Rabu, 25 Desember 2013

Ketika Presiden SBY Terbukti Kangkangi UU MK


Ketika Presiden SBY Terbukti Kangkangi UU

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK), yang di ajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, untuk membatalkan Keppres No : 87/P/2013 tentang Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, akhirnya dikabulkan PTUN Jakarta.

Gugatan dengan Nomor Perkara : 139/G/2013/PTUN-JKT tersebut, dibacakan pada Senin tanggal 23 Desember 2013 lalu, oleh tiga Hakim PTUN yang menangani perkara tersebut antara lain Teguh Satya Bhakti, Elizabeth IEH L Tobing dan I Nyoman Harnanta. Inti putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan pemberlakuan Kepres No: 87/P/2013 karena dinilai bertentangan dengan Undang Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tepatnya melanggar pasal 15, pasal 19 dan pasal 20 (2) yang mengatur soal integritas calon hakim MK dan pencalonan hakim MK yang harus dilaksakan secara transparan dan pastisipatif, serta tentang pemilihan harus dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

Sebagaimana layaknya putusan pengadilan, maka putusan PTUN tersebut seyogianya ada konsekwensi hukumnya, yaitu putusan hakim itu harus dilaksanakan, Patrialis Akbar dan Maria Farida telah bertugas beberapa bulan sebagai hakim konstitusi di MK seharusmnya segera hengkang. Tapi karena terhadap putusan PTUN tersebut masih mendapat perlawanan hukum melalui upaya hukum banding oleh Presiden, sehingga putusan tersebut belum menjadi putusan hukum yang tetap (belum inkrach).

Pernyataan Menko Polhukam Djoko Suyanto, yang menyatakan pemerintah akan melakukan banding dan tengah menyiapkan memori banding atas putusan PTUN tersebut, termasuk Patrialis Akbar dan Maria Farida yang juga melakukan upaya banding, memberi peluang bagi keduanya untuk tetap menghuni MK dan melaksanakan tugas peradilan di MK, atau setidaknya menunda hengkangnya kedua hakim konstitusi itu dari MK, karena tahapan proses hukumnya masih agak panjang karena setelah upaya hukum banding, serta masih ada lagi upaya hukum kasasi.

Keppres yang ditandatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan payung hukum pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, secara tertulis telah resmi diputuskan oleh lembaga peradilan resmi yaitu PTUN Jakarta, telah melanggar peraturan yang lebih tinggi yaitu UU dalam hal ini UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Meskipun putusan PTUN itu belum bisa dieksekusi atau dilaksanakan, karena belum inkrackh, Setidaknya putusan PTUN Jakarta yang membatalkan berlakunya Keppres yang dikeluarkan Presiden SBY, telah mengusik kredibilitas Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan. Sebab, sudah ada sebuah keputusan pengadilan yang menyatakan kebijakan Presiden SBY yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk Keppres, telah dinyatakan mengangkangi UU. Pengertian sederhana dapat dikatakan Kebijakan SBY atau lebih spesipik lagi tindakan SBY selaku Presiden RI pernah dinyatakan oleh pengadilan telah bertentangan alias mengangkangi UU.

Meskipun Presiden SBY telah bertindak melanggar hukum melalui Keppres No : 87/P/2013 yang ditandatanganinya, tapi secara hukum administrasi negara, putusan PTUN tidak ada sanksi pidana dan perdatanya. Sehingga kalaupun misalnya putusan PTUN telah menjadi putusan inkrach, SBY selaku pembuat Keppres No : 87/P/2013, takkan mendapat sanksi pidana atau perdata, paling hanya sebatas keppresnya tak berlaku dan terdepaknya Patrialis Akbar dan Maria Farida dari MK. Namun diluar konteks hukum, kebijakan Presiden SBY yang dikeluarkannya dalam bentuk keputusan yang bernama Keppres itu, membuat tercorengnya citra Presiden SBY dan citra pemerintahan dibawa kepemimpinannya.

Memang tudingan negatif soal pengangkatan dua hakim konstitusi akhirnya mengarah kepada SBY. Apalagi kalau dirunut kebelakang, ternyata pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida memang tidak sesuai mekanisme yang disyaratkan  UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, karena tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif. SBY juga dituding telah melakukan tindakan yang salah dan dicurigai adanya kepentingan tertentu dibalik pengangkatan kedua hakim konstitusi tersebut melalui payung Keppres yang telah dikeluarkan Presiden SBY

Karena menyangkut kredibilitas kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu sangat disayangkan Keppres No : 87/P/2013 yang dikeluarkan Presiden SBY sampai dinyatakan bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi wajar kalau dicurigai ada kepentingan dalam hal pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida, Yang pasti Keppres No : 87/P/2013 selaku payung hukumnya telah membuat penilaian miring, dan membuat kesan ternyata pemerintahan tertinggi di negeri ini tak profesional dalam memproduksi peraturan, dan seolah tak mengerti hirarkhi per undang-undangan.  

Presiden SBY ataupun bawahan SBY yang ngurusin pembuatan tak mungkin tak tahu kalau level Keppres masih dibawah UU, bahkan tingkatannya masih dibawah Peraturan Pemerintah (PP) dan Praturan Presiden (Perpres). Dan tak mungin juga tak tahu kalau PP, Perpres begitu juga Keppres, berposisi sebagai peraturan organik, maksudnya sebagai peraturan untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, temasuk UU dan UUD 1945. Dan setiap peraturan kastanya dibawah UU, diproduksi harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan UU dan UUD 1945.

Dengan telah diputuskannya Keppres No : 87/P/2013 bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2003, membuktikan memang ada kesengajaan kalau pengangkatan kedua hakim konstitusi tersebut, tanpa melalui proses rekruitmen sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 24 Tahun 2003. Sebab hirarkhi perundang-undangan yang mensyaratkan Keppres tak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tak dijadikan pedoman atau alias diabaikan.

Tak salah rasanya ketika putusan PTUN tersebut keluar, maka ketika itu pula Presiden SBY dinyatakan terbukti mengangkangi UU Mahkamah Konstitusi, kendati sebaliknya Presiden SBY masih berpeluang dinyatakan tidak mengangkangi UU MK, atau tetap dinyatakan mengangkangi UU MK, sebab Keppres  No : 87/P/2013 tersebut masih diuji lagi melalui proses banding ataupun proses kasasi.

Baca juga di :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA