Rabu, 30 Januari 2013

Kasus Suap Impor Daging Sapi..... Badai Dahsyat Buat PKS





Kasus Suap Impor Daging Sapi
Badai Dahsyat Buat PKS

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishak telah ditetapkan sebagai tersangka kasus Suap Impor Daging Sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah KPK menangkap tangan dan memeriksa orang dekat Luthfi Hasan Ishak bernamaAhmad Fathonan bersama dua pengusaha dari PT Indoguna Utama yaitu Juard Effend dan  Arby Arya Effendi serta satu orang wanita muda yang berstatus mahasiswi bernama Maharani.  Barang bukti Rp 1 miliar sudah disita. Dan tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka politikus DPR RI itu langsung diciduk dan ditangkap dari Kantor DPP PKS, dan selanjutnya digelandang plus dijebloskan di tahanan KPK.  

Kerlibatan Lufti Hasan Ishak dalah sebuah pukulan berat bagi Partai Keadilan Sejahtera. Tak pelak pula hal itu menjadi sebuah  kejutan dengan frekwensi tingkat tinggi buat pengurus dan kader PKS.  Seluruh jajaran pimpinan partai yang ber platform Islam tersebut, dipastikan tak berkutik, mendapat dan menerima aib yang justru dibuat sendiri oleh orang nomor satu di partai itu. Buat PKS. Ini ibarat hantaman badai dahsyat sedahsyat badai tsunami, yang dengan sekejap menghancurkan sendi-sendi moral dan image positif partai yang sudah terbangun cukup lama. Yang pasti  dalam sekejap pula  akan terbangun image buruk terhadap partai tersebut sampai ke tingkat basis.

Lebih ironis, landasan dan prinsip partai yang berorientasi kuat pada ajaran agama Islam itu pun seakan tercabik-cabik, akibat ulah sang bos besar partai tersebut.  Nama baik PKS pun tak bisa dipungkiri bakal runtuh seruntuh-runtuhnya hanya karena perbuatan korup satu orang oknum bernama Luthfi Hasan Ishak.
Kalau sebuah partai politik mengalami degradasi karena kesalahan partai atau oknum-oknum partai, tentunya yang malu dan menerima konsekwensinya adalah partai itu sendiri dan oknum partai yang bersangkutan. Namun kalau yang mengalaminya adalah partai yang berlabel Islam seperti yang dialami PKS, tentu biasnya bukan hanya konsekwensi  malu dan kehancuran PKS, tapi juga memunculnya rasa malu terutama dari kalangan Islam diluar internal PKS. 

PKS yang selama ini merupakan salah satu partai politik yang masuk perhitungan dalam konstelasi  politik nasional dan terkenal militansinya serta kerap memperjuangkan aspirasi ummat Islam, ternyata dianggap tak mampu menjaga eksistensi dan nama baiknya sebagai parpol yang berlabel Islam. Cap sebagai partai yang selama ini dianggap relatif bersih, langsung meluntur  dan cap tersebut berubah salam sekejap seperti membalikkan telapak tangan. 

Memang bukan hanya PKS saja partai Islam yang mengalami badai seperti ini. Namun PKS yang masih dianggap lebih Islami dan lebih militan memperjuangkan aspirasi Islam dibanding parpol Islam lainnya, maka secara moral, nilai buruk dan nilai malunya pun jadi lebih terasa dan dirasakan termasuk oleh kalangan Islam non partisan. Kalau PKS berdalih  itu adalah perbuatan oknum, juga tak akan bisa menghadang terpuruknya elektabilitas partai, karena perbuatan tersebut telah menjadi najis berat yang proses penyuciannya tidak hanya sekedar di samak saja. 

Terkuaknya Kasus Suap Impor Daging Sapi, yang melibatkan politikus DPR RI yang juga pimpinan tertinggi PKS itu, menyebabkan pintu menjadi sangat terbuka menuju kehancuran PKS, dan pintu itu telah dibuka oleh pimpinan tertinggi PKS sendiri . Ummat Islam yang mayoritas menjadi penghuni negeri ini tentu tidak tak habis pikir menyikapi terjadi kasus yang menjadi badai dahsyat menghantam partai yang dikenal  banyak dihuni para ustadz tersebut. Mampukah PKS mempertahankan imagenya sebagai partai Islam, pasca kasus korup yang sedang menerpa partai itu ? 

Yang pasti  kepercayaan  dan respons publik khususnya publik Islam republik ini kepada PKS, drastis mengalami penurunan. Dipastikan pula yang akan terjadi adalah perubahan sikap terhadap PKS. Rasa simpati jadi antipati , dan penilaian positif jadi penilaian negatif . Label sebagai partai munafik pun bakal melekat pada PKS. (***)


Senin, 28 Januari 2013

Pilgub Sumatera Utara..... Hanya Sebatas Mencari Pemenang




Pilgub Sumatera Utara
Hanya Sebatas  Mencari Pemenang 

Oleh : M. Alinapiah Simbolon


Atmosfer menjelang Pemilihan Gubernur Sumatera Utara, memang tak semeriah dan semembahana ketika berlangsungnya pristiwa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang telah dimenangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).  Wajar, sebab fokus perhatian publik terhadap agenda politik Pilgub Sumut tak sedahsyat dibandingkan dengan fokus perhatian publik terhadap momentum Pilgub DKI Jakarta.   

Propinsi Sumut memang bukan DKI Jakarta, dimana fokus perhatian terhadap Propinsi DKI Jakarta lebih menasional karena di wilayah DKI Jakarta lah beradanya markas besar  pemerintahan Negara RI dan perangkatnya, serta menjadi pusat bersemayam para kapitalis kondang, pimpinan berbagai lembaga swasta, pimpinan organisasi politik dan kemasyarakatan. Disamping itu, DKI Jakarta  juga tempat dimana menjadi kantor pusat pendistribusi  informasi ke pelosok negeri yaitu media-media nasional baik media cetak maupun elektronik,  sehingga gaung pemberitaan terkait pristiwa apapun di DKI Jakarta, termasuk  aktivitas agenda Pilgub DKI Jakarta, baik pada  pra pemilihan, pemilihan dan pasca pemilihan jauh lebih besar volumenya. Pastinya dari berbagai aspek lain juga Propinsi  DKI Jakarta memang lebih punya nilai dari propinsi manapun di nusantara ini.

Kendati Pilgub Sumut tak akan bisa mengimbangi gaung Pilgub DKI Jakarta, seharusnya agenda politik Pilgub Sumut yang hari H pencoblosannya akan berlangsung 7 Maret 2013 mendatang, sejak awal digulirkan bisa menjadi momentum politik yang menggaet antusias publik, meskipun tidak secara nasional, paling tidak menggaet antusias pubik secara regional dalam hal ini publik Sumatera Utara.

Amatan penulis, selaku orang Sumatera Utara yang bermukim di Sumatera Utara, antusias publik menyahuti agenda Pilgub Sumatera Utara, jauh dari standar responsif. Yang paling spesifik adalah minimnya rasa antusias untuk menilai dan merespon kehadiran lima pasangan calon yang akan bertarung untuk memperebutkan Sumut 1 dan Sumut 2 diantaranya : (1) Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, (2) Effendi MS Simbolon-Jumiran Abdi, (3) Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, (4) Amri Tambunan-RE Nainggolan, dan (5) Gatot Pujo Nugroho-T Erry Nuradi.

Mengintip sekilas figur para pasangan calon yang telah resmi akan bertarung pada 7 Maret 2013 mendatang, semua adalah figur sudah dikenal  di Sumatera Utara. Dari semua nama, saat ini hanya 3 orang yang tak punya jabatan baik jabatan dilingkaran kekuasan politik dan pemerintahan,  yakni Cagubsu Gus Irawan Pasaribu, Cawagubsu RE Nainggolan  (pasangan Cagubsu Amri Tambunan) dan Cawagubsu Djumiran Abdi (pasangan Cagubsu Effendi Simbolon). Kendati demikian ketiganya adalah wajah lama di kancah perpolitikan dan lingkungan birokrasi di Simut. Gus Irawan Pasaribu adalah mantan Direktur Bank Sumut selama 9 tahun. RE Nainggolan adalah mantan pejabat tinggi di Sumut yang terakhir jabatannya adalah Sekda Sumatera Utara. Smentara Djumiran Abdi termasuk salah satu tokoh salah satu etnis yang juga pernah menjadi Calon DPD  dari Sumut.

Sementara untuk figur cagubsu dan cawagubsu  lainnya sampai detik ini masih berstatus sebagai pejabat baik dilegislatif dan eksekutif. Cagubsu Efendi Simbolon dan Cagubsu Chairuman Harahap  masih menjabat sebagai anggota DPR RI, Cagubsu Amri Tambunan masih menjabat Bupati Deli Serdang, Cagubsu Gatot Pujonugroho masih menjabat Gubernur Sumatera Utara (Incumbent). Sementara Cawagubsu Soekirman (pasangan Cawagubsu Gus Irawan) masih menjabat Wakil Bupati Serdang Bedagai, Cawagubsu Fadly Nurzal  (pasangan Cagubsu Chairuman Harahap) masih menjabat Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara, dan T Erry Nuradi (pasangan Cagubsu Gatot Pujonugroho) masih menjabat Bupati Sedang Bedagai.

Minimnya respon sebagian besar publik Sumatera Utara terhadap figur calon, tentunya disebabkan beberapa faktor. Penilaian awal adalah bahwa semua calon adalah wajah lama yang masih berambisi untuk berkuasa  menggapai jabatan Sumut 1 dan Sumut 2 . Lalu kesemua calon juga wajah lama yang yang tak pernah terbukti  integitasnya sebagai figur yang pro rakyat, sebab semua figur ada yang masih pejabat dan ada yang pernah jadi pejabat, dan tak terbukti pro rakyat

Selanjutnya, masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat Sumut, sangat terobsesi dan terkesima dengan sosok Jokowi Ahok, meskipun pedatang namun berhasil menggaer hari warga DKI Jakarta sehingga berhasil terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tak bisa dipungkiri gaya dan karakter Jokowi selanjutnya menjadi mainstream bagi masyarakat Sumut. Setidaknya sosok pemimpin seperti Jokowi dan Ahok telah memberi penilaian bagi publik tentang  standar pemimpin yang ideal dan pro rakyat . Masyarakat Sumut sangat mengidamkan pemimpin yang pro rakyat seperti Jokowi dan Ahok. Keinginan masyarakat Sumut hadirnya pemimpin seperti sosok Jokowi dan Ahok, ternyata  tak tertitiskan pada kelima pasangan Cagub dan Cawagub Sumatera Utara. Jangankan untuk mengharapkan persis seperti Jokowi dan Ahok, sepertiganya karakter, sikap, ketulusan serta performance Jokowi dan Ahok tampaknya juga tak ter refleksi dan tak melekat pada figur-figur Cagub dan Cawagub Sumut yang telah dihidangkan untuk dicoblos.

Inilah relaita yang terjadi sehingga minim respon dari sebagian besar publik Sumut atas kehadiran lima pasangan Cagub dan Cagubsu tersebut. Kondisi tersebut terlihat ketika para calon turun ketengah-tengah  masyarakat di sejumlah daerah di Sumatera Utara, termasuk yang penulis saksikan ketika kesemua calon turun ke kota tempat penulis berdomisili. Sama seperti didaerah lain, respon masyarakat terkesan biasa-biasa saja, tak seperti saat Jokowi dan Ahok yang turun ke masyarakat saat masih menjadi Cagub dan Cawagub DKI Jakarta.

Kalaupun para calon berusaha blusukan, seperti yang dilakukan Jokowi dan Ahok dalam mencari simpati masyarakat, tampak sudah lebih dahulu masyarakat menilai kalau cara dan style seperti itu, hanyalah sandiwara belaka, karena masyarakat sudah tahu kalau gaya itu bukan gaya asli figur-figur tersebut. Istilah orang  batak “ Nunga hu tanda do ho ! “ (“Sudah ku tahunya siapa kau !”)

Meski kurang laku, memang blusukan tampaknya tetap dilakukan meski tidak rutin, justru yang terlihat intens dilakukan adalah aktivitas pertemuan dengan mempertontonkan  konsentrasi massa melalui acara yang bersifat seremonial, agar telihat seolah banyak pendukung. Seperti pertemuan di acara deklarasi, acara partai, pelantikan organisasi serta berbagai acara dengan nama beragam, termasuk yang dianggap efektif yaitu acara yang bersifat primordial yaitu acara adat atau perkumpilan marga serta acara keagamaan. Namun sudah menjadi rahasia umum, kalau kehadiran massa pada acara-acara seperti itu sepenuhnya tak murni karena militansi dan respon positif terhadap para calon, tapi karena adanya nilai rupiah yang diimingkan. “ Yang Penting Jelas !”… “Yang Penting Cair !”, itulah celetukan yang kerap tercetus, disaat adanya momen-momen seperti itu.      

Jadi,  jangankan respon masyarakat, kehadiran para calon terutama pola pendekatan kepada masyarakat  juga tak menjadi sajian berita menarik para awak media. Performa para calon tidak punya nilai  jual untuk dipublikasikan. Tidak seperti Jokowi dan Ahok saat Pilgub DKI Jakarta, yang terus menjadi incaran awak media. Kesan yang tertangkap justru dari pihak para calon yang sebelumnya melobbi media agar aktivitas mereka terpublikasi di media.  Maraknya wajah pasangan calon dalam bentuk iklan, serta pemberitaan  yang promosif terkait  aktivitas para calon di halaman utama berbagai media cetak di Sumatera Utara. Tak bisa dipungkiri merupakan bentuk piblikasi tersetting karena sudah adanya kontrak antara pihak calon dan media.

Menyikapi kondisi yang demikian, tentunya jauh dari harapan untuk masa lima tahun mendatang Sumatera  Utara akan dipimpin oleh pemimpin yang pro rakyat. Siapapun pemenang Pilgub Sumut, untuk sementara jangan diharap ada sosok yang merakyat seperti Jokowi dan Ahok, ataupun sepertiganya Jokowi dan Ahok. Warga Sumut yang memilih, masih sebatas hanya memilih salah satu calon pasangan dari lima pasangan calon yang telah dipampangkan untuk dipilih. Yang menjadi target dalam Pilgub Sumut hanya sebatas mencari pemenang. Itulah untuk sementara, sebab mengharapkan pemimpin yang kelak terpilih bisa menjadi peminpin yang pro rakyat, masih butuh proses. Memang tak tertutup kemungkinan pemimpin yang kelak  terpilih setelah memimpin akan menjadi berubah peminpin yang pro rakyat. Bisa saja… tapi itukan butuh waktu dan proses plus niat, karena merubah karakter bukan segampang membalikkan terlapak tangan. (***)

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA