didirikanlah sekolah “ Chong Hua School “ dengan lokasi sekolah tempat belajar siswanya masih menyewa sebuah rumah dan muridnya pun hanya masih beberapa orang saja. Dan pendidikan disekolah itupun masih untuk pendidikan tingkat sekolah rakyat (SR).

Tak lama kemudian salah seorang pendiri Bapak Chen Sun Tan atau yang dikenal dengan nama Tan Sun Tan menyumbangkan tanahnya seluas 4910 M2 untuk tempat didirikannya bangunan sekolah Chong Hua School tahap pertama sejarah pembangunan sekolah “Zhong Hua”. (Sekarang lokasi YP Sultan Agung Jalan Surabaya No 19 Pematangsiantar). Dengan berbagai upaya dan kegigihan Tan Sun Tan dan kawan kawan termasuk bantuan dari masyarakat Tionghoa akhirnya gedung sekolah dapat terbangun.


Menambah Bangunan Sekolah dari hasil Pasar Malam

Tahun ke tahun terus berjalan, sejalan bertambahnya penduduk suku Tionghoa, maka siswa Chong Hua School pun semakin bertambah bahkan warga Tionghoa yang berada dipinggiran kota Siantar banyak bersekolah ke sekolah tersebut, sehingga pada tahun 1931 siswa sekolah itu sudah mencapai 400 orang lebih dan otomatis ruang kelas yang ada sudah tidak mencukupi menampung pertambahan siswa.

Untuk itu lagi-lagi Tan Sun Tan dan kawan-kawan pendiri Chong Hua School berpikir keras untuk merencanakan pembangunan untuk menambah ruangan kelas, dan gambar sketsa bangunan pun telah dibuat oleh Tan Sun Tan. Namun karena dana pembangunan belum mencukupi, akhirnya Tan Sun Tan mendapat akal, dengan meminta izin kepada pemerintah untuk mengadakan Pasar Malam dan hasil dari pasar malam itu akan digunakan untuk pembangunan gedung sekolah Dan memang dari hasil pasar malam yang diadakan Tan Sun Tan dan kawan-kawan akhirnya kekuarangan dana untuk penambahan pembangunan gedung dapat teratasi dan pembangunannya pun akhirnya dapat terealisasi. Dan inilah tahap kedua sejarah pembangunan sekolah “Zhong Hua “.

Lima tahun kemudian yaitu pada Tahun 1936 kembali, kembali Chen Sun Tan alias Tan Sun Tan dan kawan kawan membuat tahap ketiga sejarah pembangunan Sekolah “Zhong Hua” dengan membangun fasilitas gedung tambahan lagi, dan sekaligus pada tahun itu juga Chong Hua School membuka Jenjang pendidikan Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dimasa jatuhnya Pemerintahan Penjajahan Belanda dan masuknya masa Penjajahan Jepang Chong Hua School juga mengalami tekanan, namun proses belajar mengajar masih tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun demikian saat itu keadaan telah mempengaruhi pola pikir masyarakat dan terjadi perpecahan dan perbedaan pandangan, dan perbedaan pandangan itu juga terjadi di lingkungan masyarakat Tionghoa yang akhirnya juga terbawa ke lingkungan sekolah Zhong Hua. (Bersambung)

Jumat, 03 Juli 2009

MANA LEBIH SADIS YANG DIALAMI SITI HAJAR ATAU MANOHARA ? ( Catatan )

Mana yang lebih sadis dan lebih menderita akibat penyiksaan yang dialami Siti Hajar atau Manohara ?… Jelas Siti Hajar dengan kondisi yang babak belur dan cacat seumur hidup… Tapi dimana perhatian, kepedulian dan pembelaan publik terutama media dan para Advokad kondang (yang katanya pendekar penegakan hukum dan keadilan) terhadap orang seperti Siti Hajar ? Apakah karena dia hanya seorang TKI dari kalangan jelata dan bukan selebritis ? sehingga kasus yang dialaminya tidak mendapat perhatian dan pembelaan sebagaimana perhatian dan pembelaan terhadap Kasus Manohara yang sangat berlebihan… Padahal jika dinilai penyiksaan dan penderitaan yang dialami Manohara hanyalah nol koma nol nol sekian persen (atau setaik upil) dibandingkan penyiksaan dan penderitaan yang dialami Siti Hajar... Sangat disayangkan ternyata publik, media dan para Advokad sudah tidak bisa memilah dan menilai dengan mata dan hati yang jernih, mana yg harus diberikan eksta perhatian, dukungan dan pembelaan........... Yach ... Ternyata masih begitulah masih Orang Indonesia !!!

Sabtu, 06 Juni 2009

BERSAMA DR. LUHUT MP PANGARIBUAN, SH, LL.M

Saat berdialog dengan DR. Luhut MP Pangaribuan, SH, LL.M
Usai menghadiri salah satu Persidangan di Pengadilan Negeri Pematangsiantar (Selasa, 3 Juni 2009)


Sabtu, 30 Mei 2009

BER ORASI PADA AKSI UNJUK RASA ALIANSI JURNALIS ANTI KEKERASAN (AJAK)


Saat Aku ber orasi pada aksi unjuk rasa Aliansi Jurnalis Anti Kekerasan (AJAK) di Polresta Pematangsiantar (Jumat 29 Mei 2009)
Aksi tersebut menuntut agar Polresta Pematangsiantar serius menangani dan mengusut Aksi teror, ancaman dan kekerasan terhadap Jurnalis di Pematangsiantar yang berlangsung belakangan ini, seperti Aksi teror dan ancaman yang dialami Kantor Redaksi Harian Siantar 24 Jam tanggal 26 Mei 2009 lalu.

Selasa, 19 Mei 2009

* Catatan dan Informasi Tentang Artikelku

Artikelku yang berjudul

"GOLF DAN PEJABAT"
telah diterbitkan di Harian Metro Siantar, Metro Asahan Rantau, Metro Tapanuli dan Metro Tabagsel
pada tanggal 19 Mei 2009

Sabtu, 16 Mei 2009

* GOLF DAN PEJABAT ( A r t i k e l )


GOLF DAN PEJABAT

Oleh : M. Alinapiah Simbolon, SH


Rasanya tak pernah terdengar turnamen atau kejuaraan Golf yang pesertanya para pejabat ataupun para pengusaha yang juga notabene teman karibnya pejabat, dan sudah pasti sangat langkah rasanya hal itu terdengar terutama bagi kaum awam, jangankan mendengar Kejuaran atau Turnamen Golf antar pejabat ataupun tesinnya pejabat yaitu pengusaha, melihat langsung permainan golf pun merupakan barang langkah bagi sebagian besar kaum awam karena olah raga itu memang domeinnya para eksklusif atau kalangan elite alias dalam istilah zaman kolonial disebut kalangan borjuis yang didalamnya termasuklah para aristrokrat dan kapitalis atau istilah infotainment kalangan tersebut juga terkatagori kalangan selebritis..

Dan untuk ukuran negara kita Golf sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan olah raga lain, karena bagi orang-orang dinegeri ini terutama yang berada pada level jelata merupakan hal yang utopis bisa bermain golf apalagi untuk menjadi atlit golf, makanya tak pernah ada dan mungkin takkan pernah ada Tiger Wood atau Chad Campbel dari Indonesia. Pastinya bagi kita yang jelata harus bersabar menunggu jadi pejabat ataupun pengusaha terlebih dahulu baru memungkinkan bermain golf.

Golf memang asing bagi kaum awam, tapi tidak demikian bagi kalangan berkelas, dan itu digemari bahkan seakan menjadi olah raga wajib bagi kalangan dimaksud. Olahraga mahal itu sudah menjadi trade mark bagi kaum elite, malah boleh dibilang Golf akan lebih menyempurnakan eksistensi mereka sebagai penyandang predikat kaum elite, termasuklah itu menunjang kesempurnaan predikat mereka sebagai pejabat ataupun pengusaha.

Ansari Azhar dan Nasruddin Zulkarnaen mungkin merupakan segelintir atau dua orang dari sekian banyaknya orang-orang atau golongan pencari kesempurnaan bagi profesi yang disandangnya, sehingga mereka berkecimpung menjadi pemain atau peng hobby golf tapi bukan masuk kategori atlit olahraga golf. Mungkin-mungkin saja anak manusia yang bernama Antasari Azhar dengan puncak karir sebagai Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun yang bernama Nasruddin Zulkarnaen dengan jabatan terakhir sebagai Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (salah satu anak perusahaan BUMN), saat masih belum berjabatan atau masih bawahan tak mengenal apa itu yang namanya golf. Lalu sejalan dengan meningkatnya karir maka pola gaya hidup pun dituntut ataupun tertuntut untuk berubah, mengikuti gaya elite para pendahulu yang sudah mengkultur dan melekat dikalangan level atas, salah satunya bermain golf dan itu mereka lakoni seperti para pejabat ataupun kalangan atas lainnya. Malah demi kepentingan bermain golf, seorang Antasari Azhar pun tidak peduli dengan adanya rambu dari internal Institusi yang dipimpinnya yang melarang pimpinan KPK menggeluti olahraga itu untuk kepentingan sterilisasi atas jabatan yang disandangnya.

Lalu apa yang jadi masalah kalau pejabat ataupun pengusaha bermain golf ? Memang sebenarnya tak ada masalah ataupun yang harus dipermasalahkan, karena bermain golf adalah hak. Golf memang miliknya orang berkantong tebal. Pejabat dan pengusaha sudah pasti orang yang berkantong tebal, sehingga pantas saja mereka bermain golf, kendati sudah menjadi cerita lama atau menjadi wacana umum selama ini, bahwa ada kepentingan kekolegaan antar elite termasuk juga kepentingan jabatan maupun kepentingan bisnis dibalik acara main golf bagi kalangan tersebut.

Namun tak bisa kita pungkiri bahwa kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaean yang telah menyeret Antasari Azhar menjadi seorang imigran yang menetap sementara di dibalik jeruji tahanan Polda Metro Jaya karena diduga kuat sebagai otak pembunuhan terhadap Bos PT Putra Rajawal Banjaran itu, adalah sebuah malapetaka besar yang berawal dari lapangan golf, dimana dua orang hebat sesama pemain golf saling bersaing atau berkompetisi memperebutkan piala berupa wanita cantik berprofesi sebagai caddy lapangan golf yang bernama Rani Juliani.

Pristiwa yang membuat heboh seantero negeri tersebut akhirnya telah mengubah status dua gelintir orang hebat di negeri ini, yang selama ini sama-sama merumput di lapangan Golf Padang Modernland Club yang berlokasi di Tangerang. Yang satu seorang pejabat tinggi di perusahaan besar yang status karirnya akhirnya padam alias pensiun dini dengan menerima predikat almarhun setelah meregang nyawa ditembus peluru penembak bayaran. Dan yang satu lagi adalah seorang petinggi negeri yang sebelumnya tengah berada dipuncak karir sebagai Pimpinan Lembaga Penegakan hukum bernama KPK yang ditakuti para koruptor di negeri ini, karena diduga kuat terlibat sebagai otak pembunuhan Nasruddin akhirnya berubah status dari seorang sosok yang dikenal membuat para koruptor berada dibalik jeruji, kini menjadi seorang yang berstatus tahanan dan akhirnya juga berkediaman dibalik jeruji, menyusul para sang koruptor yang pernah dijebloskannya.

Dan bukan hanya itu karir dua orang elite lainnya yang satu dikenal sebagai Politikus dan Pengusaha Media bernama Sigid Haryo Wibisono dan yang seorang lagi Pejabat Kepolisian RI bernama Kombes Pol. Wiliardi Wizard, pun ikut berubah status menjadi tahanan yang juga meringkuk dibalik Jeruji besi karena keterlibatannya sebagai otak pembunuhan Nazaruddin.

Malapetaka yang telah dialami Nasruddin dan nasib naas yang kini dialami Antasari adalah gambaran dua orang dari kaum berkelas yang satu pejabat perusahaan dan satunya lagi pejabat negara yang sama-sama peng hobby golf dan bermain golf diarena yang sama. Dan dapat dikatakan akhir karir merekapun berawal dari kompetisi di lapangan golf, tapi bukan kompetisi dalam rangka perebutan piala kejuaraan golf, tapi dalam rangka memperebutkan cinta seorang wanita cantik jelita yang bekerja sebagai caddy lapangan golf. Peristiwa itu seakan memberikan image tambahan, bahwa kaum elite tidak hanya menjadikan lapangan golf sebatas arena bermain golf saja. dus sebagai arena sambilan yang selama ini terwacana dimanfaatkan untuk kepentingan kekolegaan antara kaum elite, termasuk juga kepentingan jabatan ataupun bisnis sebagaimana dibayangkan kaum awam. Tapi sudah lebih dari itu, terbukti diarena golf pun telah menjadi lokasi awal perjalanan kisah nyata cinta segitiga dengan warna perselingkuhan yang dilakoni dua orang pejabat memperebutkan seorang wanita yang ending ceritanya berakhir tragis, memilukan dan memalukan.

Mungkin pristiwa Pembunuhan Nasruddin dan keterlibatan Antasari sebagai dalang pembunuhan tersebut memberikan tambahan kesan negatif terhadap aktifitas kalangan elite peng hobby golf. Sebab wajar terbangun pemikiran bahwa terjadi affair para elite dengan wanita diarena atau melalui arena permainan golf mungkin bukan hanya dilakoni Nasruddin dan Antasari saja. Malahan paskah terkuaknya pristiwa dengan latas belakang cinta segitiga itu sudah muncul wacana bahwa tingkat kecurigaan dan kekhawatiran para isteri bersuami pejabat atau kalangan elite peng hobby golf semakin tinggi. Wajar dan sah-sah saja memang, namanya pejabat !!!



Penulis adalah

Direktur Eksekutif Government Monitoring

Siantar – Simalungun

e-mail : m.alinapiahs@yahoo.com

http//www.ali-dolisimbolon.blogspot.com

Senin, 11 Mei 2009

SELAMAT ULANG TAHUN KE 6 BUAT ANAKKU

Hari ini tanggal 11 Mei 2009,
Anakku yang sangat kusayang dan kucinta

DOLIARGA HASANUL ABDILLAH SIMBOLON

tepat berusia 6 tahun.

Selamat Ulang Tahun buatmu Jagoanku, Harapanku, dan Buah Hatiku.........
Semoga Panjang Umur dan kelak menjadi orang berbakti dan berguna...... Setidaknya Kami sangat berharap engkau kelak menjadi Lelaki yang yang bernilai dan berharga sesuai namamu Doliarga ........
Kami tetap sayang dan cinta samamu

Jumat, 10 April 2009

* Catatan dan Informasi tentang Artikelku


Artikelku yang berjudul

CONTRENGAN RAKYAT
"MEMBAWA NIKMAT ATAU LAKNAT"
telah diterbitkan di Harian Metro Siantar
pada tanggal 8 April 2009

Selasa, 07 April 2009

* CONTRENGAN RAKYAT "MEMBAWA NIKMAT ATAU LAKNAT" ( A r t i k e l )

CONTRENGAN RAKYAT

“MEMBAWA NIKMAT ATAU LAKNAT”

Oleh : M. Alinapiah Simbolon, SH


Mencontreng dalam arti sebuah perbuatan bukanlah pekerjaan yang rumit, bahkan terlampau mudah untuk dilakukan, termasuk bagi orang yang buta hurup sekalipun. Namun kegiatan mencontreng secara nasional yang akan dilakukan pada hari kamis tanggal 9 April 2009, adalah sebuah kegiatan mencontreng yang sangat istimewa karena dilakukan dalam konteks Pemilihan Umum yang menjadi agenda politik nasional. Dan perbuatan mencontreng dimaksud tentunya sangat memiliki makna politis, dalam arti contrengan dan hasil contrengan sudah pasti menentukan masa depan bangsa dan negara untuk masa lima tahun kedepan. Dengan demikian kegiatan contreng mencontreng dalam konteks pemilu tidak lagi menjadi sebuah perbuatan gampang dan mudah meskipun cara dan petunjuk mencontreng sudah ada aturannya bahkan sudah tersosialisasi dalam waktu yang cukup lama.

Acara mencontreng dengan label pesta demokrasi ini, idealnya menuntut adanya sebuah perhitungan berdasarkan akal sehat, tentunya bagi rakyat pemilih yang memiliki kompetensi sebagai peserta pencontreng, akal sehat setidaknya haruslah dijadikan motivator ataupun instrument berpikir sebelum melakukan pencontrengan. Ini semua harus menjadi pemahaman bagi rakyat sebelum melakukan pencontrengan, karena hasil contrengan yang notabene merupakan sebuah pilihan adalah sebuah keputusan urgen yang menentukan nasib rakyat dan bangsa negara republik ini. Kalau kemudian timbul sebuah pertanyaan, Apakah rakyat pemilih bisa dan mampu mencontreng berdasarkan akal sehat ? tentu sangat sulit untuk menjawabnya, meski usai pemilu pun tetap akan sulit untuk menjawab apakah caleg yang terpilih ataupun partai pemenang adalah hasil contrengan berdasarkan akal sehat.

Secara jujur harus kita akui akal sehat dari rakyat bangsa ini terutama dalam hal menentukan sikap dan pilihan politik terlalu sulit untuk diketahui parameternya. Kondisi rakyat dalam semua aspek kehidupan yang sebahagian besar masih berada pada katagori memprihatinkan, sangat tidak menjamin rakyat bangsa ini akan berpikir sesuai akal sehat ketika memanfaatkan hak politiknya atau menentukan pilihannya dalam pemilu kali ini. Bagaimana rakyat miskin bisa berpikir dengan akal sehat menghadapi dan menggunakan hak politiknya dalam pemilu, jika memikirkan makan atau memikirkan hidup saja mereka harus berpikir tujuh keliling, dan pada level seperti ini kebanyakan rakyat akan lebih bersikap apriori mengahadapi pemilu ataupun menentukan pilihan, dan dalam posisi seperti ini juga kebanyakan rakyat berpikir instan sehingga relatif gampang dijadikan target permainan money politik para caleg.

Kondisi lain seperti banyaknya komoditas partai politik berbagai merek yang menjadi peserta pemilu dimana tiap komoditas partai politik juga membawa banyak komunitas produknya yang bernama caleg sebagai punggawa partai yang ditasbihkan untuk berperang memperebutkan hati rakyat diarena pemilu, juga mendorong dan memungkinkan akal sehat akan sulit berperan atau dijadikan sebuah pertimbangan pemikiran, bahkan bisa jadi tidak masuk menjadi bahagian dari niat rakyat pemilih untuk menentukan pilihan. Sebab pada kondisi ini juga membuat rakyat dilanda kebingungan untuk menentukan pilihan yang mana yang terbaik diantara limpah ruah caleg produk partai yang semuanya mengklaim dan terpromosi sebagai yang terbaik ibarat kecap nomor satu.

Sebenarnya masih banyak faktor lain yang berpotensi menjadi tembok yang menghambat rakyat untuk berpikir secara akal sehat menghadapi pemilu ataupun menentukan pilihan pada pemilu, diantaranya tingkat pengetahuan dan kesadaran politik rakyat yang masih rendah, terutama kurangnya kesadaran rakyat yang menganggap pemilu adalah bagian sangat penting dari sebuah proses demokratisasi yang sangat berperan menentukan nasib rakyat, bangsa dan negara. Mungkin tak perlu dijelaskan secara mendetail apa penyebab semua itu. Kalau dipikir-pikir wajar-wajar juga rakyat bersikap apatis dalam menentukan pilihan, karena dari pengalaman pemilu kepemilu tak ada hasil spektakuler yang bisa merubah wajah dan kehidupan rakyat republik ini secara umum, kalaupun ada yang berubah tak lebih hanyalah perubahan status segelintir orang rakyat dari dua ratus lima puluh juta lebih rakyat negeri ini yang awalnya calon wakil rakyat (caleg) berubah menjadi pejabat wakil rakyat yang dipilih rakyat, dan setelah menjadi pejabat lebih banyak lupanya kepada rakyat dan justru cenderung berbuat jadi pengkhianat rakyat alias menyengsarakan rakyat, lalu kalaupun ingat rakyat yaitu setelah lima tahun atau disaat mau habis masa berlaku jadi wakil rakyat, dan itupun karena mengalami narkose atau ketagihan dan ingin kembali jadi pejabat wakil rakyat.

Terlepas dari semua kondisi yang terjadi selama ini, ataupun kondisi pasca pemilu-pemilu terdahulu, dihadapan kita hanya tinggal sedikit lagi waktu atau bisa dihitung dengan hitungan menit bahkan hitungan detik menuju hari pencontrengan. Apakah kita sebagai rakyat pemilih bisa berpikir dengan akal sehat atau tidak, semua kembali kapada kita. Memang kalau menilik pengalaman dan hasil pemilu terdahulu, wajar lahir sikap skeptis dan pesimis atas apapun yang akan dihasilkan pemilu kali ini. Mungkin masih banyak yang akan beranggapan pemilu kali ini hasilnya sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sehingga logika berpikir rakyat mengalami friksi dan tidak lagi sepenuhnya mengedepankan kepentingan masa depan bangsa dan negara. Jika sudah demikian acara mencontreng yang menjadi agenda politik penting dinegara ini, maknanya hanya menjadi sekedar sebuah perbuatan memenuhi undangan untukmemilih lalu melaksanakan hak pilih secara beramai-ramai tanpa perhitungan bahwa hak pilih itu sebenarnya bernilai politis dan sangat menentukan perjalan bangsa.

Namun kalaulah kita katakan bahwa pemilu kali ini hasilnya akan berbeda karena figur wakil rakyat yang akan dihasilkan oleh pemilu kali ini juga akan berbeda dengan pemilu terdahulu, bisa saja diterima akal dan sangat berpeluang untuk terwujud oleh karena sistem pemilu kali ini adalah sistem pemilu yang sangat demokratis untuk pertama kali yang akan digunakan, dan sudah pasti berbeda dengan sistem pemilu terdahulu. Tapi yang jelas yang semua yang akan dihasilkan pemilu demokratis ini tergantung hasil contrengan rakyat. Sejatinya rakyat diharap bisa berpikir untuk menentukan pilihan, sebab rakyat dihadapkan dengan berbagai macam merek calon wakil rakyat hasil produksi partai politik untuk dijadikan pilihan. Bagi masing-masing partai politik deretan figur caleg yang dijualnya kepada rakyat pemilih sudah pasti diklaim sebagai produk terbaik, berkualitas dan layak jual meskipun kenyataannya masih banyak produk caleg buruk dan berpotensi berjiwa koruptur yang dihasilkannya, namun itulah kata partai yang nota bene pabrik caleg, sebab tak ada kecap yang tak nomor satu.

Kita yakin bahwa masyarakat awam tidak semua bodoh menilai, masih banyak rakyat tahu dan mampu menilai siapa yang terbaik diantara deretan para caleg. Semua itu tergantung rakyat, ditengah masih banyaknya rakyat yang mampu menilai apakah akan memilih dan mencontreng yang terbaik atau tidak, tentu motivasi untuk menentukan pilihan juga tergantung kapada cara berpikir, apakah bisa berpikir dengan akal sehat dibarengi dengan berbagai aspek pertimbangan, atau setidak-tidaknya bisa berpikir sedikit menggunakan akal sehat atau sama sekali tidak berpikir dengan konteks demikian. Yang pasti hasil contrengan rakyat akan melahirkan dua pilihan yakni “Contrengan Rakyat Membawa Nikmat” jika caleg yang terpilih adalah figure yang bersih, dan peduli dengan rakyat, atau “Contrengan Rakyat Membawa Laknat” jika caleg yang terpilih adalah figur pengkhianat Rakyat.

Penulis Adalah

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

dan Vocal Point, Institute for Judicial Monitoring (IJM)

Siantar-Simalungun

e-mail :m.alinapiahs@yahoo.com

http//www.ali-dolisimbolon.blogspot.com



Sabtu, 04 April 2009

AKU DENGAN ARBI SANIT PENGAMAT DAN PENELITI LIPI


Saat Aku bersama ARBI SANIT, Pakar dan Pengamat Politik Nasional yang juga Peneliti Senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pada Acara Diskusi Publik dan Penandatanganan Kontrak Politik Caleg Siantar-Simalungun, di Convention Hotel Siantar Hotel Pematangsiantar, Senin 30 Maret 2009.

BERSAMA ARBI SANIT DAN REKAN AKTIVIS

Aku dengan ARBI SANIT serta Rekan Aktivis
di Acara Diskusi Publik dan Penandatanganan Kontrak Politik Caleg Siantar-Simalungun, di Convention Hall Siantar Hotel Pematangsiantar, Senin 30 Maret 2009

Jumat, 27 Maret 2009

* Catatan dan Informasi tentang Artikelku

Catatan dan Informasi tentang Artikelku

Artikelku yang berjudul

" HELATAN DEMOKRASI YANG MEMBINGUNGKAN "
telah diterbitkan di Harian Metro Siantar
pada tanggal 25 Maret 2009

Kamis, 26 Maret 2009

* HELATAN DEMOKRASI YANG MEMBINGUNGKAN ( A r t i k e l )

HELATAN DEMOKRASI YANG MEMBINGUNGKAN

Oleh : M. Alinapiah Simbolon, SH


Memang hingga detik ini masih ada persoalan yang menjadi ganjalan menuju proses pemilihan umum, yakni belum ada kepastian aturan caleg terpilih (calih) pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut, serta penilaian atas kinerja penyelenggara Pemilu yang dianggap masih kurang maksimal, sementara Hari Mencontreng sudah semakin dekat, menyikapi hal itu, lalu muncul pula pendapat dari berbagai kalangan meminta ditundanya pemilu dan ini belakangan mewacana kepermukaan. Namun bagi para kompetitor politik yang ikut bertarung di Pemilu kali ini, hal itu seakan tak mempengaruhi proses perjalanan menuju puncak helatan demokrasi. Seolah tampak tak perduli apakah Aturan Caleg Terpilih mau keluar atau tidak, yang penting bagi para caleg adalah memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit lagi dengan meningkatkan intensitas gerakan politiknya dalam rangka mendulang suara dengan satu tekad yaitu menang dan meraih suara terbanyak di hari H.

Tanggal 9 April hanya menunggu hitungan hari, Rakyat Indonesia terkhusus para kompetitor politik diantaranya partai politik dan para penghuni partai politk yang berpredikat caleg (Calon Legislatif) untuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi dan DPR RI serta Calon non partai alias calon perseorangan untuk DPD, sudah pasti fokus menanti kehadiran tanggal keramat tersebut, karena tanggal itu merupakan tanggal penentu nasib mereka sebagai peserta yang ikut mempertarungkan diri di liga politik nasional yang diselengarakan 5 tahun sekali itu.

Bagi hampir semua kalangan, tentunya hasil pertarungan di tanggal 9 April nanti akan menjadi informasi aktual dan pasti menjadi issu menarik untuk dibahas dan diperbincangkan secara nasional Bayangkan saja lebih dari 500.000 atau setengah juta jiwa jumlah para pertarung politik yang berbandrol dan bermerek caleg, dalam kondisi sport jantung menanti hasil contrengan sekitar 171,2 juta rakyat Indonesia yang telah ditetapkan sebagai pemilih. Apakah mereka akan berhasil menduduki 17.792 kursi yang telah disediakan atau tidak ( dengan perincian 560 kursi DPR, 132 kursi DPD dan 17.100 kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota), itu semua terpulang dan tergantung kepada hasil contrengan 171,2 juta rakyat pemilih yang hadir di TPS pada hari H. Berapapun jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih pada tanggal 9 April, yang pasti hasilnya tetap menentukan nasib lebih 500.000 juta caleg tersebut.

Dalam pemilu yang baru pertama kali ini dilakoni dengan mekanisme demokrasi yang sesungguhnya terutama tanpa menggunakan nomor urut, sangat wajar melahirkan tingkat ambisi yang tinggi dari para caleg, dan hasilnya juga sudah pasti akan melahirkan sebuah konsekwensi terpahit yang akan dialami oleh sekitar 482 ribu jiwa lebih caleg yang tak mendapat kepercayaan rakyat. Berarti dengan demikian jauh lebih besar persentase jumlah caleg (hitungan kasarnya sekitar 98 persen lebih) yang keok alias tetap menyandang gelar bekas caleg, dan hanya sekitar 17.792 jiwa caleg (sekitar kurang dari 2 persen) dari sekitar 500 ribu caleg, yang akan tersenyum manis karena berhasil meraih kursi panas legislatif alias menjadi pejabat negara dengan embel-embel wakil rakyat terhormat.

Tragis memang membayangkan dan rakyat awam mungkin bisa dibikin bingung jika menghitung-hitung budget yang terbuang sia-sia, dan sangat sulit rasanya untuk menghitung secara terperinci maupun secara global berapa besaran nominal pundi uang yang keluar dari kantong para caleg tereleminasi yang jumlahnya sangat fantastis yaitu 482 ribu lebih caleg. Yang jelas rupiah yang telah keluar dan tak terhitung jumlahnya itu hanya

dikenang sebagai biaya ambisi politik yang gagal dari para caleg, dan kalau boleh sedikit agak guyon yaitu biaya yang telah mengucur yang sebahagian besar terbuang untuk kepentingan jual tampang melalui iklan, ternyata hanya efektif untuk membeli gelar “Mantan Caleg” yang resmi disandang setelah kalah dikompetisi pemilu.

Mungkin hanya segelintir dari caleg yang kalah akan menganggap sebagai hal yang biasa dalam sebuah pertarungan di ranah politik, dan itupun tentu bagi para caleg terkatagori berkantong tebal dan siap menerima kekalahan dan dengan segala macam kerugiannya. Namun apakah demikian bagi caleg diluar katagori seperti itu ? terutama para caleg yang menganggap kursi legislatif sebagai lowongan kerja yang sangat menjanjikan sehingga berjuang mati-matian dengan mengorbankan segala sesuatu untuk meraihnya. Tentu kita masih akan meraba apa yang akan terjadi. Mungkin untuk sementara kita hanya bisa berprediksi bahwa helatan demokrasi kali ini membingungkan, ataupun akan melahirkan hal yang membingungkan.

Sebenarnya banyak aspek yang membuat bingung, diantaranya bingung melihat amburadulnya persiapan penyelenggaraan pemilu termasuk aturan caleg terpilih yang masih mengambang dan tak jelas, bingung melihat banyaknya partai peserta pemilu beserta pampangan para calegnya dan bingung siapa yang mau dipilih serta bingung memprediksi siapa yang terpilih, bahkan tidak hanya kita yang bingung, negara luar juga bingung melihat pemilu kita dan dianggap sebagai pemilu yang terumit karena melibatkan sekitar 9, 4 juta orang sebagai penyelenggara pemilu. Dan hal yang membingungkan lainnya mungkin akan terjadi dan perlu menjadi perhatian adalah bingungnya para caleg, karena kemungkinannya banyak para caleg yang akan bingung sekaligus linglung jika tak terpilih.


Penulis adalah

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

dan Vocal Point, Institute for Judicial Monitoring (IJM)

Siantar-Simalungun

e-mail : m.alinapiahs@yahoo.com

http//www.ali-dolisimbolon.blogspot.com



Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA