Senin, 04 Februari 2013

Sang Ustad, Jadi Mantan Ustad




Sang Ustad, Jadi Mantan Ustad

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Ada komen dari teman Facebookku bernama Jubeir Siregar. Dia menanggapi  tulisanku berjudul  “PKS Terjerembab Karena Ikut Setgab”, yang juga ku share dan kujadikan sebuah catatan FB ku, (karena tulisan itu telah terbit dan juga sempat headline di kompasiana,com).  Dia menanggapi tulisanku itu dengan nada bertanya : “Bang Simbolon, ustad kan dah dibekali dengan iman dan ilmu, itu yang buat aku sedih, kok bisa terjerembab duitnya kan dah banyak, apalagi dia presiden PKS” 

Komen temanku ini kuanggap menarik dan menggelitik. Lalu langsung kubalas pula komennya, “Lufthi dikenal sebagai ustad, dia diangkat sebagai pimpinan PKS karena mungkin pertimbangan sosok ustad serta iman dan ilmunya, tapi nyatanya dia korup. Tapi yang jelas dia tidak lagi ustad yang punya iman dan ilmu, karena kasusnya...tepatnya dia sudah jadi Mantan Ustad.  Karena menurutku atau mungkin juga menurut kebanyakan orang, status Ustad itu harus bagi orang yang bersih dari tindakan kejahatan (termasuk korup)”

Terlepas  tanggapanku itu apakah tepat atau tidak bagi yang membaca, yang jelas bagiku ustad itu adalah sosok yang bersih dan jadi panutan. Maka menurut pola pemikiranku yang punya ilmu agama islam kategori pas-pasan ini, bahwa status Ustad adalah bukan status sembarangan. Artinya, sosok ustad bagiku adalah orang yang taat beribadah dan punya ilmu keislaman yang mumpuni, selain itu ustad haruslah sosok tak tercela secara moral, etika dan performannya. 

Dulu sewaktu masih anak-anak, aku memandang sosok ustad dengan pemikiran sederhana saja. Sesuai dengan pola pikirku saat itu, yang namanya ustad itu adalah seorang yang taat beribadah, pandai berceramah, bisa dan dipercaya jadi imam sholat, serta bisa dan fasih bawa tahtim, tahlil dan doanya baik saat ada perwiridan atau kenduri, yang utama lancar dan fasih baca ayat suci Al Quran.

Saat itu, aku juga sangat terkesima dengan salah seorang ustad yang  juga guru di pengajianku (Sekitar tahun 1973 sampai 1978, aku sempat ngaji di Madrasah Ibtidaiyah Swasta di kotaku yaitu Pematangsiantar,  dan Insya Allah aku memang tamat meskipun sebatas tamat madrasah ibtidaiyah yang setingkat sekolah dasar). Sang ustad itu bernama Abdul Khalik Bakran dan orang kebanyakan memanggilnya Ustad Bakran. Saat itu meskipun dia saat itu belum bersatus haji, namun dia dipanggil dengan panggilan ustad karena memang semua orang memanggilnya ustad. Selain guru ngaji madarasah tempatku mengaji, dia juga dikenal sebagai penceramah. Pokoknya dia kuanggap bisa segalanya dalam soal agama. Selain sebagai penceramah, dia juga sering jadi imam sholat di masjid, dan dia sering daulat bawa doa diberbagai acara seperti acara wiridan dan hajatan kendurian ataupun pesta. Selain itu dia juga punya jiwa seorang pemimpin, dia memimpin madrasah tempatku mengaji dan memimpin majelis taklim dan perwiridan, serta aktif sebagai pengurus organisasi islam.

Yang membuat aku tambah terkesima dengan sosok keustadannya, yaitu dia mampu mengobati sejumlah penyakit dan meyadarkan orang kesambet atau kemasukan (kalau dikampungku disebut tersapuh). Penyembuhan penyakit dan penyadaran orang kesambet dilakukan  melalui amalan-amalan ayat-ayat suci Al Quran yang dibacakannya. Malah yang kutahu dia tidak pernah dan tak mau menerima bayaran ketika menyembuhkan orang yang sakit yang datang kepadanya, karena dia tak buka praktek pengobatan. Aku masih ingat, karena aku beberapa kali disembuhkannya saat sakit deman tinggi dan kesambet. Sosok ustad itu sekarang sudah tiada, dan kabarnya sekitar tahun 90 an dia wafat di negara tetangga Malaysia, dia terakhir bermukim disana, dengan aktivitas sebagai ustad juga. Dan bagiku dia tetap sosok yang pantas menyandang  ustad, dan tak tergugat sampai akhir hayatnya.

Untuk pemikiranku dikondisi sekarang ini, menurutku dan mungkin menurut penilaian sebagian besar orang, seorang sosok yang berlabel ustad, idealnya tak jauh beda dengan penilaikanku saat masih aku kecil. Syaratnya taat beribadah, punya ilmu terutama ilmu  keislaman dan tak kalah penting yaitu punya keimanan. Dan semua penilaian itu  datangnya dari kalangan ummat.

Memang julukan atau label sebagai ustad melekat kepada seseorang bukan karena ada penyematan secara resmi, berdasarkan jenjang kepangkatan atau pendidikan, karena memang tak ada di negeri ini lembaga resmi yang mengangkat dan memberikan label ustad pada seseorang, dan tak ada pula lembaga yang berhak memecat seseorang sebagai ustad. Label ustad memang berdasarkan penilaian ummat dan itu terlabel karena sosok seseorang itu memang pantas dianggap sebagai ustad.

Selain taat ibadah dan punya ilmu, yang paling penting penilaian itu juga menyangkut kadar imannya, karena seseorang dianggap sebagai ustad juga karena dinilai punya kadar iman yang baik, sehingga dapat jadi panutan, dengan parameter penilaian yang sederhana yaitu tak tercela secara moral, etika dan performanya. Itulah, yang membuatku spontan menanggapi komen suadara Jubeir Siregar atas tulisanku, dengan  penilaian kalau Lufthi Harun Ishaaq kuanggap tidak lagi sebagai ustad alias  sudah menjadi mantan ustad.

Memang Lufthi Hasan Ishaaq secara hukum belum dianggap bersalah, dan statusnya masih tersangka, namun harus dipahami bahwa titel ustad tak ada hubungannya dengan hukum positif negara ini. Pencngangkatan dan pencopotannya sebagai pemegang gelar ustad bukan wilayah hukum positif atau tapi wilayah penilaian masyarakat dengan salah satu parameternya adalah  kadar keimanan. Dan harus dipahami pula bahwa, titel ustad adalah titel terhormat yang tak bereselon dan tak punya jejang kepangkatan. Titel merupakan penganugrahan dari ummat untuk seorang sosok islam yang taat, punya ilmu dan beriman.

Jadi kalau Lufthi Hasan Ishaaq tidak lagi kuanggap sebagai sosok Sang Ustad, tapi sudah jadi Mantan Ustad, sebab berdasarkan kacamata penilaianku selaku seorang ummat islam yang layak dan punya hak untuk menilai, dia tak lagi bisa jadi panutan sebagai seorang ustad, karena integritas keimanannya telah terbeli plus terjangkiti virus kriminalitas, alias moralnya sudah cacat akibat cedera parah dihantam Kasus Suap Impor Daging Sapi yang menerpanya.  Kalau sang ustad sudah cacat moral, logikanya memang tak pantas jadi panutan dan tak pantas jadi imam bagi ummat. 

Tak salah juga kalau aku menilai, bahwa penilaianku ini juga identik dengan penilaian orang lain, bahkan mungkin merupakan penilaian banyak orang, yang memiliki penilaian sederhana tentang sosok seorang yang dianggap pantas atau tidak dianggap sebagai ustad. Bahkan Lufthi Hasan Ishaaq sendiri menurutku punya penilaian yang identik dengan penilaianku. Buktinya dia, langsung sadar kalau dirinya sudah tak pantas lagi dianggap sebagai ustad, dan tak pantas lagi yang menjadi imam dan panutan bagi ummatnya di Partai Keadilan Sejahtera. Buktinya, dia mengambil sikap mengundurkan diri sebagai pimpinan ummat di PKS tak lama setelah dijadikan tersangka dan ditangkap. Tak hanya itu dia juga menyadari kalau pun dia bertahan sebagai imam di PKS, maka dipastikan ummatnya tak bisa berterima dengan imam seperti dia yang dianggap sudah cacat moral, karena prilaku korupsinya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA