Senin, 30 Desember 2013

Kekonyolan Presiden SBY, Di Penghujung Tahun 2013




Kekonyolan Presiden SBY, Di Penghujung Tahun 2013

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Sehubungan dengan dimulainya pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014, dua Peraturan Presiden (Perpres) yang berhubungan dengan fasilitas kesehatan bagi pejabat negara, sempat telah ditandatangi dan diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) pada tanggal 16 Desember 2013. Keduanya adalah. Perpres No 105 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna Kepada Menteri dan Pejabat Tertentu,  dan Perpres No 106 Tahun 2013 Tentang jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara.

Kedua Perpres tersebut seyogianya, memberikan fasilitas pelayanan dan pemeliharaan kesehatan paripurna, dan termasuk berobat ke rumah sakit di luar negeri kepada pejabat Negara dan keluarganya (anak dan isteri). Pejabat negara yang mendapatkan fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Perpres No 105 tahun 2013 yaitu Menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Dan pejabat tertentu adalah pejabat yang memimpin  lembaga pemerintah non departemen, pejabat eselon 1 , dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak  keuangan dan fasilitas setingkat eselon 1. Sementara dalam Perpres No 106 tahun 2013, yaitu pimpinan lembaga tinggi negara meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Hakim Mahkamah Agung (MA).

Dan perlu dijelaskan bahwa yang namanya pelayanan dan pemeliharan kesehatan paripurna sebagaimana dimaksud kedua Perpres tersebut, tentunya pelayanan dan pemeliharan kesehatan secara keseluruhan serta  maksimal dan lengkap atau sempurna, bahkan termasuk berobat di rumah sakit termahal dengan fasilitas terlengkap di luar negeri.
Kedua Perpres tersebut, dipastikan telah memberi keleluasaan bagi pejabat negara dan keluarganya untuk berobat keluar negeri, dan meskipun biaya berobat di rumah sakit luar negeri menggunakan sistem penggantian biaya dimana biaya rumah sakit akan diganti oleh negara melalui APBN untuk pejabat negara dan melalui APBD untuk pejabat daerah.

Ironisnya Perpres tersebut hanya berlaku singkat  pasca diberlakukan dan ditandangani oleh Presiden SBY. Tepatnya secara resmi dicabut oleh Presiden SBY 14 hari setelah ditandatangani dan dua hari menjelang masuk tahun 2014. Mungkin selama perjalanan pemerintahan di Negara ini, baru kali inilah peraturan yang pernah dikeluarkan Presiden yang usianya terlalu singkat yakni hanya 2 minggu atau 14 hari.

Pertimbangan Presiden SBY  menganulir kedua Perpres tentunya karena adanya wacana negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang menganggap kedua perpres tersebut tidak tepat. “Kami dengar kuatnya persepsi seolah ini diistimewakan dan dianggap kurang adil, meskipun konsepnya tetap konsep asuransi. Maka saya putuskan kedua Perpres itu saya cabut dan tidak berlaku” kata Presiden SBY usai memimpin Rapat Kabinet Terbatas di Istana Bogor (Senin 30 Desember 2013).

Pasca ditandatanganinya kedua Perpres tersebut atau sebelum dicabut SBY, memang pemberlakuan kedua Perpres tersebut tak begitu mempolemik. Kritikan hanya datang dari mantan Ketua Umum NU Hasyim Muzadi dan Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka.

Hasyim Muzadi, menganggap kedua Perpres tersebut bentuk kezhaliman yang dilakukan pemerintah dan mendesak pemerintah untuk mencabut kedua Perpres tersebut. Dikatakannya memberikan fasilitas keuangan negara secara berlebihan ditengah kemiskinan ekonomi rakyat serta derita karena bencana alam adalah sebuah kezhaliman. Lalu dari Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka, menilai Perpres No 105 dan 106 tahun 2013 yang  memberikan pegobatan gratis ke luar negeri kepada pejabat negara dan keluarganya sungguh menyakitkan bagi rakyat. Menurutnya pemerintah tak pro rakyat karena menerbitkan kedua Perpres tersebut, sementara anggaran yang dialokasikan pemerintah bagi rakyat miskin hanya Rp 19.225 per orang per bulan.

Memang kalau kedua Perpres jadi diberlakukan atau tidak dicabut Presiden SBY, dapat dipastikan bahwa ketidakadilan dan wajah diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan terlihat semakin nyata. Tentu sangat miris mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh negara kepada pejabat negara dan keluarganya, sementara rakyat miskin masih sangat banyak bertebaran di negeri ini, dengan kondisi kesehatannya yang memprihatinkan serta terabaikan pelayanan kesehatannya .

Kendati presiden mengeluarkan kedua Perpres tersebut berdasarkan pertimbangan resiko dan beban tugas para pejabat negara, namun tetap  sangat tak adil jika dinilai perbandingan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi pejabat negara dengan rakyat miskin.

Tentu sangat miris mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh negara kepada pejabat negara dan keluarganya. Jurang perbedaan kembali terlihat secara vulgar dan kasat mata dalam kehidupan sosial di negara yang masih sangat banyak rakyatnya hidup dalam kemiskinan.  Ironisnya kebanyakan pejabat yang mendapat fasilitas wah tersebut, bisa menjabat karena kepercayaan yang diberikan rakyat secara langsung, dan rakyat memberikan kepercayaan itu kebanyakan dari kalangan rakyat miskin yang tak mampu berobat dan beli obat ketika mederita sakit.

Apapun pertimbangannya, langkah Presiden SBY mencabut kedua Perpres tersebut adalah langkah yang tepat. Namun demikian penulis menganggap bahwa pencabutan kedua Perpres yang sudah diterbitkan merupakan tindakan konyol. Dalam hal pembuatan dan penerbitan peraturan dari Presiden , setelah Keppres No 87/P/2013 tentang  Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, yang diputuskan tidak berlaku oleh PTUN Jakarta, maka pencabutan kedua Perpres inilah tindakan konyol berikutnya yang dipertontonkan Presiden SBY ke hadapan publik republik ini. Ini adalah kekonyolan yang dipertontonkan oleh Presiden SBY kepada publik di penghujung tahun 2013.

Seharusnya kekonyolan ini tak akan terjadi, jika Presiden SBY tidak gegabah menerbitkan kedua Perpres tersebut. Setidaknya SBY takkan pernah menerbitkan kedua Perpres tersebut, jika Presiden SBY memang peka dan punya hati nurani serta pertimbangan persfektif bahwa menerbitkan peraturan yang demikian akan menimbulkan kesenjangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tapi apa boleh buat, kedua Perpres telah sempat diterbitkan meskipun akhirnya dinyatakan dicabut dan dihapus sendiri oleh Presiden SBY.  Presiden SBY ibarat menjilat kembali ludahnya yang sudah diludahkan. Meski dianggap tindakan konyol Presiden SBY yang terjadi di penghujung tahun 2013, namun tetap ada nilai positifnya, paling tidak kekonyolan Presiden SBY menerbitkan lalu mencabut kedua Perpres itu, tidak lagi menambah beban kesenjangan dalam kehidupan bermasyartakat, berbangsa dan bernegara di negara republik ini.

Baca juga di sini :





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA