Senin, 21 Januari 2013

Banjir Jakarta..... Panggung Politik Ditengah Musibah




Banjir Jakarta
Panggung Politik Ditengah Musibah

Oleh : M Alinapiah Simbolon

Bagi warga yang berdomisili di kota Jakarta, banjir merupakan pristiwa yang sudah menjadi kalender tahunan kegiatan alam. Warga yang berdomisili di ibukota negara Republik Indonesia  ini pun sudah terbiasa terkena musibah musiman itu. Mengahadapi dan dan menerima dampak atas musibah banjir sudah menjadi pengalaman berulang-ulang.

Mungkin di tahun-tahun sebelumnya, pristiwa banjir  tak separah seperti yang terjadi pada awal tahun ini, dan yang menjadi korban pun mungkin tak sebanyak pada pristiwa banjir kali ini. Bisa jadi warga tak menyangka kalau banjir yang terjadi bisa begitu dahsyat. Air bah tak hanya mengarah dan mem peneltrasi ke perumahan warga yang terletak di lingkungan kumuh dan pinggiran kali, tapi sudah memasuki ruang-ruang perumahan elit, mall, plaza, gedung-gedung mewah, kantor lembaga pemerintahan dan Instansi swasta bahkan  lingkungan Istana Presiden.  

Namun untuk kali ini air bah sedikit bersikap sedikit adil, sebab  kegetiran  yang dirasakan akibat banjir untuk kali ini tak saja hanya berlaku bagi orang miskin dan orang pinggiran kali saja. Pahit getirnya akibat terjangan  banjir,  juga dirasakan oleh para kalangan atas. pemimpin tertinggi negara serta para pejabat tinggi dan para pengusah pun tak hanya dibuat berpikir, tapi juga dibuat ikut merasakan pahitnya dampak  banjir. SBY pun harus menggulung celana sampai selutuk saat air bah merengsek ke Istana Negara, serta harus blusukan meninjau kondisi banjir dan kondisi banjir. Tak ketinggalan sejumlah menteri dan pejabat tinggi harus terpaksa juga buka sepatu dan angkat celana mengarungi air. Pertemuan membahas banjir pun terpaksa digelar dilokasi banjir.

Sosok Joko Widodo (Jokowi) dan partnernya Basuki Purnama Tjahya (Ahok), wajar merasa terbebani atas berlakunya pristiwa banjir yang cukup berkerpanjangan ini. Meskipun musibah tersebut  bukanlah kesalahan mereka, karena itu sudah diluar kemampuan mereka,  tapi karena musibah banjir berlangsung diawal start kepemimpinan mereka sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sudah pasti membuat mereka dalam kondisi pusing tujuh keliling, serta dibebani rasa bertanggung jawab.

Secara reaktif Jokowi telah berbuat. Setidaknya tindakan insidentil yang mereka lakukan sejak terjadinya banjir sudah sangat maksimal.  Terlepas dari adanya segelintir tudingan miring terhadap Jokowi dan Ahok, namun kesigapan dan apa yang mereka perbuat lebih tendensius sebagai panggilan tugas dan tanggung jawab selaku pemimpin pemerintahan di DKI Jakarta. Karena siapapun tahu sebelum pristiwa banjir melanda, Jokowi sudah punya niat planning dan sudah berbuat dalam bentuk  program untuk penanggulangannya. Hanya, yang disayangkan banjir yang terjadi akibat pristiwa alam sudah memang waktunya untuk datang tak bisa dihadang kedatangannya dan tak sempat lagi terantisipasi.

Terjadinya pristiwa alam yang sangat berbias terhadap berbagai aktivitas kehidupan masyarakat dan aktivitas perekonomian di ibukota tersebut, memang memberikan kegetiran dan kepiluan yang sangat mendalam terutama bagi warga yang menjadi korban. Sampai sampai ada warga yang meregang nyawa terjebak banjir meskipun masih dalan level yang tidak signifikan jumlahnya. Kerugian harta belum bisa terdeteksi besar nominalnya, banjir belum usai, karena disejumlah tempat air masih menggenang serta merengsek dan menerobos ruang dan tempat, dan kalaupun mulai surut tak bisa dipastikan tak akan datang lagi karena kondisi alam tak selamanya bisa diestimasi. Selain kerugian materi, kerugian lain juga bakal menanti, sebab banjir dipastikan akan menghadirkan dampak lain, yakni potensi besar korban dijangkiti berbagai wabah penyakit.

Memang harus diakui, dalam merespon pritiswa banjir yang sangat dahsyat ini, serta sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah pusat dibawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dibawah komando Joko Widodo, terlihat berupaya optimal untuk mengatasi dan menanggulangi tentunya dalam batas kemampuan yang ada. Sehingga perintah dan kebijakan yang intinya untuk menanggulangi dan mengatasi pristiwa banjir yang masih tengah melanda pun tercetus dari bibir Presiden SBY. Saat menggelar jumpa pers di tepi Sungai Ciliwung, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Minggu (20/1/2013). Didampingi Jokowi, SBY menegaskan dalam mengatasi banjir untuk jangka pendek dan menengah pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 2 Triliun. Kebijakan presiden itu merupakan hasil rapat koordinasi bersama sejumlah Menteri,  Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, perwakilan DPR, dan perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Rapat tersebut digelar sebelumnya (Minggu siang) di pos pengungsian di GOR Otista, Jakarta Timur.

Keseriusan pemerintah khususnya pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam merespon musibah banjir kali ini, memang tampak dibarengi upaya refresif sejak awal terjadinya banjir.  Memang yang bisa dilakukan masih tindakan refresif karena tak ada yang bisa dilakukan untuk melakukan upaya preventif.  Kesigapan pemerintah dan aparat dari berbagai kekuatan yang ada telah terkerahkan untuk meminimalisir banyaknya korban jiwa. Disamping itu, sikap proaktif dari berbagai kalangan sebagai bentuk empati, juga terlihat. Dari segi bantuan untuk korban banjir memang tak mengalami kekurangan, dan itu memang dirasakan para korban, kendati dibeberapa lokasi datangnya bantuan terkesan lamban.

Sah-sah saja, jika siapapun dan kelompok manapun melakukan aksi kepedulian, saat pristiwa banjir melanda  Jakarta dan sejumlah daerah lainnya. Tak ada yang bisa melarang aksi itu, dan memang warga yang jadi korban juga sangat mengharapkan banyak pihak yang peduli.  Dan aksi kepedulian itu memang berlangsung  dan dilakukan berbagai kalangan,  seperti kalangan lembaga dan organisai kemasyarakatan, artis, pengusaha, pejabat bahkan elit-elit partai politik. Sebaliknya kalaupun ada penilaian, miring terhadap berbagai aksi kepedulian tersebut, karena kesannya musibah banjir dijadikan dan dimanfaatkan jadi ajang pencitraan individu ataupun kelompok ataupun kampanye dan pencitraan para elit politik dan partai politik, merupakan sebuah penilaian yang sah-sah juga dan sangat beralasan.

Musibah momentum pristiwa banjir sedahsyat ini memang sangat efektif dijadikan panggung politik untuk pencitraan dan kampanye, sebab pristiwa tersebut menjadi fokus dan sasaran perhatian mata secara nasional bahkan internasional, karena tersiar via berbagai media termasuk media sosial. Bahkan tak sedikit para elit politik parpol yang punya media, memomentumkan aksi mereka untuk ter ekpsos ke publik.

Ironisnya sampai-sampai aksi kepedulian, seakan jadi rebutan, ditengah terjadinya musibah banjir, juga tampak nuansa kompetitifnya dan terkesan munafik. Ada sosok pimpinan parpol yang menghimbau elit parpol lainnya agar tidak memanfaatkan musibah banjir sebagai ajang pencitraan dan kampanye, sementara sang pimpinan parpol itu sendiri juga menggelar aksi kepedulian secara terang-terangan membawa memperlihatkan atribut parpol yang dipimpinnya, dan mengatasnamakan dirinya sebagai calon presiden.

Memang pragmen pencitaraan dan kampanye yang terjadi dengan bungkusan aksi kepedulian, tak bisa dihindari ditengah terjadinya musibah apapun, termasuk musibah banjir Jakarta. Soalnya, aksi peduli yang tak membawa atribut partai pun bisa saja secara tak langsung dinilai sebagai aksi pencitraan dan kampanye terselubung yang mengarah kepada partai tertentu.

Bisa saja publik menilai kepedulian Presiden SBY dan Jokowi tidak hanya sebagai rasa tanggung jawab sebagai pemimpim pemerintahan, tapi ada imbas politisnya, karena kapasitas mereka diketahui khalayak juga merupakan pimpinan dan elit partai politik. Begitu juga dengan aksi sejumlah menteri yang ikut blusukan ditengah banjir, mereka juga ada yang ber back ground sebagai pimpinan ataupun elit partai tertentu. Termasuk para artis yang ikut aksi peduli juga tak bisa dikatakan murni punya kepedulian, karena ada sejumlah  artis yang buat aksi peduli dan turun blusukan dilokasi banjir punya kepentingan atau target politik dan ada yang  berkecimpung di partai politik. Begitu juga dengan sejumlah ormas serta lembaga usaha, ikut buat aksi peduli padahal para pemimpin ormas dan pimpinan lembaga usaha tersebut juga ada yang berkecimpung sebagai orang parpol atau punya kepentingan politik.

Meskipun ada tujuan politisnya, aksi kepedulian yang dilakukan kalangan tertentu masih ada nilai positifnya, yaitu korban musibah banjir merasa terbantu. Ironisnya sejumlah kalangan atau elit politik melakukan pencitraan ditengah masih berlangsung musibah banjir dengan modal Lid and Lut alis modal Lidah dan Mulut. Yang digelontorkanya bukan bantuan buat para korban tapi pendapat dan analisi yang terlansir melalui sejumlah media. Malah pendapat dan analisi berbagai elit tadi tak sedikit memicu polemik, sebab bersifat tendensius dan pendiskreditan maupun bervolume isu-isu politik. Isu yang mengaktual dan jadi polemik serta terus membahana ditengah banjir masih melanda, yaitu isu yang pemindahan ibukota. 

Klik dan Baca Artkel ini di :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA