Senin, 09 Desember 2013

Salahkan Media, Elit Partai Demokrat Bertindak Kalap


Salahkan Media, Elit Partai Demokrat Bertindak Kalap

Oleh : M Alinapiah Simbolon



Petinggi Partai Demokrat, seperti tak tahu berbaut apa-apa menghadapi cecaran pemberitaan media yang berhubungan dengan borok partai yang dikomandoi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, termasuk gencarnya pemberitaan terkait kasus-kasus korupsi yang melibatkan para politisinya. Seakan mengalami kebuntuan, apalagi pemberitaan dimaksud sangat mengganggu elektabilitas partai tersebut, makanya lagi lagi langkah yang dilakukan politisi Partai Demokrat yakni menyampaikan curahan hati (Curhat) ke publik,  dan ironisnya dalam curhatnya kembali dikambinghitamkan alias disalahkan adalah media dengan dalih terlampau berlebihan pemberitaannya dan tak berimbang.

Partai Demokrat merasa disudutkan sejumlah media seputar kasus korupsi Hambalang, Century hingga SKK Migas, yang selalu dikaitkan dengan Partai Demokrat dan SBY. Itulah yang menjadi curhat terkini dari Partai Demokrat melalui Wakil Ketua Umumnya, yang juga Ketua Fraksi Demokrat DPR RI Nuhayati Ali Assegaf, saat temu pers di Gedung DPR RI Jumat, 6 Desember 2013 lalu.

Curhat tersebut adalah curhat untuk kesekian kalinya yang diungkapkan kalangan petinggi Partai Demokrat secara resmi ke publik, dan sengaja disampaikan agar dilansir media. Sebelumnya SBY baik selaku presiden maupun sebagai pemimpin tertinggi dan berkuasa penuh di Partai Demokrat dalam beberapa kesempatan, juga melakukan hal yang sama, yaitu curhat sembari menyalahkan media.

Pada Acara Silaturrahmi dengan Pengurus PWI periode 2013-2015 di Banjar Baru Kalimantan Selatan, 24 Oktober 2013 lalu, Presiden SBY mengatakan dirinya merupakan salah satu korban pers. Berselang dua hari kemudian(26 Oktober 2013) SBY pun curhat lagi di Acara Temu Kader Nasional Partai Demokrat di Sentul. Pada acara itu SBY berkeluh kesah, kalau dirinya dan Partai Demokrat terus-terusan disudutkan oleh media massa. SBY curhat bahwa dua tahun belakangan Partai Demokrat dihabisi media dan lawan politik. Bahkan SBY mempertanyakan, kenapa media terus memberitakan kasus korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat.

Sebenarnya sudah sejak lama kalangan petinggi Partai Demokrat kerap menyampaikan curhat terkait pemberitaan hal-hal negatif yang mendera Partai Demokrat. Tak hanya curhat, upaya perlawanan juga sudah dilakukan petinggi partai itu dengan melaporkan dua media televisi swasta yaitu Metro TV dan TV One ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2012. Kedua media diadukan karena merasa pemberitaan tentang Partai Demokrat telah dipengaruhi oleh kepentingan politik pemiliknya yang masing-masing merupakan pimpinan partai politik.
Terlepas apa yang dicurhatkan petinggi  Partai Demokrat dan juga SBY merupakan fakta ataupun tidak, sebenarnya petinggi Partai Demokrat termasuk SBY sendiri menyadari adanya bias  dari langkah curhat dengan menyalahkan sejumlah media. Namun disisi lain elite partai itu juga sadar bahwa Partai Demokrat tidak punya media terkenal, baik televisi, koran dan media online, untuk mengimbangi gencarnya pemberitaan tenang hal yang negatif terhadap Partai Demokrat, dan SBY juga menyadari hal itu ketika menyampaikan curhatnya di Acara Temu Kader Nasional Partai Demokrat di Sentul.

Lalu untuk memanfaatkan media televisi pemerintah yaitu TVRI juga tak mungkin, karena media plat merah itu yang memang harus indefenden. Dan masih segar dalam ingatan, ketika Stasiun TV pemerintah itu menayangkan live acara konvensi capres Partai Demokrat selama dua jam pada bulan Septermber 2013 lalu, langsung memicu protes dan dilaporkan sejumlah LSM ke KPI. Sementara koran Jurnal Nasional, yang diketahui sebagai media cetak milik salah satu elit Partai Demokrat, juga tak mampu menjadi bacaan publik secara luas, karena kalah ngetop dan kalau bersaing dengan media cetak nasional lainnya, sehingga tak efektif mengkounter pemberitaan miring terhadap Partai Demokrat dan SBY dan kurang bergaung memberitakan sisi positif SBY dan Partai Demokrat

Ditengah kebuntuan mencari cara meredam pemberitaan negatif dan dihadapi dengan kondisi elektabilitas partai yang semakin rontok, dan dianggap sulit dipulihkan akibat derasnya pemberitaan negatif, membuat petinggi Partai Demokrat memanfaatkan cara curhat ke publik dan menyalahkan sejumlah media dalam curhatnya. Cara itu dianggap langkah yang tepat sebagai salah satu upaya klarifikasi, meskipun dianggap terkesan cengeng dan dianggap sebagai tindakan kalap. Paling tidak itu upaya tindakan sementara sekedar mengkounter dan upaya mengimbangi deraan pemberitaan miring terhadap Partai Demokrat.

Sejatinya, SBY dan petinggi Partai Demokrat menyadari bahwa tindakan menyalahkan media via curhatnya, sangat berkonsekwensi dan bisa menjadi bumerang. Walaupun faktanya SBY dan Partai Demokrat menilai dan merasakan disudutkan. Namun yang disayangkan, sebagai politikus kelas atas, SBY dan petinggi Partai Demokrat seharusnya tidak mengambil langkah menyudutkan media, termasuk juga halnya tindakan mengadukan dua media (Metro TV dan TV One) ke KPI yang dilakukan petinggi Partai Demokrat  pada tahun 2012 lalu, meskipun itu tindakan prosedural. Curhat boleh-boleh saja, tapi menyudutkan media adalah tindakan yang seyogianya harus dipikirkan dan dipertimbangkan untung ruginya secara politis. Ingat, partai politik ataupun penguasa yang berposisi memusuhi atau berlawanan dengan media jelas merugi secara politik. Ingat, Kaisar Perancis Napoleon Bonaparti yang terkenal pernah mengatakan bahwa dia lebih takut dengan 10 jurnalis daripada 100 divisi tentera musuh.

Setidaknya SBY dan petinggi partainya, harus memaklumi bahwa tingginya intensitas pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan politisi Partai Demokrat belakangan ini, merupakan hal wajar dilakukan media, sebab kasus korupsi yang terkait dengan pusat kekuasaan atau penguasa adalah berita aktual dan menarik dan jadi atensi publik. Media yang memberitakan juga tak ingin medianya kalah bersaing dengan media lain, sehingga tetap menyajikan berita demikian.

Kalau berbicara konsekwensi yang timbul dari tindakan kalap yang ditunjuklkan sejumlah petinggi Partai Demokrat dan SBY yang menyalah media, tentu berimbas kuat semakin intensifnya pemberitaan negative yang terkait dengan Partai Demokrat dan SBY. Mungkin saja pemberitaan negatif terkait Partai Demokrat dengan kadar berlebihanm belakangan ini memang merupakan imbas dari tindakan pihak Partai Demokrat yang pernah mengadukan dua media TV swasta dua tahun yang lalu, ditambah lagi tindakan yang kerap menyalahkan media dari pihak Partai Demokrat. Sebab harus juga diingat bahwa solidaritas dikalangan pekerja media masih kuat dan kental, kondisi itu membuka peluang  pemberitaan yang mengedepankan kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi Partai Demokrat dan berkaitan dengan SBY. suguhannya akan semakin instensif dan besar porsinya.

Dan bukan tak mungkin terguran KPI kepada 6 media stasiun TV pada tangggal pada tanggal 6 Desember 2013. menjadi pemicu semakin intensifnya pemberitaan terkait kasus korupsi yang melibatkan para politisi Partai Demokrat maupun yang berkaitan dengan hal-hal negatif yang mendera Partai Demorkat dan SBY. Serta tak tertutup kemungkingan juga menjadi pemicu, karena kalangan media menganggap temu pers yang digelar Nurhayati Ali Assegaf, memang sengaja digelar satu hari setelah keluarnya terguran KPI kepada 6 TV Swasta, dengan maksud dan tujuan memakzulkan bahwa sejumlah media yang dituduhkan melakukan pemberitaan miring terhadap Partai Demokrat dan SBY adalah sebuah pembenaran sejalan dengan keluarnya terguran KPI tersebut..

Sebagai kekuatan politik menyalahkan media seperti yang dilakukan pihak Partai Demokrat adalah langkah yang tak tepat. SBY dan petinggi partai berlambang mercy itu harus menyadari bahwa kondisi Partai Demokrat yang elektabilitasnya merosot dan terposisi sebagai partai bercitra negatif  dan dituding sebagai partai sarang korupsi adalah faktor perbuatan sejumlah politisinya yang memang terlibat berbagai kasus korupsi, apalagi saat sekarang ini sejumlah kasus korupsi yang melibatkan banyaknya politisi Partai Demokrat, proses hukumnya tengah hangat-hangatnya ditangani Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Selain itu pemerintahan dibawah kendali SBY juga dinilai publik tak membawa perubahan. Prilaku korupsi semakin menjamur selama pemerintahan Presiden SBY dan  justru kebanyakan dilakukan politisi dan pejabat dari kalangan partai yang dipimpin SBY.

Menyalahkan media juga bukan langkah yang elegan, dan kesannya membuat SBY seakan lupa diri bahwa dia dan Partai Demokrat juga pernah dibesarkan oleh pemberitaan media. SBY dan politisi Partai Demokrat seharusnya sadar bahwa SBY bisa jadi presiden  dan Partai Demokrat bisa besar dan jadi pemenang tak terlepas dari peranan media. Sebelum jadi presiden citra SBY sangat positit.  SBY dan politis Partai Demokrat tentu masih ingat, ketika Taufik Kiemas (suami Megawati yang saat itu sedang menjabat sebagai Presiden RI) pernah menyindir SBY (saat itu menjabat Menko Polkam) seperti anak kecil,  karena SBY saat itu curhat ke media bahwa dia tak pernah diajak rapat oleh presiden Megawati. Sindiran Taufik Kiemas itu justru membuat SBY semakin dikenal. Apalagi setelah itu SBY mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam Kabinet Gotong Royong dibawah pemerintahan Presiden Megawati, membuat SBY jadi figur terkenal dengan tercitra positif dimata publik. Dan itu tidak akan terjadi tanpa peranan media yang mengkemas pemberitaan-pemberitaan tentang SBY sangat positif karena SBY saat itu dalam posisi dianaktirikan oleh pemerintahan Megawati dan dilecehkan oleh sindiran Taufik Kiemas.

Lalu pada Pilpres 2004 SBY berhasil menang dan menjadi Presiden, tentu tak terlepas peranan pemberitaan positif dari media, padahal saat itu partai Demokrat yang mendukung SBY bukanlah partai pemenang pemilu legislatif. Kemudian pada Pileg 2009 Partai Demokrat jadi pemenang dan SBY terpilih kembali pada Pilpres 2014, dan kedua kemenangan itu  juga tak terlepas dan peran pemberitaan positif dari media.

Jadi kalau saat ini SBY dan sejumlah elit Partai Demokrat menyalahkan media karena pemberitaan negatif terhadap dirinya dan partai yang dipimpinnya, mungkin karena SBY sedang dalam kondisi galau dan gusar, sehingga tak mampu alias tak tahu lagi mencari formula dan cara yang tepat untuk memulihkan citra Partai Demokrat yang elektabilitasnya semakin terpuruk. Kondisi itu juga membuat SBY dan petinggi Partai Demokrat seakan lupa diri sehingga menyalahkan media, tanpa mengingat dan mempertimbangkan bahwa media dengan pemberitaan-pemberitaannya juga pernah sangat berjasa membesarkan SBY dan Partai Demokrat.

Atau mungkin juga langkah yang ditempuh menyalahkan media melalui curhat sangat disadari oleh SBY dan elit partainya akan imbas dan resikonya. SBY dan cs nya mungkin sudah membuat kalkulasi kalau elektabilitas partai mereka dengan kondisi saat ini, tak kan lagi bisa terdongkrak apapun cara yang dilakukan. Namun apapun kondisinya, alasan dan pertimbangannya, mengkambinghitamkan media yang  seperti yang dilontarkan sejumlah elit Partai Demokrat dan SBY adalah tindakan yang tak elegan dan dinilai tindakan kalap.



Baca juga di sini :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA