Senin, 21 Januari 2013

Islam Tidak Membela Islam




Islam Tidak Membela Islam

Berbicara tentang islam, kita memerlukan berbagai penyikapan yang objetif tanpa menanggalkan dalil naqli dan aqli. Dua asas tersebutlah yang dipakai perintis madzhab Syafi’iyah – Imam Muhammad bin Idris   as - Syafi’iy  –  dalam   istinbatul   hukmi,  mencoba  memadukan   paradigma   dua  gurunya.   Begitulah   kita 
seharusnya dalam menyikapi segala problematika yang selalu menghimpit umat islam dalam berbagai zaman. 

Akhir-akhir ini banyak berkembang ideologi islam garis keras atau yang biasa kita sebut dengan islam radikal. Mereka mengecam segala wacana baru yang mereka anggap sebagai bentuk kafirisasi antek-antek yahudi dan amerika terhadap umat islam. Tak jarang mereka melakukan berbagai distorsi yang berujung pada kerusuhan dan pengkafiran dalam melawan wacana tersebut. Legalisasi fatwa hukuman matipun sering dijadikan pilihan. Dengan pretensi bahwa para penggagas wacana-wacana baru tersebut telah melakukan penodaan agama yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Lumrah kita temui berbagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam yang mengatasnamakan dirinya sebagai forum pembela islam, dalam tanda kutip –menurut hemat penulis –mereka hanyalah pembela secara persuasif bukan secara diskursif atas apa yang mereka bela dan mereka salahkan. Apalagi sifat fanatisme mereka yang memuncak, acap kali telah menjadikan mereka bebal terhadap sesuatu yang dianggap benar dan salah. “Berkontemplasi” sepertinya tidak merupakan rujukan utama bagi mereka dalam menanggapi berbagai problematika yang mendera. Kedangkalan berfikir membuat mereka selalu bersikap anomali sebagai seseorang yang mengaku islam dan pembela islam. Hal inilah yang seharusnya kita hindari dalam beragama.

Sedikit mendukung apa yang telah ditulis Ulil Abshar Abdala dalam sebuah tulisan dengan judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, -penulis mencoba mengambil gagasan epik yang telah ditulis Ull dalam tulisan tersebut dan sedikit menanggalkan predikatnya sebagai koordinator JIL yang telah diblacklist publik -. Islam menurutnya adalah sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama universal yang selalu hidup dan berkembang seiring dengan denyut nadi manusia. Islam bukanlah ibarat patung yang tidak boleh dipegang dan diutak-atik. Kecenderungan “Memonumenkan Islam” inilah yang harus kita rubah. Paradigma seperti ini hanya membuat islam membeku dan cenderung menjadikan islam stagnan dan sulit untuk berkembang.

Itulah yang menjadi salah satu kelemahan mereka yang menganggap dirinya sebagai pembela islam. Mereka cenderung lebih literal dan kurang berfikir maju. Salah satu bukti kebebalan mereka adalah ketika Gus Dur secara blak-blakan mengatakan bahwa “Assalamulaikum” bisa diganti dengan “selamat pagi,dsb.”. Mulai muncul berbagai tanggapan yang sangat memojokkan Gus Dur. Mulai dari anggapan bahwa Gus Dur gila, kurang waras, hingga –maaf- kafir. Salah satu tokoh masyarakat yang ikut angkat bicara, menuturkan bahwa Gus Dur sangat naïf karena telah merubah cara orang menutup sholat dengan mengganti lafal Assalamualaikum dengan selamat pagi, dsb. Padahal, jika kita cermati lebih dalam, orang sekaliber Gus Dur yang sudah diakui keilmuannya pasti telah mengerti bahwa difinisi sholat menurut syafi’iyah adalah suatu pekerjaan yang diawali dengan “takbiratul ikhram” dan diakhiri dengan salam. Tidak mungkin Gus Dur dengan mudahnya merubah sesuatu yang telah menjadi kepastian beribadah. Gus Dur hanya merubah esensi salam dalam bentuk ungkapan yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Beginilah kalangan islam yang menganggap dirinya pembela islam. Mereka sering bersikap fundamental dan radikal, yang justru sangat membahayakan afiliasi mereka dengan keimanan mereka.

Bukti lain kebebalan mereka adalah presepsi mereka bahwa islam adalah agama partikelir arab. Mereka tidak bisa membedakan mana yang kreasi budaya dan mana yang merupakan nilai fundamental. Pemikiran konservatif mereka hanya beranggapan bahwa kreasi budaya arab termasuk ajaran islam. Sekali lagi perlu kita ketahui bahwa islam adalah sebuah agama universal yang selalu fleksibel dan comfortable di segala zaman dan peradaban. Islam mengajarkan nilai-nilai universal yang kontekstual dan bukan literal. Esensi dan substansinya bisa kita terjemahkan dalam segala konteks. Terlalu naïf jika kita hanya menganggap bahwa islam adalah merupakan cerminan budaya arab yang harus selalu kita anut di setiap zamannya.

Para pembela islam ini pernah marah dan mengecam tindakan Ulil Abshar Abdala dalam memberikan wacana baru tentang islam yang telah ditulis dalam “Menyegarkan kembali Pemahaman Islam” sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas. Salah satu ide pokok tulisan yang menuai kritik hebat adalah ketika Ulil menulis bahwa ada beberapa kreasi budaya arab yang tidak wajib diikuti oleh umat islam, yaitu memakai jilbab. Berbagai pihak mengecam wacana Ulil tersebut. Bahkan sampai timbul sebuah fatwa yang telah disepakati oleh 80 ulama’ di Jawa yang melegalkan hukuman mati bagi Ulil karena dianggap telah murtad dan melakukan penodaan agama. Padahal –lagi-lagi –jika kita cermati lebih dalam, apa yang ditulis Ulil ada benarnya. Sebenarnya esensi dan sebab utama memakai jilbab adalah untuk menutup aurat, yang dalam hal ini adalah rambut dan sekitarnya. Jika kita mengatakan bahwa yang ditulis Ulil adalah sebuah kesalahan, maka kitalah yang salah. Karena sesungguhnya menutup aurat bisa kita aplikasikan dengan berbagai pakian yang memenuhi kriteria menutup aurat, tidak hanya dengan jilbab. Mungkin jalan budaya arab pada waktu itu telah mendahului peradaban sesudahnya tentang tata cara menutup aurat, jadi yang ada dibenak kita adalah menutup aurat harus terkesan seperti mereka (orang arab). Gus Dur pernah memuji Ulil sebagai Ibnu Rusyd (averros) yang membela habis-habisan kemerdekaan berfikir dalam islam dan telah banyak dikafirkan oleh orang yang berfikiran sempit dan takut akan perubahan. Gus Dur menilai kesalahan Ulil adalah karena telah menentang anggapan salah yang telah bediri kokoh di otak kaum muslimin.

Entah kenapa begitu mudahnya seseorang yang menganggap dirinya sebagai pembela islam tersebut menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap orang yang mereka anggap merongrong islam. Apakah mereka kurang mengetahui bahwa kita dianjurkan berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai apa yang kita lakukan membahayakan kelangsungan eksistensi keimanan kita. Sudah jelas apa yang telah ditulis oleh Syeikh Abdullah ibn husein ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’alawy dalam kitabnya Sulam at-Taufiq dalam suatu pembahasan yang menjelaskan macam-macam murtad. Jika kita timbang, sangat percuma ibadah yang kita lakukan bertahun-tahun hilang dalam sekejap saja hanya karena kita melakukan sesuatu yang tanpa disadari merusak keimanan kita. Secara tidak langsung merupakan sebuah bukti bagi kita bahwa islam tidak membela mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai orang islam yang membela islam.

Itulah kenapa dalam Al-Qur’an dejelaskan “udkhulu fi-assilmi kaafah”, kita dianjurkan untuk masuk islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Hanya karena fanatisme kita terhadap islam, kita mudah terpancing dengan suatu masalah tanpa mengerti batas-batas yang seharusnya tidak kita lewati. Untuk masalah membela dan tidak membela islam, penulis mengutip sekelumit tulisan K.H. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, “Informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu “dilayani”. Cukup diimbangi dengan informasi diri yang ‘Positif Konstruktif’.” Sedikit penulis tekankan, bahwa menyikapi masalah yang dianggap sebagai hal yang merugikan islam dengan memperkaya informasi diri secara positif dan konstruktif itu lebih utama dari pada harus rela menggadaikan iman kita dengan saling menyalahkan dan berlaku distortif terhadap keislaman orang lain. Kita seharusnya tidak mau jika apa yang kita lakukan hanya semata-mata membela islam ternyata tidak dibela oleh islam. Jika hal tersebut masih berlangsung dalam kehidupan berislam kita tanpa adanya kesadaran dari tiap individu, maka keislaman kita akan semakin tidak berefleksi dan akan menemui problematika hebat yang intensitas dan implikasinya semakin tinggi dan semakin gawat bagi kelengsungan masa depan beragama kita semua. Waallahu a’lam bisshowab.

Ditulis oleh : Fawwayz An-najwa

Dikutip dari kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA