Selasa, 15 Januari 2013

Menteri, Parpol dan Elit Koboy Menuju 2014




Menteri, Parpol dan Elit Koboy Menuju 2014


Menyusul penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Pemilihan Umum (pemilu) 2014, ditetapkan hanya 10 parpol berhak mengikuti Pemilu 2014. Ketetapan ini secara langsung membawa dampak pada sejumlah partai politik (parpol) yang langsung memulai tahap rekrutmen bakal calon legislator. Hingga tiga bulan ke depan, para kader populer dari parpol tak lolos verifikasi yang berpotensi menjadi vote gater di daerah  berpindah parpol.

Kesiapan parpol untuk memenangkan kompetisi menampilkan kandidat terbaik dari masing-masing partai, diantaranya dari Golkar Abu Rizal Bakrie, demokrat diusungnya Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Jero Wacik, PDIP adanya  kader-kader muda seperti Maruarar Sirait, Pramono Anung, serta yang mewarisi kharisma politik keluarga Puan Maharani, dari PKS beberapa tokoh  senior seperti  Nur Mahmudi, Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, maupun Salim Segaf.

Bahkan dari kalangan non Partai seperi Fajrul Rahman dan Rizal Ramli pun disebut-sebut mempersipakan diri. Tak kalah menarik,  adanya Nasional Demokrat yang mengusung nama Surya Paloh. Pemberitaan berkaitan dengan Sri Mulyani, Dahlan Iskan dan Mahfud MD yang siap bersaing dengan kandidat lainnya ikut pula menghiasi media di negeri ini.

Daya magnet yang ditawarkan masing-masing kandidatpun beraneka ragam. Dari yang jauh sebelum ketetapan KPU terkait partainya yang baru seumur jagung sudah mengebu-gebu melakukan sosialisasi, ada yang sudah mendeklarasikan diri seperti Abu Rizal Bakrie. Dalam  Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar telah ditetapkan dirinya sebagai calon tunggal Presiden RI 2014.

Penulis akui, untuk meraih simpatik dari rakyat tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan yang keras. Jalan terjalal diperparah dengan adanya  peningkatan jumlah pemilih yang naik signifikan, sekitar 20,4 juta pemilih dari Pemilu 2009.

Namun, sangat disayangkan mereka yang menjabat pejabat publik justru ikut-ikutan memanfaatkan peluang tersebut demi sebuah pencitraan. Di era media yang terbuka seperti sekarang, banyak tokoh politik yang mendesain sedemikian rupa setiap langkahnya agar—selain menjalankan tugas—juga bisa dilihat publik luas.

Tujuannya agar ke depannya ia akan berpeluang dipilih atau dipinang kekuatan politik. Tak ada tujuan lebih dari itu. Lihat berapa kali Dahlan Iskan mengamuk di tol, bandara, pelabuhan dan lain-lain.  Pada hal  kinerja BUMN tak lebih baik. Merujuk data dari hasil pemeriksaan semester I/2012, BPK  menyebutkan, terdapat 63 kasus yang terjadi di lingkungan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.

Dalam pernyataanya Ketua BPK Hadi Poernomo menyebutkan, Kasus tersebut antara lain kekurangan penerimaan yang berasal dari koreksi perhitungan bagi hasil dengan KKKS sebanyak 24 kasus senilai Rp 487,93 miliar.  Sisanya sebanyak 9.129 kasus dengan nilai sebesar Rp 3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, serta kelemahan sistim pengendalian intern.

Pemberitaan terkait musibah yang menimpah salah satu mantan petinggi PLN ini saat mengendarai Ferari Listrik di kawasan Plaosan, Magetan, Jawa Timur Sabtu, 5 Januari 2013, dengan kondisi mobil rusak parah, menjadikan pertanyaan besar bagi penulis.

Kecelakaan ini dimuarai keberanian Dahlan yang terlalu berlebihan dengan mengendari mobil dala setatus uji coba tersebut. Dengan dalil demi riset dan pengembangan mobil listrik  ia bertekad mengujinya dengan menyetir sendiri hingga 1000 kilometer. Seyogyanya pengujian dilakukan di balai pengujian kendaraan bermotor yang sudah ditetapkan. Selain itu,setiap kendaraan yang dipakai di jalan raya seharusnya telah melalui uji kelayakan oleh Kementerian Perhubungan. Tujuannya agar standarisasi produk dan uji produk teknologi otomotif tetap terjaga keabsahannya. Kenyataan ini diperparah dengan penggunaan plat yang ternyata palsu.

Diberitakan, sistem rem yang dimiliki mobil tersebut tidak berfungsi dengan baik menyebabkan mobil berwarna merah seharga miliaran rupiah itu yang dikendarainya rusak berat. Pernyataan berbeda justru disampaikan pencipta Tucuxi Danet Suryatama kepada media. Dirinya memaparkan tindakan yang berlebihan pada pembongkaran dengan dalih penyempurnaan yang dilakukan oleh tim Dahlan Iskan yang dikomandoi keponakannya.

Dampaknya membawa perubahan system kendaraan mulai dari rem, dua airbag (pengemudi dan penumpang), power steering, battery system dan battery monitoring system serta lainnya.

Kisah lainnya sikap PKS selama ini yang membingungkan. Keberadaan PKS di barisan koalisi pun penulis pertanyakan, terkesan selama ini, PKS bagaikan partai oposisi yang berada didalam barisan partai koalisi. Alasan PKS, melakukan penolakan dan tidak sejalah dengan pemerintah menunjukan partai ini lebih mengutamakan pencitraan partainya dalam menarik simpatik dibandingkan harus mematuhi kesepakatan koalisi. Partai ini terkesan  hanya mencari kepentingan partai semata dengan melakukan pencitraan disetiap kebijakan pemerintah, tanpa memperdulikan kesepakatan yang ada di dalam koalisi itu sendiri.

Lihat juga bagaimana Mahfud MD yang doyan  melontarkan pernyataan, layaknya politisi, padahal ia ketua lembaga sakral seperti MK, setiap pernyataannya dapat menjadi kekuatan hukum. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi pernah menyampaikan keberatan atas pernyataan sikap ketua MK. Sudi sangat berkeberatan dan merasa terhina atas pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menuding  mafia narkoba sudah masuk ke lingkaran Istana.
Bahkan purnawirawan bintang tiga TNI ini, meminta Mahfud untuk menjelaskan pernyataan tersebut kepada dirinya dan Presiden, dengan disertai bukti-bukti dan keterangan lain yang mendukung.

Penulis akui, setelah bergulirnya angin reformasi yang ditandai dengan keterbukaan untuk mendapatkan informasi dan kebebasan berpendapat  menjadikan demokrasi dinegeri ini berjalan. Sangat disayangkan oleh penulis langkah yang ditempuh oleh mereka yang bernaung dibawah pemerintahan justru terkesan memilih caranya sendiri dalam meraih dukungan.
 
Realitas ini, justru membuat publik dibuat bingung dengan berbagai langkah tokoh dan parpol seperti di atas. Di negara maju, era sensasi sudah lewat. Digantikan pejabat yang mampu menghasilkan kebijakan tepat dan nyata, tanpa publikasi sensasional berlebih. Itu juga yang harus terjadi di sini. Sudah sepatutnya profesinalitas ditanamkan dalam diri masing-masing pejabat publik. Agar kinerja tetap terpelihara, rakyat tidak dijadikan komoditas kepentingan politik sesaat.

Ditulis oleh : Ferry Ferdiansyah
Pemerhati Sosial, Alumni Pasca Sarjana Univsersitas Mercubuana Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi

Disadur dari : okezone.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA