Senin, 30 Desember 2013

Kekonyolan Presiden SBY, Di Penghujung Tahun 2013




Kekonyolan Presiden SBY, Di Penghujung Tahun 2013

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Sehubungan dengan dimulainya pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014, dua Peraturan Presiden (Perpres) yang berhubungan dengan fasilitas kesehatan bagi pejabat negara, sempat telah ditandatangi dan diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) pada tanggal 16 Desember 2013. Keduanya adalah. Perpres No 105 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna Kepada Menteri dan Pejabat Tertentu,  dan Perpres No 106 Tahun 2013 Tentang jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara.

Kedua Perpres tersebut seyogianya, memberikan fasilitas pelayanan dan pemeliharaan kesehatan paripurna, dan termasuk berobat ke rumah sakit di luar negeri kepada pejabat Negara dan keluarganya (anak dan isteri). Pejabat negara yang mendapatkan fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Perpres No 105 tahun 2013 yaitu Menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Dan pejabat tertentu adalah pejabat yang memimpin  lembaga pemerintah non departemen, pejabat eselon 1 , dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak  keuangan dan fasilitas setingkat eselon 1. Sementara dalam Perpres No 106 tahun 2013, yaitu pimpinan lembaga tinggi negara meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Hakim Mahkamah Agung (MA).

Dan perlu dijelaskan bahwa yang namanya pelayanan dan pemeliharan kesehatan paripurna sebagaimana dimaksud kedua Perpres tersebut, tentunya pelayanan dan pemeliharan kesehatan secara keseluruhan serta  maksimal dan lengkap atau sempurna, bahkan termasuk berobat di rumah sakit termahal dengan fasilitas terlengkap di luar negeri.
Kedua Perpres tersebut, dipastikan telah memberi keleluasaan bagi pejabat negara dan keluarganya untuk berobat keluar negeri, dan meskipun biaya berobat di rumah sakit luar negeri menggunakan sistem penggantian biaya dimana biaya rumah sakit akan diganti oleh negara melalui APBN untuk pejabat negara dan melalui APBD untuk pejabat daerah.

Ironisnya Perpres tersebut hanya berlaku singkat  pasca diberlakukan dan ditandangani oleh Presiden SBY. Tepatnya secara resmi dicabut oleh Presiden SBY 14 hari setelah ditandatangani dan dua hari menjelang masuk tahun 2014. Mungkin selama perjalanan pemerintahan di Negara ini, baru kali inilah peraturan yang pernah dikeluarkan Presiden yang usianya terlalu singkat yakni hanya 2 minggu atau 14 hari.

Pertimbangan Presiden SBY  menganulir kedua Perpres tentunya karena adanya wacana negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang menganggap kedua perpres tersebut tidak tepat. “Kami dengar kuatnya persepsi seolah ini diistimewakan dan dianggap kurang adil, meskipun konsepnya tetap konsep asuransi. Maka saya putuskan kedua Perpres itu saya cabut dan tidak berlaku” kata Presiden SBY usai memimpin Rapat Kabinet Terbatas di Istana Bogor (Senin 30 Desember 2013).

Pasca ditandatanganinya kedua Perpres tersebut atau sebelum dicabut SBY, memang pemberlakuan kedua Perpres tersebut tak begitu mempolemik. Kritikan hanya datang dari mantan Ketua Umum NU Hasyim Muzadi dan Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka.

Hasyim Muzadi, menganggap kedua Perpres tersebut bentuk kezhaliman yang dilakukan pemerintah dan mendesak pemerintah untuk mencabut kedua Perpres tersebut. Dikatakannya memberikan fasilitas keuangan negara secara berlebihan ditengah kemiskinan ekonomi rakyat serta derita karena bencana alam adalah sebuah kezhaliman. Lalu dari Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka, menilai Perpres No 105 dan 106 tahun 2013 yang  memberikan pegobatan gratis ke luar negeri kepada pejabat negara dan keluarganya sungguh menyakitkan bagi rakyat. Menurutnya pemerintah tak pro rakyat karena menerbitkan kedua Perpres tersebut, sementara anggaran yang dialokasikan pemerintah bagi rakyat miskin hanya Rp 19.225 per orang per bulan.

Memang kalau kedua Perpres jadi diberlakukan atau tidak dicabut Presiden SBY, dapat dipastikan bahwa ketidakadilan dan wajah diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan terlihat semakin nyata. Tentu sangat miris mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh negara kepada pejabat negara dan keluarganya, sementara rakyat miskin masih sangat banyak bertebaran di negeri ini, dengan kondisi kesehatannya yang memprihatinkan serta terabaikan pelayanan kesehatannya .

Kendati presiden mengeluarkan kedua Perpres tersebut berdasarkan pertimbangan resiko dan beban tugas para pejabat negara, namun tetap  sangat tak adil jika dinilai perbandingan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi pejabat negara dengan rakyat miskin.

Tentu sangat miris mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh negara kepada pejabat negara dan keluarganya. Jurang perbedaan kembali terlihat secara vulgar dan kasat mata dalam kehidupan sosial di negara yang masih sangat banyak rakyatnya hidup dalam kemiskinan.  Ironisnya kebanyakan pejabat yang mendapat fasilitas wah tersebut, bisa menjabat karena kepercayaan yang diberikan rakyat secara langsung, dan rakyat memberikan kepercayaan itu kebanyakan dari kalangan rakyat miskin yang tak mampu berobat dan beli obat ketika mederita sakit.

Apapun pertimbangannya, langkah Presiden SBY mencabut kedua Perpres tersebut adalah langkah yang tepat. Namun demikian penulis menganggap bahwa pencabutan kedua Perpres yang sudah diterbitkan merupakan tindakan konyol. Dalam hal pembuatan dan penerbitan peraturan dari Presiden , setelah Keppres No 87/P/2013 tentang  Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, yang diputuskan tidak berlaku oleh PTUN Jakarta, maka pencabutan kedua Perpres inilah tindakan konyol berikutnya yang dipertontonkan Presiden SBY ke hadapan publik republik ini. Ini adalah kekonyolan yang dipertontonkan oleh Presiden SBY kepada publik di penghujung tahun 2013.

Seharusnya kekonyolan ini tak akan terjadi, jika Presiden SBY tidak gegabah menerbitkan kedua Perpres tersebut. Setidaknya SBY takkan pernah menerbitkan kedua Perpres tersebut, jika Presiden SBY memang peka dan punya hati nurani serta pertimbangan persfektif bahwa menerbitkan peraturan yang demikian akan menimbulkan kesenjangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tapi apa boleh buat, kedua Perpres telah sempat diterbitkan meskipun akhirnya dinyatakan dicabut dan dihapus sendiri oleh Presiden SBY.  Presiden SBY ibarat menjilat kembali ludahnya yang sudah diludahkan. Meski dianggap tindakan konyol Presiden SBY yang terjadi di penghujung tahun 2013, namun tetap ada nilai positifnya, paling tidak kekonyolan Presiden SBY menerbitkan lalu mencabut kedua Perpres itu, tidak lagi menambah beban kesenjangan dalam kehidupan bermasyartakat, berbangsa dan bernegara di negara republik ini.

Baca juga di sini :





Minggu, 29 Desember 2013

SBY Undang Jokowi, Ruhut Semakin Kerdil dan Terkucil



SBY Undang Jokowi,
Ruhut Semakin Kerdil dan Terkucil

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Pertemuan SBY dengan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, di Istana Negara (Jumat, 27 November 2013) merupakan hal yang lumrah kalau dilihat dari sisi struktural pemerintahan, karena Presiden adalah atasan gubernur.  Secara politis memang pertemuan itu terkesan dikait-kaitkan dengan masalah pencapresan.  Soalnya pertemuan SBY dan Jokowi  terjadi beberapa hari setelah pertemuan  Prabowo Subianto dan SBY serta pertemuan Yusril Ihza Mahendara dengan SBY.

Diluar pandangan secara politis, pertemuan SBY dengan Jokowi, dianggap spesial dan menempatkan sosok Jokowi seperti tamu istimewa. Salah satu keistimewaannya karena kehadiran Jokowi adalah atas inisiatif dan undangan SBY, (SBY juga mengundang Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama alias A Hok, meskipun tak ikut hadir). Tak pernah terdengar selama ini SBY mengundang seorang gubernur secara khusus. Kalaupun ada pertemuan Presiden SBY dengan gubernur, paling hanya pertemuan resmi antara Presiden secara kolektif dengan seluruh gubernur yang ada di republik ini. Ataupun pertemuan yang sifatnya karena ada acara seremoni, atau saat presiden berkunjung ke daerah.

Tak hanya itu, dalam pertemuan itu juga mensyiratkan bahwa SBY sangat menghargai dan mengapresiasi sosok Jokowi. SBY menilai positif kinerja Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta, terbukti dalam pertemuan keduanya, SBY menawarkan kepada Jokowi agar menyampaikan langsung kepada SBY persoalan-persoalan yang memerlukan dukungan pemerintah pusat untuk mendukung kinerja Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Lalu kalaupun dikatakan pertemuan tersebut terjadi karena Jokowi adalah Gubernur yang memerintah di DKI Jakarta yang juga tempat berdomisilinya pusat kedudukan pemerintahan negara yang dipimpin Presiden SBY, sehingga memang dituntut harus terjalin kordinasi karena adanya kepentingan langsung pemerintah pusat, tapi tak mengurangi nilai istimwa dari pertemuan antara Presiden SBY dan Gubernur DKI Jakarta Jokowi tersebut, sebab SBY sebelumnya tak pernah terdengar mengundang khusus Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, baik Sutiyoso maupun Fauzi Bowo.

Sebenarnya sangat menarik kalau mengkaitkan pertemuan SBY dan Jokowi tersebut dengan serangan-serangan beraroma caci maki yang diarahkan Ruhut Sitompul terhadap Jokowi selama ini. Tentu kita ingat bagaimana pernyataan-pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut Ruhut saat menyerang Jokowi. Dikatakannya Jokowi tak berhasil membenahi Jakarta karena ditangan Jokowi Jakarta makin amburadul dan  makin semrawut serta macet dan banjir makin parah. Lalu dikatakannya blusukan yang dilakukan Jokowi hanyalah pencitraan saja. Dikatakannya juga Jokowi tak pantas jadi Gubernur karena tak ada track recordnya. Bahkan tingginya elektabilitas Jokowi dinilai Ruhut hanya rekayasa lembaga survei. Tak sekedar itu Ruhut tak meragukan tingginya elektabilitas Jokowi karena harus dibuktikan dengan kemampuannya dalam debat terbuka, sehingga Ruhut pun menantang Jokowi debat terbuka. Banyak lagi serangan yang bernuansa caci maki yang diarahkannya kepada Jokowi.  Tak ketinggalan soal maraknya dukungun terhadap Jokowi untuk jadi capres pun dinilai sinis oleh Ruhut dengan mengatakan pedagang mebel tak level jadi presiden.

Sebenarnya serangan dengan berbagai pernyataan-pernyataan negatit yang dilontarkan Ruhut terhadap Jokowi selama ini, hanya sekedar memekakkan telinga, dan menghasilkan kegeramam publik terhadap Ruhut. Pernyataann Ruhut yang  dinilai sangat kontroversial  dan substansi dari tudingannya terhadap Jokowi sangat kontradiktif  dengan fakta sebenarnya, apalagi tercetus dengan tutur yang tak beretika, telah membut sosok Ruhut kerdil dan terkucil dimata publik.

Pertemuan SBY dan Jokowi, yang berlangsung atas inisiatif SBY dan secara tak langsung memang dikondisikan agar terpublikasi, membuat sosok Ruhut semakin kerdil dan semakin terkucil dimata publik. Soalnya SBY yang selama dibela Ruhut secara membabi buta, dan diklaim Ruhut sayang sama dia, ternyata berbeda pandangan dalam menilai sosok Jokowi. Bahkan dalam pertemuan tersebut SBY terkesan menghormati dan menghargai Jokowi. Inti pembicaraan juga mengesankan keakraban dan tak ada terlihat kesan arogansi yang diperlihatkan SBY atasan terhadap Jokowi sebagai bawahan. 

Sementara, Ruhut sendiri yang katanya sangat disayangi SBY tak pernah terdengar diundang khusus atau secara personal oleh SBY. Kalaupun Ruhut bertemu dengan SBY mungkin hanya sebatas dalam pertemuan kolektif  yang berkaitan dengan urusan Partai Demokrat, dimana SBY selaku pimpinan tertinggi partai tersebut. Dan dalam hal urusan Partai Demokrat juga tak pernah juga terdengar terjadi pertemuan khusus antara SBY dan Ruhut, dan publik tak yakin pernah ada pertemuan secara personal antara Ruhut dan SBY, karena Ruhut hanya sebatas keroco di Partai Demokrat, bahkan dalam kepengurusan baru Partai Demokrat setelah SBY menjadi Ketua Umumnya, Ruhut tak masuk dalam jajaran pengurus DPP. Sebagai juru bicara pun Ruhut juga terbilang baru diangkat oleh SBY.

Ironisnya, secara tak langsung melalui sikap SBY yang tampak apresiatif terhadap Jokowi, maka terbantahlah pernyataan Ruhut yang mengklaim bahwa SBY sayang sama dia. Jika demikian kasihan juga si Ruhut alias “ Si Poltak Raja Minyak dari Medan” ini. Jokowi yang dihujatnya dengan kata-kata kasar ternyata lebih dihormati dan dihargai SBY.Ini artinya ternyata Ruhut tak ada apa-apanya di mata SBY, dan kalaupun baru diangkat sebagai Jubir Partai Demokrat, mungkin karena dia dikenal tak punya rasa malu dan sangat cocok dimanfaatkan dan dijadikan bumper untuk membela Partai Demokrat yang tengah mendapat hujatan bertubi tubi, ataupun mungkin untuk sekedar menghibur si Ruhut yang gagal jadi Ketua Komisi III DPR RI.

Klik dan baca juga di sini :





Rabu, 25 Desember 2013

Ketika Presiden SBY Terbukti Kangkangi UU MK


Ketika Presiden SBY Terbukti Kangkangi UU

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK), yang di ajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, untuk membatalkan Keppres No : 87/P/2013 tentang Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, akhirnya dikabulkan PTUN Jakarta.

Gugatan dengan Nomor Perkara : 139/G/2013/PTUN-JKT tersebut, dibacakan pada Senin tanggal 23 Desember 2013 lalu, oleh tiga Hakim PTUN yang menangani perkara tersebut antara lain Teguh Satya Bhakti, Elizabeth IEH L Tobing dan I Nyoman Harnanta. Inti putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan pemberlakuan Kepres No: 87/P/2013 karena dinilai bertentangan dengan Undang Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tepatnya melanggar pasal 15, pasal 19 dan pasal 20 (2) yang mengatur soal integritas calon hakim MK dan pencalonan hakim MK yang harus dilaksakan secara transparan dan pastisipatif, serta tentang pemilihan harus dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

Sebagaimana layaknya putusan pengadilan, maka putusan PTUN tersebut seyogianya ada konsekwensi hukumnya, yaitu putusan hakim itu harus dilaksanakan, Patrialis Akbar dan Maria Farida telah bertugas beberapa bulan sebagai hakim konstitusi di MK seharusmnya segera hengkang. Tapi karena terhadap putusan PTUN tersebut masih mendapat perlawanan hukum melalui upaya hukum banding oleh Presiden, sehingga putusan tersebut belum menjadi putusan hukum yang tetap (belum inkrach).

Pernyataan Menko Polhukam Djoko Suyanto, yang menyatakan pemerintah akan melakukan banding dan tengah menyiapkan memori banding atas putusan PTUN tersebut, termasuk Patrialis Akbar dan Maria Farida yang juga melakukan upaya banding, memberi peluang bagi keduanya untuk tetap menghuni MK dan melaksanakan tugas peradilan di MK, atau setidaknya menunda hengkangnya kedua hakim konstitusi itu dari MK, karena tahapan proses hukumnya masih agak panjang karena setelah upaya hukum banding, serta masih ada lagi upaya hukum kasasi.

Keppres yang ditandatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan payung hukum pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, secara tertulis telah resmi diputuskan oleh lembaga peradilan resmi yaitu PTUN Jakarta, telah melanggar peraturan yang lebih tinggi yaitu UU dalam hal ini UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Meskipun putusan PTUN itu belum bisa dieksekusi atau dilaksanakan, karena belum inkrackh, Setidaknya putusan PTUN Jakarta yang membatalkan berlakunya Keppres yang dikeluarkan Presiden SBY, telah mengusik kredibilitas Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan. Sebab, sudah ada sebuah keputusan pengadilan yang menyatakan kebijakan Presiden SBY yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk Keppres, telah dinyatakan mengangkangi UU. Pengertian sederhana dapat dikatakan Kebijakan SBY atau lebih spesipik lagi tindakan SBY selaku Presiden RI pernah dinyatakan oleh pengadilan telah bertentangan alias mengangkangi UU.

Meskipun Presiden SBY telah bertindak melanggar hukum melalui Keppres No : 87/P/2013 yang ditandatanganinya, tapi secara hukum administrasi negara, putusan PTUN tidak ada sanksi pidana dan perdatanya. Sehingga kalaupun misalnya putusan PTUN telah menjadi putusan inkrach, SBY selaku pembuat Keppres No : 87/P/2013, takkan mendapat sanksi pidana atau perdata, paling hanya sebatas keppresnya tak berlaku dan terdepaknya Patrialis Akbar dan Maria Farida dari MK. Namun diluar konteks hukum, kebijakan Presiden SBY yang dikeluarkannya dalam bentuk keputusan yang bernama Keppres itu, membuat tercorengnya citra Presiden SBY dan citra pemerintahan dibawa kepemimpinannya.

Memang tudingan negatif soal pengangkatan dua hakim konstitusi akhirnya mengarah kepada SBY. Apalagi kalau dirunut kebelakang, ternyata pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida memang tidak sesuai mekanisme yang disyaratkan  UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, karena tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif. SBY juga dituding telah melakukan tindakan yang salah dan dicurigai adanya kepentingan tertentu dibalik pengangkatan kedua hakim konstitusi tersebut melalui payung Keppres yang telah dikeluarkan Presiden SBY

Karena menyangkut kredibilitas kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu sangat disayangkan Keppres No : 87/P/2013 yang dikeluarkan Presiden SBY sampai dinyatakan bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi wajar kalau dicurigai ada kepentingan dalam hal pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida, Yang pasti Keppres No : 87/P/2013 selaku payung hukumnya telah membuat penilaian miring, dan membuat kesan ternyata pemerintahan tertinggi di negeri ini tak profesional dalam memproduksi peraturan, dan seolah tak mengerti hirarkhi per undang-undangan.  

Presiden SBY ataupun bawahan SBY yang ngurusin pembuatan tak mungkin tak tahu kalau level Keppres masih dibawah UU, bahkan tingkatannya masih dibawah Peraturan Pemerintah (PP) dan Praturan Presiden (Perpres). Dan tak mungin juga tak tahu kalau PP, Perpres begitu juga Keppres, berposisi sebagai peraturan organik, maksudnya sebagai peraturan untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, temasuk UU dan UUD 1945. Dan setiap peraturan kastanya dibawah UU, diproduksi harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan UU dan UUD 1945.

Dengan telah diputuskannya Keppres No : 87/P/2013 bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2003, membuktikan memang ada kesengajaan kalau pengangkatan kedua hakim konstitusi tersebut, tanpa melalui proses rekruitmen sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 24 Tahun 2003. Sebab hirarkhi perundang-undangan yang mensyaratkan Keppres tak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tak dijadikan pedoman atau alias diabaikan.

Tak salah rasanya ketika putusan PTUN tersebut keluar, maka ketika itu pula Presiden SBY dinyatakan terbukti mengangkangi UU Mahkamah Konstitusi, kendati sebaliknya Presiden SBY masih berpeluang dinyatakan tidak mengangkangi UU MK, atau tetap dinyatakan mengangkangi UU MK, sebab Keppres  No : 87/P/2013 tersebut masih diuji lagi melalui proses banding ataupun proses kasasi.

Baca juga di :




Selasa, 24 Desember 2013

Megawati Salah Kaprah


Megawati Salah Kaprah

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Hasil survei sejumlah lembaga survei dan prediksi banyak kalangan yang menyatakan bahwa PDIP berpeluang menang di Pileg jika mencapreskan Jokowi sebelum Pileg, akhirnya diabaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Pengabaian itu terjadi setelah Megawati mencetuskan bahwa penetapan siapa yang menjadi capres yang diusung PDIP setelah 9 April 2014 atau setelah pemilu legislatif.

Tak bisa dipungkiri, arus bawah maupun kalangan dan komunitas yang menginginkan Jokowi dicapreskan PDIP pun, merasa kecewa, atas keputusan Megawati tersebut. Mungkin tak hanya sekedar kecewa, anggapan, prediksi dan penilaian bahwa Megawati  masih berambisi sebagai capres dan menjadikan Jokowi sebagai wacapresnya dengan memanfaatkan tingginya elektabilitas Jokowi, seolah mendekati kebenaran. Apalagi sebelumnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi  sudah lebih dahulu dienduskan, ditambah lagi belakangan ini Megawati rajin tampil berdua di depan publik..

Siapa pun yang ditetapkan sebagai capres PDIP, keputusannya mutlak di tangan Megawati selaku pemimpin dan pemegang kekuasan tertinggi di partai moncong putih tersebut.  Karena kewenangan mutlak ada ditangan Megawati, maka wajar arus bawah atau kalangan pendukung Jokowi, merasa kecewa dengan sikap  Megawati yang menyatakan penetapan capres PDIP setelah pelaksanaan Pileg 2014.

Memang peluang Jokowi dicapreskan oleh Megawati  masih terbuka, karena Mega belum mengambil sikap. Kalaupun terlihat Mega berambisi, bisa saja Megawati berubah sikap menjelang penetapan, itu pun jika Megawati akhirnya sadar diri dan menjatuhkan pilihan kepada Jokowi bahkan Megawati masih berkesempatan merubah pernyataannya yang menetapkan capres setelah setelah pileg menjadi sebelum pileg, karena masih ada waktu beberapa bulan lagi. Namun melihat dinamika politik di PDIP, mulai dari munculnya skenario duet Megawati-Jokowi, lalu seringnya Megawati dan Jokowi muncul didepan publik belakangan ini sebagai bentuk sosialisasi, sampai soal penetapan capres setelah Pileg, membuat para arus bawah dan kalangan yang mendukung Jokowi, hanya bisa berharap cemas.

Sebenarnya kecemasan itu sudah muncul jauh-jauh hari, dan kecemasan itu menguat setelah munculnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi dari internal PDIP. Salah  bentuk kecemasan itu ditandai dengan lahirnya organisasi yang menamakan PDI Perjuangan Pro Jokowi (PDIP Projo). Penggeraknya adalah penggerak Posko Gotong Royong Pro Mega tahun 1998, dan diisi oleh aktivis, kader dan simpatisan partai, serta puluhan paguyuban warga daerah-daerah yang berdomisili di DKI Jakarta. PDIP Projo dideklarasikan di hari bersamaan ketika Megawati menyatakan bahwa penetapan capres setelah Pileg, merupakan salah satu bentuk kecemasan dari arus bawa dan pendukung atau komunitas yang menginginkan Jokowi di capreskan PDIP sebelum Pileg 2014. Dan kemunculan PDIP Projo juga sebagai bentuk resistensi terhadap wacana pencapresan Megawati.

Jika dikaji secara mendalam, memang Megawati disinyalir masih berkeinginan kuat untuk bertarung sebagai capres di pilpres 2014, sebab Megawati telah berani mangambil resiko membuat keputusan menetapkan capres PDIP setelah pileg, dengan mengabaikan hasil survei sejumlah lembaga survei yang menempatkan Jokowi berkutat ditempat teratas sebagai capres berlektabilitas tinggi dan berpeluang menang jika dicapreskan oleh PDIP, serta hasil survei lembaga survei yang menempatkan PDIP berpeluang besar menjadi partai pemenang di Pileg jika mencapreskan Jokowi sebelum Pileg 2014.

Pengabaian hasil survei dianggap sebagai resiko, sebab dari sikap Megawati dan para petinggi PDIP selama ini jelas telah meyakini dan percaya dengan hasil-hasil survei tersebut. Apalagi Megawati dan para petinggi PDIP telah melihat fakta memang kenyataannya arus bawah banyak yang mendukung Jokowi sebagai capres, termasuk dari internal PDIP. Tak hanya itu kiprah dan kinerja Jokowi sebagai Gubernur DKI dipuji dan didukung sebagian besar rakyat Jakarta, dan pernyataan dukungan terhadap Jokowi sebagai capres dari masyarakat dan kalangan tokoh di daerah dan kader PDIP di daerah juga didengar Mega dan para petinggi PDIP.

Sebagai seorang politisi yang berpengalaman dan juga mantan Presiden RI, Megawati seyogianya sadar dengan resiko yang diambilnya, mungkin karena hasratnya mau jadi capres lebih mendominasi, maka resiko itupun mau tak mau harus dihadapinya. Megawati berpikir cara menghadapinyam jika dia sebagai capres, maka Jokowi ditetapkannya sebagai cawapres untuk mendampinginya. Dengan posisi Jokowi di plot sebagai wacapres, Megawati menganggap pengabaian itu tak akan begitu berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi, terutama terhadap elektabilitas PDIP, Artinya pencawapresan Jokowi kelak dianggapnya bisa meminimalisir resiko yang diambilnya, dan sosok Jokowi tetap bisa dimanfaatkan dan tetap laku dijual untuk mendulang suara, meskipun berposisi sebagai cawapres.

Jika demikian (kemungkinan memang demikian) yang menjadi pertimbangan Megawati, pertimbangan itu jelas salah kaprah. Sebab Megawati harus sadar bahwa besarnya dukungan kepada Jokowi datangnya dari arus bawah dan kalangan atau komunitas pendukung Jokowi hanya menginginkan Jokowi jadi presiden, bukan jadi wakil presiden. Harus diingat arus bawah kalangan atau komunitas itu mendukung Jokowi sebagai capres bukan karena adanya komando, perintah ataupun arahan. Dan juga tak ada setingan untuk itu, tapi atas kesadaran dan termotivasi penilaian objektif terhadap sosok Jokowi yang terbukti merakyat dan dianggap pantas didukung jadi presiden.

Salah kaprah  juga kalau Megawati berharap kalau arus bawah dan pendukung Jokowi akan memenangkan PDIP di pileg jika Jokowi tidak dicapreskan sebelum pileg. Itu sulit terjadi, sebab arus bawah dan pendukung Jokowi sudah terlebih dahulu cemas dan khawatir, Jokowi juga berpeluang besar tidak dicapreskan setelah pileg, dan tak ada kepastian kearah itu. Ditambah lagi telah muncul kecurigaan  kalau Megawati memang ingin mencapreskan dirinya setelah pileg dengan mengandeng Jokowi sebagai cawapresnya, sekaligus memanfaatkan Jokowi, dan gelagatnya ke arah itu sudah memang terlihat dan terbaca sejak munculnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi dengan berbagai alasan yang dikemas untuk memperkuat skenario tersebut.

Arus bawah dan kalangan dan komunitas pendukung Jokowi, juga punya pertimbangan dan punya siasat agar Jokowi tetap dicapreskan meski penetapannya setelah Pileg 2014. Arus bawah dan pendukung Jokowi akan mengambil sikap lebih baik PDIP tak usah didukung untuk dimenangkan di Pileg 2014, supaya suara yang diraih PDIP di Pileg 2014 tak mencapai kuota mengusung pasangan capres dan cawapresnya sendiri, sebagaimana di prediksi banyak kalangan dan hasil survei sejumlah lembaga survei, sehingga skenario menduetkan Megawati-Jokowi buyar alias tak dapat terwujud. Dengan kondisi raihan suara PDIP yang tidak kuota mengusung capres sendiri, Jokowi akan berpeluang diusung jadi capres PDIP, sebab dengan kondisi demikian Megawati kemungkinan besar tak berani mencapreskan diri, karena tak merasa berpeluang menang tanpa didampingi Jokowi sebagai cawapresnya. Lalu jika Jokowi dicapreskan PDIP, maka cawapresnya juga berpeluang berasal dari luar internal PDIP, dan ini lebih memudahkan Jokowi menang di pilpres, ketimbang cawapresnya dari internal PDIP  yang kemungkinan besar di plot dari keluarga Megawati.

Kalau pun kelak setelah Pileg akhirnya duet Megawati-Jokowi yang ditetapkan sebagai capres dan cawapres PDIP (itu pun kalau suara PDIP hasil pileg bisa mengusung capres dan cawapresnya tanpa koalisi dengan partai lain), belum tentu juga arus bawah dan pendukung Jokowi, akan menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Megawati-Jokowi. Alasannya tetap sama, bahwa besarnya dukungan kepada Jokowi yang datang dari arus bawah dan kalangan atau komunitas pendukung Jokowi hanya ketika Jokowi dijadikan capres, dan bukan sebagai cawapres. Bahkan bukan tak mungkin dalam waktu yang singkat, arus dan para pendukung Jokowi, justru kecewa sehingga sirna simpatinya terhadap Jokowi, karena mau dijadikan cawapres.

Megawati dan para petinggi PDIP, harus ingat, organisasi PDIP Projo, jangan dianggap sepele keberadaannya. Sebab PDIP Projo bisa menjadi intrumen politik yang kuat dalam sekejap dan jadi kiblat dan garda terdepan bagi arus bawah dan kalangan atau komunitas-komunitas yang mendukung Jokowi di seluruh pelosok negeri ini untuk mengembosi PDIP, jika kenyataannya PDIP tidak mencapreskan Jokowi sebelum Pileg 2014. Yang pasti untuk sementara Megawati sudah dinilai salah kaprah menyatakan akan memutuskan capres PDIP setelah Pileg 2014, karena mengabaikan besarnya dukungan untuk memenangkan PDIP di Pileg 2014, jika Gubernur DKI Jakarta itu dicapreskan sebelum pileg.


Baca juga di sini :



Kamis, 19 Desember 2013

SBY Curhat Lagi, Ungkap Soal Fitnah Dibalik Serangan Media


SBY Curhat Lagi,

Ungkap Soal Fitnah Dibalik Serangan Media

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Bukan sekali dua kali Susilo Bambang Yudhono (SBY) dalam berbagai kesempatan baik sebagai
Presiden maupun sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, menyampaikan curahan hati (curhat) nya ke publik. Curhat-curhat SBY, kebanyakan diluncurkannya sebagai reaksi  atas kritikan dan serangan terutama dari pemberitaan media terhadap kepemimpinannya sebagai presiden maupun terhadap Partai Demokrat yang dipimpinnya.  

Tampaknya SBY sudah mulai tak mempedulikan kalaupun dia dicap sebagai presiden yang hobi curhat. Malah dia tak peduli setiap curhatnya selalu disikapi secara negatif oleh banyak kalangan. Menyikapi serangan media, SBY kembali mengucurkan curhatnya saat berpidato pada saat Perayaan HUT LKBN Antara ke 76 di Wisma Antara Jakarta, Rabu tanggal 18 Desember 2013 lalu. Isi curhatnya, tetap dalam konteks yang tak jauh beda seperti curhatnya terdahulu. Tapi curhat SBY kali ini agak lebih terdramatisir kedengarannya, karena menyangkut soal adanya serangan berbentuk  fitnah terhadap dirinya dibalik serangan-serangan pemberitaan media terhadap dirinya.  Fitnah dinyatakan tak bisa diterimanya, dan di differensiasikannya dengan kritikan yang menurutnya masih bisa dipermaklumkannya

Dalam pidatonya SBY menyampaikan kalau dirinya sudah sembilan tahun memimpin Indonesia. Menurut SBY, ia telah menerima ribuan kritik sejak menjadi presiden pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY mengaku bisa menerima kritikan itu lantaran terkadang membawa manfaat. Mengecam, menghujat, mencemooh katanya juga merupakan hak setiap orang.

“Saya menyadari kalau ada apa-apa, SBY salah, SBY enggak benar, dikecam, disalahkan segala macam. Saya harus menerima keadaan seperti itu. Hanya satu yang saya sulit menerima, fitnah. Tentu sulit secara bathiniah menerimanya,” kata SBY saat itu dalam pidatonya.

SBY juga menuturkan yang  dianggapnya sebagai fitnah adalah tuduhan melakukan sesuatu sementara ia tidak bertindak atau tidak berbuat apa-apa. “ Yang tidak tepat, saya tidak berbicara apa-apa, saya tidak berbuat apa-apa, tiba-tiba diisukan SBY melakukan A, dan A itu diserang berhari-hari, berminggu-minggu. Ini yang tidak mendidik karena tak ada faktanya. Tidak ada keputusan, kebijakan dan perbuatan saya,” ungkap SBY.

Dalam curhatnya di HUT LKBN Antara tersebut, SBY juga tampak sedikit mengekspresikan pengharapan agar serangan terhadapnya tak berbentuk fitnah dan terkesan mengajak agar tak bertoleransi dengat fitnah. “ Hanya permohonan saya sebagai seseorang yang sebentar lagi kembali ke masyarakat, janganlah kita berikan toleransi kalau itu berupa fitnah, karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan,” pinta SBY.

Memang ungkapan curhat SBY, di HUT LKBN Antara, tetap mengarah terhadap pemberitaan media, apalagi dia berbicara dalam forum acara yang diselenggarakan media. Namun saat mengucurkan curhatnya kali ini, SBY tak tampak menunjukkan luapan emosional, Tidak seperti saat dia curat melalui pidatonya pada silaturrahmi Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 24 Oktober 2013 lalu di Banjar Baru Kalimantan Selatan, serta curhatnya di Acara Temu Kader Nasional Partai Demokrat tanggal 26 Oktober 2013 lalu di Sentul.  Saat curhat di Acara HUT LKBN Antara, gestur dan performance SBY pun tak memperlihatkan kemarahan atau kegusaran yang berlebihan.  Justru yang terlontar adalah untaian kalimat pemakluman atas kecaman dan serangan terhadap dirinya, kendati tetap disampaikan dengan nuansa kekesalan.

Pemakluman dari ucapan SBY tergambar saat dia mengatakan bahwa dia adalah presiden dan pemimpin,  sehingga serangan di media cetak, elektronik ataupun di media sosial adalah takdir dan nasib yang harus diterima sebagai presiden. Sebagai presiden dia jadi pusat segalanya, jadi tembakan kiri, kanan, atas, bawah, dan diakuinya sudah bertahun-tahun dirasakannya.

Penekanan soal fitnah terhadap dirinya, memang dicurhatkannya dalam porsi yang agak berlebih. Benar-tidaknya ada fitnah yang dirasakan SBY dibalik serangan pemberitaan media, tampaknya soal fitnahitu , sengaja disampaikan secara tegas dan berlebihan untuk mendramatisir suasana agar setiap orang bisa menerima bahwa fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan, dan sekaligus fitnah terhadap dirinya merupakan perbuatan yang tak bisa ditoleransi. Ada nuansa pengharapan melalui ungkapannya khalayak akan merasa tersentuh dan membenarkan bahwa fitnah terhadap dirinya tak bisa ditoleransi, dan fitnah adalah perbuatan yang tak bisa diterima, tidak hanya oleh diri SBY, tapi juga oleh setiap orang.

SBY juga menebarkan dan memanfaatkan soal fitnah dalam curhatnya sebagai salah satu upaya untuk menepis berbagai serangan pemberitaan, baik kritikan, cemoohan, hujatan, termasuk fitnah yang diarahkan kepada dirinya. Mengangkat soal fitnah yang menurut SBY memang ada dirasakannya, lebih memungkinkan dan lebih efektif untuk ditepis, sekaligus agar penilaian negatif terhadap SBY diharapkan dapat imbas ikut juga tertepis

Benar atau tidaknya  ada fitnah terhadap SBY dari pemberitaan media, hanya SBY yang merasakan dan bisa menilainya sebagai sebuah fitnah, sebab dari curhatnya tak ada disebutkannya contoh kasus soal pemberitaan yang dianggapnya fitnah.

Memang SBY terlihat serius menyikapi soal adanya terhadap dirinya dan sebelumnya juga SBY telah menunjuk tim pengacara untuk mewakili dirinya dan keluarganya menghadapi serangan-serangan yang mengarah ke fitnah. Namun demikian  menebarkan soal fitnah yang dirasakannya dalam curhatnya di Acara HUT LKBN Antara, tampaknya memang sebuah siasat untuk mengajak khalayak bisa memaklumi bahwa fitnah adalah perbuatan yang tak bisa dibenarkan, sehingga tak bisa diterima, sekaligus juga untuk meyakinkan khalayak agar menaruh simpati dan merasa yakin memang ada fitnah dari banyaknya serangan pemberitaan yang mengarah ke SBY. Dan setidaknya ungkapan curhatnya soal fitnah sebagai upaya menepis serangan pemberitaan yang bersifat negatif terhadap SBY.


Baca juga di sini :



Minggu, 15 Desember 2013

Megawati-Jokowi, Skenario Uji Coba


Megawati-Jokowi,  Skenario Uji Coba

Oleh : M Alinapiah Simbolon



Ada tiga skenario yang dienduskan petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) yang berkenaan pasangan alon presiden (capres)  dan calon wakil presiden (cawapres) partai mocong putih tersebut. Diantaranya menduetkan Megawati-Jokowi, menduetkan Jokowi dengan kader PDIP dan menduetkan Jokowi dan berkoalisi dengan partai lain dengan mengusung Jokowi sebagai capres. Nama Jokowi masuk dalam ketiga skenario. satu skenario dalam poisisi sebagai cawapres dan dan dua skenario dalam poisi sebagai capres.

Yang menarik untuk disikapi adalah skenario pertama yang menduetkan Megawati-Jokowi.  Kata Hasto, politisi PDIP yang pertama sekali mengenduskan ketiga skenario tersebut, bahwa skenario menduetkan Megawati-Jokowi merupakan hasil kajian dan survei,dan katanya lagi internal PDIP masih mengharapkan sosok kepemimpinan Megawati untuk mengatasi persoalan krisis bangsa yang sangat berat, dan Megawati pun akan berfungsi menjadi pelindung Jokowi.

Sepertinya agak sumbang terdengar dan terasa ada keraguan soal kebenaran adanya kajian dan survei yang dikatakan Hasto. Namun, benar-tidaknya ada survey, lalu kapan pula hal itu dikaji dan di survei oleh PDIP, hanya Hasto lah yang tahu, karena dia yang mengenduskannya ke publik. Skenario menduetkan Megawati-Jokowi yang konon katanya merupakan keinginan internal PDIP berdasarkan hasil kajian dan survei, kesannya memang sengaja dimunculkan ke publik. Apakah Hasto mengenduskan itu atas sepengetahuan Megawati atau memang atas suruhan Megawati, ataupun memang atas inisiatifnya sendiri, atau juga memang benar kajian dan survei, yang pasti skenario duet Megawati-Jokowi memang sengaja dimunculkan ke publik untuk dijadikan wacana sampai menjelang ditetapkannya capres PDIP oleh Megawati..

Skenario menduetkan Megawati-Jokowi, terasa kental maksud politiknya. Selain untuk dijadikan opsi, tak keliru kalau dianggap munculnya skenario duet Megawati-Jokowi, mengindikasikan bahwa Megawati masih berambisi menjadi capres, dengan kata lain Megawati juga belum sepenuhnya rela kalau capres PDIP jadi jatah Jokowi, kendati Jokowi kader PDIP dan arus dukungan untuk jokowi agar dijadikan capres oleh PDIP semakin menguat.

Memang Megawati  menyadari bahwa dirinya tidak lagi punya modal elektabilitas untuk mendukung dirinya mencapres, dan Megawati menyadari juga kalau publik lebih menginginkan Jokowi yang dicapreskan PDIP dengan elektabilitasnya sangat tinggi bahkan mengalahkan capres yang telah lebih diusung partai lain. Namun harus diingat bahwa Megawati punya kompetensi yang besar untuk menentukan siapa capres yang diusung PDIP.

Bisa saja Megawati bertindak apriori dan menetapkan dirinya menjadi capres, tanpa pertimbangan apapun, Bahkan Jokowi tidak bisa berkutik jika dijadikannya wacapresnya, sebab kewenangan itu memang ada pada Megawati, dan dialah quen makernya PDIP. Namun, mengingat besarnya dukungan publik agar Jokowi jadi capres, apalagi Jokowi berpeluang menang jika dicapreskan, serta pengaruh dan nilai jual sosok Jokowi berpotensi memenangkan PDIP pada Pileg 2014 mendatang, dan diramalkan jika Jokowi dicapresken sebelum pileg maka elektabilitas PDIP meningkat dua kali lipat,  membuat Megawati tak mau bertindak konyol mengambil langkah mencapreskan dirinya, karena cara itu akan berpotensi menghancurkan citranya dan menghancurkan PDIP yang tengah berkibar.

Memunculkan dan mewacanakan skenario duet Megawati-Jokowi, ke publik, tampaknya merupakan satu-satunya cara untuk mencari peluang agar bisa mencapreskan Megawati. Meskipun skenario ini terkesan dipaksakan, dan dibuat seolah jadi opsi (pilihan), yang pasti skenario duet Megawati-Jokowi, tetap lebih dominan menjual sosok Jokowi, ketimbang menjual sosok Megawati yang tak lagi punya nilai jual dan tak diharapkan publik untuk jadi capres PDIP. Sementara dua skenario lainnya juga sengaja sama-sama diwacanakan dengan skenario duet Megawati-Jokowi, dengan maksud menjadi peredam agar publik tak kecewa dan tak langsung responsif dengan skenario pertama yang menduetkan Mega-Jokowi.

Artinya dengan masuknya (dimasukan) nama Jokowi yang di ketiga skenario capres tersebut, PDIP diharapkan publik tetap berpersepsi bahwa sosok Jokowi lah lebih dominan di tiga skenario tersebut,  sehingga publik tidak langsung berpandangan negatif menilai skenario pertama yang menduetkan Megawati-Jokowi. Jadi PDIP terkesan hati-hati mengenduskan skenario duet Megawati-Jokowi, karena khawatir mengecewakan mencederai kalangan perasaan arus bawah yang memang  real mendukung Jokowi  jadi capres.

Memang duet Megawati-Jokowi masih sebatas skenario yang diwacanakan, bahkan tak salah kalau dianggap sebagai uji coba menjual duet Megawati-Jokowi sebelum ditetapkannya capres PDIP dengan tujuan apakah bisa diterima publik atau tidak, dan  sekaligus untuk melihat situasi apakah masih ada peluang Megawati dicapreskan tanpa menpengaruhi elektabilitas PDIP dan tanpa mengecewakan publik yang menginginkan Jokowi jadi capres PDIP, sebagaimana diketahui bahwa pengaruh Jokowi apalagi jika dicapreskan oleh PDIP berpeluang besar memenangkan PDIP di Pileg 2014 nanti.

Uji coba dengan menggunakan skenario menduetkan Megawati-Jokowi, memang tak menjadi polemik yang berlebihan, Namun publik dan arus bawah khususnya komunitas masyarakat yang mendukung dan menginginkan Jokowi jadi capres, bukan berarti tak merasa kecewa dengan munculnya skenario tersebut. Kekecewaan publik dan arus bahwa tergambar dari komentar-komentar  pembaca terhadap pemberitaan terkait skenario menduetkan Megawati-Jokowi  di media-media online. Sebagian besar yang berkomentar menilai negatif atas skenario duet Megawati-Jokowi. Sangat banyak komentar yang mencibir dan tak sedikit pula komentar yang mengatakan takkan memilih Megawati sebagai capres meskipun Jokowi wacapresnya. Bahkan ada pembaca yang menuliskan komentar mengklaim seluruh keluarganya takkan memilih Megawati jika dicapreskan. Ada juga yang mengaku kecewa terhadap Jokowi jika mau diwacapreskan dengan Megawati.

Kalau Megawati dan petinggi PDIP menginginkan PDIP menjadi partai pemenang, sepatutnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi yang diwacanakan dan dijadikan opsi serta uji coba untuk mencari peluang mencapreskan Megawati, jangan sampai terealisasi. Jika pun akhirnya Megawati memaksakan skenario menduetkan dirinya berpasangan dengan Jokowi sebagai sebagai pasangan capres-wacapres yang diusung PDIP, apalagi jika ditetapkan sebelum Pileg 2014, maka PDIP harus bisa menerima konsekwensi tidak berpeluang menjadi partai pemenang  di Pileg 2014, karena arus bawah yang komunitasnya sangat besar memang menginginkan Jokowi jadi capres, kemungkinan besar  tidak akan memilih PDIP di Pileg 2014. Mungkin tak hanya sekedar itu, simpatisan PDIP yang juga simpati dengan Jokowi bisa jadi kecewa dan mengambil sikap mengalikan pilihan dari ke partai lain.

PDIP juga takkan akan mungkin melakukan kekonyolan memaksa Jokowi meyakinkan publik terutama arus bawah yang mendukungnya jadi capres, agar mendukungnya juga ketika dia diposisikan cawapres. Dan seandarinya pun Jokowi diarahkan untuk itu,  tampaknya mustahil akan dilakukan Jokowi, karena resiko politiknya sangat besar dan berpeluang menghancurkan citra Jokowi, serta menjadi celah bagi lawan politik untuk menghancurkan kredibilitas Jokowi. Lalu kalaupun dilakukan, juga tak menjamin akan efektif, sebab untuk urusan kepentingan politik, publik dan arus bawah tak bisa diarahkan dan dikooptasi Jokowi, karena publik dan arus bawah mendukung Jokowi bukan karena perintah dan arahan, tapi karena murni berdasarkan penilaian positif terhadap sosok Jokowi yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar merakyat dan berpihak kepada rakyat.

Skenario menduetkan Megawati-Jokowi, sudah dienduskan. Skenario itu sudah jadi wacana dan muncul anggapan segaja dimunculkan untuk jadi salah satu opsi atau pilihan. Tak tak keliru juga dianggap sebagai uji coba untuk melihat situasi apakah Megawati berpeluang untuk dicapreskan. Meskipun dimunculkan  sebagai ujicoba, namun skenario menduetkan Megawati-Jokowi tersebut sangat beresiko. Sekecil apapun resikonya, yang jelas skenario ujicoba yang telah mewacana tersebut, telah memicu penilaian negatif dan membuat publik bisa membaca sikap Megawati yang ternyata belum rela jatah capes PDIP jatuh ke tangan Jokowi, dan menggambarkan bahwa ternyata Ketua Umum PDIP itu masih berambisi menjadi capres.

Terlepas Megawati masih berambisi jadi capres dan tak rela memberikan jatah capres PDIP ke Jokowi, dan terlepas Megawati masih berambisi jadi capres, Megawati dan PDIP harus menyadari dan mempertimbangkan fakta dan hasil survei dari sejumlah lembaga survei yang terus menempatkan Jokowi tetap bercokol ditempat teratas capres berelektabilitas tertinggi dan berpeluang menang di Pilpres jika dicapreskan. Megawati dan PDIP juga harus wanti-wanti, karena setelah terendusnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi, sebuah lembaga survei melalui hasil surveinya telah menobatkan Jokowi sebagai Capres Setengah Dewa, dengan alasan partai mana saja (termasuk partai kecil) yang mencapreskan Jokowi sebelum Pileg 2014, elektabilitas partai itu akan naik secara drastis.

Baca juga di sini :





Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA