Kamis, 24 Januari 2013

Hasrat Dan Kebebasan Untuk Kita Renungkan


Hasrat Dan Kebebasan Untuk Kita Renungkan


Ada sebuah kisah di negeri orang. Negeri yang sudah cukup maju dan tahu segalanya. Hasrat orang kaya di negeri ini adalah menaikkan grafik kapital terus menerus serta mendorong pembangunan.  Gedung perkantoran dan apartemen menjulang untuk bisnis dan investasi, plasa dan mal berdiri untuk mendukung sirkulasi ekonomi dan menciptakan gaya hidup foya-foya rakyat, yang katanya, sudah berstatus menengah ke atas. Kehausan tanpa akhir dari hasrat si kaya ini pun didukung oleh pejabat pamong praja yang mau dibeli integritasnya. Mereka menjual stempel dan kewenangannya, siapapun boleh membelinya asalkan punya mega kapital. Pamong praja kan juga ingin memenuhi hasrat berstatus menengah ke atas. Penghasilan harus lebih besar daripada gaji. Hasrat mereka adalah tinggal di dekat pusat perkotaan, memiliki investasi emas, tanah, apartemen atau angkutan umum. 

Di balik semua itu, kalangan si miskin ternyata masih ada dan terselip di antara pencakar langit kota. Mereka menjadi buruh berjualan produk-produk si kaya, menjadi mur dan baut untuk menggerakkan ekonomi, menempati ruang-ruang kosong di perkotaan untuk memudahkan kegiatan perburuhan mereka.  Syukurnya, hasrat tinggal di tengah kota bisa terpenuhi, karena pamong praja pada level mereka pun ternyata juga mau dibeli integritasnya.

Di negeri itu, si kaya, si miskin, dan pamong praja bebas berbuat apapun sebab mereka mampu membeli dan mau dibeli. Mereka bisa membangun apapun, bertempat tinggal dimanapun, dan menjual kewenangan kapanpun kepada siapapun yang membutuhkan. Suatu ketika, musibah banjir melanda ibukota negeri itu, yang tidak lain dikarenakan kebebasan bagi rakyat membuang sampah dimana suka.  Kebebasan di negeri itu memang telah diterapkan secara nyata, bukan hanya isapan jempol semata. Tanpa nilai-nilai liberalisme negeri maju, rakyat sudah hidup dengan bebas sebebas-bebasnya.

Rakyat di negeri itu pun pintar-pintar.  Mereka tidak perlu diajari nilai-nilai kehidupan lagi, sebab, konon mereka sudah punya semuanya, bahkan lebih baik daripada negeri maju yang tingkat bunuh dirinya terus meningkat seperti Jepang dan Amerika Serikat. Mereka berkata kepada negeri asing bahwa tidak perlu lagi mengajari mereka berdemokrasi, karena mereka sudah cukup mampu berdemokrasi.  Tidak perlu lagi mengajari cara mengurus sumber daya alam, sebab mereka sudah cukup pintar mengebor migas dan sejenisnya. Tidak perlu lagi saran-saran penataan ruang kota, sebab ahli tata ruang kota mereka sudah begitu banyak.  Mereka pun juga tidak perlu diajarkan berdagang dan mengurus ekonomi, sebab pertumbuhan ekonomi negeri itu cukup stabil dan bagus. Apalagi politik.  Tidak perlu lagilah mengajari partai politik dan promosi hak-hak berpolitik, dan justru sebaliknya, apakah negeri asing mau mereka ajarkan? Bahkan keunggulan lain mereka tidak dimiliki oleh sebagian besar negara-negara maju yaitu lebih agamis dan mempunyai Tuhan.

Negeri itu memiliki fakta yang jelas dan tegas.  Tetapi cepat berubah-ubah.  Pada suatu hari pencuri sandal jepit diajukan ke pengadilan, di hari berikutnya gembong narkoba diberikan remisi hukuman. Di suatu hari yang lain, wakil rakyatnya berbondong-bondong mengunjungi negeri maju untuk studi banding kebijakan. Tidak, tidak perlu dilakukan kajian awal melalui penelitian ataupun surat menyurat dan juga tidak bisa melalui teleconference. Harus didatangi.  Tidak, tidak bisa hanya mengirimkan perwakilan, harus beramai-ramai. Bebek keluar kandang kan juga beramai-ramai. Belum selesai perkara ini, pejabat pamong praja yang ganteng dituduh terlibat penyelewengan kas olahraga negeri.  Olahraga yang tidak bikin badan jadi sehat, justru sakit, memang hanya di negeri itu. Calon hakim pun tak luput dari ketidakwarasan kronis negeri, karena dada deg-degan sampai lupa etika, melecehkan korban pemerkosaan. Untung saja, keesokan harinya banjir melanda negeri itu. Rakyat sibuk mengungsi dan menyelamatkan nyawa dan harta benda. Semua masalah tinggal sejarah.

Begitulah di negeri itu, masalah satu ditimpa masalah lain. Maklum, rakyat sungguh pelupa karena punya begitu banyak masalah, sehingga dapat disetir oleh media kelas kakap yang menguasai negeri. Katanya tetangga bad news is good news. Oleh karena itu, siaran televisi cukup sampai pada bad news saja, good news hanya membuat rating turun. Jadi, televisilah yang menentukan fakta yang berarti di negeri itu.  Rakyat hanya bisa berharap, mudah-mudahan fakta yang disajikan televisi itu benar adanya. Mudah-mudahan, tidak seperti ranah lainnya, televisi serta media lainnya belum terkorupsi dan tak bisa dibeli.  Tapi, apa benar bisa begitu? Jangan-jangan, untuk mendapatkan kebenaran dan memenuhi hasrat kebebasan bertanggung jawab, rakyat harus mengumpulkan uang banyak untuk membelinya. 

Untuk Kita Renungkan

Kisah negeri itu patutlah untuk kita renungkan. Meskipun masalah terus datang bertubi-tubi, rakyatnya tetap bangkit menyongsong esok hari. Mereka masih mempunyai harapan, entah untuk keluar dari masalah atau menanti giliran ikut menikmati bancakan negeri. Oh, mudah-mudahan bukan yang kedua.  Sadarkah mereka bahwa harapan itu bisa terwujud dari gerakan di kalangan mereka sendiri?  Hentikan pemujaan berlebihan pada oknum-oknum kaya dan pamong praja yang memiliki materi berlimpah menelikung uang negeri! Disiplinkan diri untuk menyumbangkan kebaikan walau sedikit! Perubahan tidak muncul dari gigantisme tindakan orang lain, melainkan dari diri sendiri! Masih perlukah menunggu atau memulai dari diri sendiri untuk berubah?

Ditulis oleh : Musa Maliki
Dosen FISIP UPN "Veteran" Jakarta; Dosen Luar Biasa Universitas Al Azhar Jakarta & Universitas Paramadina

Dikutip dari  : Rubrik Opini  okezone.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA