Minggu, 20 Januari 2013

Demokrasi Yang Buntung




Demokrasi Yang Buntung

Abraham Lincolin mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua bentuk tindak-tanduk dan kebijakan pemerintah harus memihak pada kepentingan rakyat. Rakyat adalah raja dalam panggung demokrasi, begitulah yang diamanatkan konstitusi negara kita.

Demokrasi di Indonesia telah melalui perjalanan panjangnya. Reformasi sebagai tonggak demokrasi diagendakan membangun bangsa yang lebih terbuka, dinamis, makmur dan sejahtera. Namun ternyata masih jauh dari harapan, pasca reformasi angka kemiskinan justru semakin meroket tinggi. Tapi perlu diakui, demokrasi yang telah berjalan sudah berhasil membawa buah tangan kemajuan secara prosedural. Pemilihan umum berlangsung bebas, transparan, dan demokratis. Pintu berpendapat dan berserikat juga telah dibuka. Setidaknya lebih baik dari masa orde baru.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan, prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Check and balanced diantara lembaga-lembaga negara juga telah berlangsung dinamis.

Prinsip semacam trias politica menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus-kasus HAM berat pun seakan ada rencana untuk menguburnya. Kasus HAM tinggallah peristiwa dengan peringatan, tanpa ada penuntasan. Dalihnya, “selalu” tidak ada bukti.

Demikian pula di lembaga legislatif, kekuasaan berlebihan dipraktekkan dalam menentukan standar anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, dan tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Walhasil, demokrasi yang dicita-citakan untuk menciptakan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Justru berbalik arah, kesengsaraan semakin diperparah dengan kebencian rakyat pada para elite politik atas tindakan semena-menanya.

Bukan Untuk Rakyat

Pascareformasi, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sehingga dapat membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun hingga saat ini, transisi menuju pemerintahan yang demokratis secara utuh belum dapat terengkuh. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan demokrasi “Kaum Penjilat”, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dengan demikian, perjuangan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik memupus demokrasi.

Demokrasi tidak memberikan kesejahteraan, tetapi justru kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah masyarakat miskin pada Maret 2012 mencapai 29,12 juta orang atau 11,96% dari total penduduk Indonesia saat ini. Angka ini turun dibanding Maret 2011 yang mencapai 30,02 juta orang (12,4%). Tentu jumlah 29,12 juta orang bukanlah angka kecil, terus puas dan dipamerkan rakyat bahwa mereka telah berhasil. Terkadang, angka berbeda dengan fakta di lapangan.

Negara demokrasi, rakyat seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi, ironisnya selalu dipinggirkan. Kondisi buruk dipamerkan elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi blunder. Banyak tingkah polah para elite politik yang mencederai perasaan rakyat dan mengandung kegeraman. Bahkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa demokrasi cuma cara, alat atau proses, bukan tujuan.

Kendati demokrasi sudah berjalan lama, perilaku para elite politik negeri ini masih dianggap belum memperjuangkan nasib rakyat sebenar-benarnya. Demokrasi masih berputar dalam rutinitas pergantian kekuasaan dan birokrasi administratif. Sementara kesejahteraan rakyat tak kunjung datang dan masih jauh dari harapan.
Para elite politik sibuk dengan dirinya sendiri. Kendati didapuk sebagai wakil rakyat, tidak ada representasi kebijakan yang berpihak pada raja, rakyat yang diwakilinya itu. Ironis, di tengah keterpurukan rakyat, mereka dengan rasa tanpa bersalah membagikan mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon kepada para pejabat tinggi dan barisan nama menteri. (M. Abdillah Badri, 2012: 304)

Mungkin bisa dibenarkan apa tidak, ketika ada orang yang mengatakan, rakyat benar-benar sudah diwakilkan oleh para wakil rakyat, sudah diwakilkan jalan-jalan ke luar negeri, sudah diwakilkan naik mobil mewah dan pesawat. Kesejahteraan rakyat sudah diwakilkan.

Demokrasi negeri ini bukanlah untuk rajanya, rakyat. Melainkan bagi para wakilnya. Demokrasi benar-benar telah buntung, kesejahteraan hanya menjamah dari badan sampai kepala, tidak sampai ekor-ekornya (rakyat). Oleh karena itu, demokrasi yang disinyalir sebagai gerbang kemajuan dan menciptakan kesejahteraan ternyata di Indonesia masih belum terbuktikan. Untuk sekadar mengingatkan pada para elite politik, kita teguhkan kembali nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diamanatkan UUD 195. Tujuannya adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan golongan tertentu.

Ditulis oleh : Ahmad Zaini
Peneliti di Paradigma Institute Kudus

Di kutip dari okezone.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA