Rabu, 20 Februari 2013

Produsen Rokok vs PP No 109 tahun 2012



Produsen Rokok vs PP No 109 tahun 2012

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2014 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan, memang menjadi momok seram bagi produsen rokok di Indonesia. Soalnya PP yang menjadi turunan UU Kesehatan No  36 Tahun 2009 itu, nyata-nyata mempersempit ruang bagi pengembangan industri rokok di negeri ini, sebab memuat sejumlah aturan yang amat ketat dan merugikan produsen rokok. Yang jelas PP tersebut berpotensi menurunkan omset penjualan rokok secara besar-besaran.

Kalau kita lihat sejumlah butir aturan yang terkandung di PP tersebut, memang sangat jelas membuat efek takut yang tinggi bagi para perokok untuk membeli rokok, sekaligus menimbulkan rasa takut yang tinggi bagi produsen rokok, karena aturan itu memang berpotensi besar menurunkan omset penjualan rokok mereka. 

Sejumlah aturan yang yang menjadi monster bagi konsumen dan bagi produsen rokok diantaranya, kewajiban bagi produsen rokok mencantumkan Peringatan Kesehatan dalam bentuk gambar bahaya merokok dan tulisan pada bungkus rokok. Peringatan dalam bentuk gambar dan tulisan dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang, masing-masing seluas 40 % (empat puluh persen), dengan lima varian gambar pada setiap merek. Peringatan dalam bentuk gambar dan tulisan diawali dengan kata “Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar hitam, harus dicetak jelas dan mencolok baik sebagian maupun seluruhnya. 

Selanjutnya, produsen rokok juga diwajibkan mencantumkan tentang kandungan kadar nikotin dan tar, yang ditempatkan pada sisi samping setiap kemasan rokok dan dibuat kotak dengan garis pinggir 1 mm (satu millimeter), warna kontras antara warna dasar dan tulisan. Ukuran tulisan paling sedikit 5 mm (lima millimeter). sehingga dapat terlihat dengan jelas dan mudah dibaca. Juga masih pada sisi samping kemasan rokok harus dicantumkan pernyataan “ Dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia dibawah 18 tahun atau perempuan hamil “ dan larangan itu dicantumkan pada sisi samping kemasan rokok. Selain itu pada sisi samping lainnya pada kemasan rokok, produsen juga wajib mencantumkan kalimat “ Tidak ada batas aman”, dan “mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya, serta lebih dari 34 zat menyebabkan kanker”.
 
Tak hanya kewajiban-kewajiban mencantumkan kalimat-kalimat berupa peringatan gambar, pernyataan dan larangan. Produsen rokok juga dilarang mencantumkan kata “Light, Ultra Light, Mild, Extra Mild, Low Tar, Slim, Special, Full Flavour atau Premium atau kata-kata lain yang mengindikasikan kualitas, superior, rasa aman dan pencitraan, kepribadian, ataupun dengan kata-kata arti yang sama. 

Selain aturan tersebut, banyak lagi larangan yang termaktub dalam PP tersebut, yang berpotensi menurunkan omset penjualan rokok dan menghambat lancarnya proses penjualan rokok, diantaranya larangan pemberian bahan tambahan pada produk rokok, larangan iklan dan sponsor rokok untuk banyak objek dan kegiatan yang mempersempit ruang promosi produk rokok, serta diperluasnya kawasan-kawasan bebas rokok.

Terbitnya PP No 109tahun 2012 tentunya, menimbulkan rasa geram dan gerah produsen rokok. Tak hanya produsen rokok, petani tembakau dan petani cengkeh yang terimbas langsung dengan keluarnya PP tersebut juga ikut merasa geram. Betapa tidak, aturan ketat dalam PP itu, tentu mengurangi omset penjualan rokok dengan jumlah yang signifikan, Bahkan diperkirakan tak sedikit juga produsen rokok bakal tak produksi lagi alias gulung tikar. Dengan demikian, pemecatan secara besar-besaran terhadap pekerja dan buruh pabrik rokok bakal terjadi. Dan jika demikian kondisinya, sudah bisa dibayangkan jutaan orang yang berkerja di pabrik rokok serta di ladang tembakau dan cengkeh akan kehilangan mata pencaharian.  Untuk diketahui, sekarang ini sekitar 10 juta orang bekerja di pabrik rokok, dan sekitar 1,25 juta orang bekerja di ladang tembakau dan cengkeh.

Kendati Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 tersebut, sudah diberlakukan sejak tanggal 24 Desember 2012, namum kenyataannya PP monster bagi produsen dan pekerja pabrik rokok serta petani tembakau dan cengkeh itu, sampai saat ini pemberlakuannya  belum terlihat efektif.  PP yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, sudah dua bulan berlaku, namun tampilan kemasan semua jenis dan merek produk rokok yang beredar di pasaran masih tampilan kemasan yang lama. 

Tak tahu pasti apa penyebabnya, tapi mungkin saja aturan organik  atau peraturan turunan dari PP tersebut belum ada, atau memang masih banyaknya stok rokok yang lama. Atau pun memang konsekwensi atas berlakunya PP itu belum ada solusi penanganannya. Potensi bakal terjadinya ratusan ribu hingga jutaan orang pengangguran, dan berlimpahnya stok tembakau dan cengkeh lokal, antara lain merupakan konsekwensi yang memang harus diantisipasi.

Namun upaya pembangkangan dan resistensi dari produsen rokok ataupun pihak dan orang banyak yang dirugikan atas lahirnya PP tersebut juga menjadi penyebab tak efektifnya pemberlakuannya. Persoalannya, sebelum diberlakukannya PP tersebut, atau masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), sampai diberlakukan sudah banyak protes yang muncul. 

MAKKI (Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia) yang merupakan afiliasi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Laskar Kretek, Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (SPTRMM), Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI), dari awal atau sejak masih dibahas, sampai diberlakukan, menolak pemberlakuan PP tersebut.

Petani tembakau di daerah bahkan melakukaan aksi penolakan pemberlakuan PP  No 19 Tahun 2012. “ Sampai kapanpun, dengan apapun, sampai titik darah penghabisan, kami warga petani tembakau Sindoro dan Sumbing akan menolak PP No 109 Tahun 2012 karena akan mematikan tembakau. Tembakau kami mati, kami juga mati. Labih baik mati terhormat menolak tembakau daripada mati karena kelaparan” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau  Indonesia (APTI) Temanggung, Ahmad Fuad, saat berorasi unjuk rasa menolak PP 109 Tahun 2013, Selasa tanggal 19 Februari 2013 di Temanggung.  aksi serupa juga seblumnya berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia, baik dari petani tembakau maupun dari kalangan buruh dan pekerja pabrik rokok.

Pemberlakuan PP No 109 Tahun 2012, tak sedikit pula pendukungnya, terutama dari sejumlah penggiat anti tembakau. Menurut Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Priji Sidipratomo, bahwa tanpa pengendalian rokok upaya penghapusan kemiskinan tak akan membawa hasil. Penduduk miskin paling banyak membelanjakan uang untuk rokok. Sebaliknya mereka yang paling sedikit mengalokasikan pendapatan untuk kesehatan
.
Mantan Ketua Pusat Dukungan Pengendalian Tembakau (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Alex Papilaya mengatakan, tidak ada kemajuan berarti dalam pengendalian tembakau di Indonesia selama 2012. Perselingkuhan industri rokok, politisi, dan birokrasi menurutnya sudah jadi rahasia umum. Ditambahkannya juga bahwa iklan rokok semakin merajalela. Tak hanya iklan luar ruangan berukuran raksasa, sponsor rokok juga sudah merambah berbagai kegiatan hingga tingkat kampung.

Menteri Kesehatan, Dr Nafsiah Mboi pun tak kalah hebatnya bersuara dalam mendukung pemberlakuan PP ini.  Ditegaskannya, pentingnya arti PP No 109 tahun 2012, karena bisa menekan biaya ekonomi negara. Menurutnya negara justru dirugikan dari peredaran dan penggunaan rokok dalam aspek penerimaan negara. Tembakau di Indonesia pada tahun 2012 menyebabkan pengeluaran sebesar Rp 231,27 Triliun. Sementara pendapatan negara dari dari cukai tembakau hanya Rp 55 Triliun. Pengeluaran tersebut antara lain pembelian rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan yang mencapai Rp 2,11 triliun, dan kehilangan produktifitas karena kematian prematur dan morbiditas dan disibilitas sebesar Rp 91,16 triliun.  Besarnya biaya pengobatan adalah untuk mengobati penyakit-penyakit yang muncul akibat tembakau. Diantaranya penyakit pernapasan, jantung, pembuluh darah, stroke, kanker dan gangguan janin.

Pro kontra atas pemberlakuan PP No 109 tahun 2012, tampaknya bakal menjadi persoalan yang berkepanjangan. Penolakan atas pemberlakuan PP itu, tampaknya tak bakal berhenti. Sementara PP itu juga tak bisa berlaku secara efektif, mengingat banyaknya resiko yang bakal dihadapi jika PP itu dengan tegas dijalankan. Pemerintah juga terlihat setengah hati untuk menjalankannya, dan aturan dan perangkat dan aturan  pendukung untuk menjalankan PP tersebut juga tak serius dipersiapkan. 

Tampaknya produsen rokok, sepanjang masih didukung para pekerjanya dan petani tembakau, akan tetap tak mau tunduk dengan PP 109 tahun 2012. Pembakangan dari produsen rokok atas pemberlakuan PP itu, juga masih dimungkinkan tanpa ada sanksi yang tegas, karena sikap pemerintah yang masih setengah hati, dan ini karena  ketidaksiapan pemerintah mendukung pemberlakuan PP tersebut. Apalagi pemerintah tampaknya tak rela pendapatan dari cukai rokok yang tahun 2013 ini ditargetkan sekitar Rp 80 triluan lebih, gagal diraih.

Jadi untuk sementara  PP No 109 tahun 2012, akan menjadi peraturan yang tak berkuku.  Laga  panjang antara Produsen Rokok versus PP No 109 tahun 2012  pun akan tetap berlangsung. Intinya gambar monster dan kalimat-kalimat seram berupa larangan dan pernyataan yang bertujuan menakuti orang untuk membeli rokok dan merokok, untuk sementara tak akan ditemui di kemasan rokok yang beredar. Tak hanya itu pembakaran uang sebesar Rp 138 triliun dalam bentuk rokok yang banyaknya sekitar 260 miliar batang pertahun akan tetap berlangsung. Dan Indonesia pun akan tetap bercokol sebagai konsumen rokok nomor tiga terbesar di dunia, dan sebagai salah satu produsen rokok terbesar di dunia. (***)


Klik dan Baca Artkel ini di :
 
http://www.facebook.com/notes/simbolon-m-alinapiah/produsen-rokok-vs-pp-no-109-tahun-2012/10151320624976864



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA