Senin, 25 Juli 2011

ANTARA JR, BANDARA DAN CANGKUL ( Tulisan )

ANTARA JR, BANDARA DAN CANGKUL

Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH

Penulis masih ingat semasa Pemerintahan Presiden Suharto, dimana Prof Dr Ing BJ Habibi yang ahli pembuat pesawat terbang dipanggil dari Jerman dan dipercaya menjabat Menristek (Menteri Negara Riset dan Teknologi) dan Kepala BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Saat itu dengan sentuhan tangan BJ Habibi, Indonesia menjadi produsen pesawat terbang, melalui PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang kemudian berganti nama jadi PT Industri Pesawat Terbang Indonesia dan sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia. Sosok BJ Habibi, langsung memegang kendali mengelola pabrik pembuatan pesawat terbang tersebut. Pesawat terbang jenis CN-235 dan N-250 pun akhirnya berhasil diproduksi.

Sayangnya kepintaran anak bangsa membuat pesawat terbang dibawah komando BJ Habibi, tidak disertai dengan keberhasilan pemasaran pesawat yang sudah diproduksi. Pesawat terbang made in dewe tersebut, kalah bersaing di pasaran internasional dengan negara produsen pesawat terbang yang sudah punya nama. Alih-alih pesawat buatan anak negeri tersebut tak laku, dan akhirnya di lego dengan cara barter. Ada yang ditukar sama ketan (beras pulut) dengan Negara Burma (Sekarang Myanmar), dan ada ditukar dengan mobil Proton Saga buatan Malaysia. Akhirnya kerugianlah yang didapat, padahal saat itu dana yang dianggarkan negara untuk biaya produksi pesawat sangat besar, malah dana reboisasi pun di alihkan untuk menambah biaya produksi pesawat.

Kenapa pesawat tak laku ? Sebenarnya bukan karena pesawat yang diproduksi anak bangsa yang tak berkualitas, tapi karena negara-negara konsumen pembeli pesawat terbang masih belum merasa yakin dengan pesawat produksi Indonesia. Soalnya penilaian mereka, Indonesia bukan negara penghasil produksi teknologi, dan Indonesia belum berstatus negara yang menerapkan High Tecnology. Realita yang mereka lihat, masyarakat petani si Indonesia saja masih menggunakan tenaga manusia dan tenaga binatang untuk mengelolah lahan pertanian. Kita masih menggunakan tenaga manusia untuk mengayunkan cangkul, dan tenaga kerbau yang merupakan tenaga binatang sebagai alat untuk membajak lahan pertanian. Sangat ironis, satu sisi negara sudah memproduksi pesawat terbang, sementara sisi lain pertanian yang penghasil besar devisa negara masih dikelola dengan peralatan tradisional.

Ternyatan program gagal seperti itu, masih ada juga yang menerapkannnya. Dialah Dr JR Saragih SH M yang akrab di panggil JR, pemimpin pemerintahan tingkat lokal di daerah yang bernama Kabupaten Simalungun. Tampaknya JR berpikiran seperti di zaman pemerintah Suharto, dimana saat itu melalui tangan BJ Habibi membuat Indonesia berhasil jadi produsen pesawat terbang.

Memang JR tidak buat pesawat terbang, tapi dia buat bandara untuk pelabuhan pesawat terbang khusus “pesawat capung” yang dinamakan Bandara Perintis. Akhirnya setelah bandara jadi dibangun, maka kondisinya pun sama seperti kondisi disaat negara kita berhasil menjadikan negara produsen pesawat terbang. Pesawat yang di buat tak laku jual dan tak menghasilkan devisa uang yang digunakan sia-sia. Begitu juga dengan bandara yang dibangun JR, yang juga sia-sia dan tak berhasil meraup PAD buat Pemerintah Kabupaten Simalungun, karena tak ada pesawat yang berlabuh di bandara itu. Kenapa tak ada pesawat yang berlabuh, karena penumpang yang diharapkan dari masyarakat sekitar sama sekali juga tak ada.

JR seharusnya menyadari bahwa masyarakat Pematang Raya sekitarnya, untuk saat ini dan untuk jangka waktu panjang tak dapat diharapkan akan menjadi penumpang pesawat, yang bandaranya telah dibangunnya. Selain kondisi perkembangan wilayah yang belum masuk standar perkotaan, dan bukan pula wilayah yang memang membutuhkan adanya transportasi uadara, sebagian besar dari masyarakat juga masih sebagai petani yang kondisi perekonomiannya sangat memprihatinkan. Mengolah lahan pertanian saja mereka masih menggunakan cangkul yang dikendalikan tenaga manusia, malah masih banyak petani yang menggunakan tenaga binatang bernama kerbau untuk membajak sawah. Jadi apa mungkin kondisi masyarakat yang mayoritas petani yang cari makan dengan menggunakan cangkul akan bisa menjadi konsumen pesawat terbang yang bandaranya telah dibangun JR ? Jawabannya, pasti tak mungkin dan jauh dari mungkin.

Yang jelas pesawat terbang dan bandaranya belum saatnya menjadi sarana transportasi vital bagi masyarakat Raya sekitarnya, termasuk juga masyarakat Kabupaten Simalungun. Yang vital bagi masyarakat adalah modernisasi di bidang pertanian dan perbaikan jalan untuk lancarnya hubungan transportasi yang juga untuk mendukung lancarnya distribusi hasil pertanian. Jangankan naik pesawat, merasakan naik mobil saja warga yang berdomisili di sejumlah pelosok masih terlihat jarang, karena mobil tak ada yang mau masuk ke tempat mereka akibat kondisi jalan yang rusak parah.

Sayang sekali nasib bandara yang dibangun JR tersebut. Konon pesawat jenis capung yang berlabuh pun paling jago sebulan sekali, itu pun penumpangnya hanya JR dan sejumlah pejabatnya. Mungkin capung lah dan hewan yang bisa terbang lainnya yang paling sering berterbangan di sekitar bandara tersebut bukan pesawat capung.

Begitulah jadinya kalau konsep dari pemikiran pemimpin yang hanya ingin gagah-gagahan, seperti yang diperlihatkan JR Saragih dengan membangun bandara di daerah yang masih perlu pengembangan. JR ingin memodernkan wilayah yang dipimpinnya secara revolusioner, tapi potensi yang ada dan kondisi masyarakat tak mendukung dan jauh dari harapan untuk bisa mendukung.

JR harus sadar, bandara yang dibangunnya yang akhirnya tak memberi manfaat itu, telah menimbulkan kecemburuan masyarakat Kabupaten Simalungun yang masih banyak tinggal di daerah terpencil, terbelakang serta tertinggal dari sentuhan pembangunan. Geliat kekecewaan pun dipastikan muncul. Masyarakat yang berpikir kritis, sudah pasti menyesalkan dan mengesalkan pembangunan bandara itu, malah tak sedikit masyarakat berpikir bandara yang dibangun itu adalah untuk kepentingan pribadi JR, yaitu untuk tempat pendaratan dan parkir helikopter pribadinya, serta kepentingan untuk mendukung berkembangnya bisnis pribadi JR yang belakangan dibangunnya di Pematang Raya

Sebenarnya harapan utama masyarakat dari sejak awal JR memimpin pemerintahan di Kabupaten Simalungun, adalah membantu masyarakat petani, dan bukan mendirikan bandara. Alangkah bermanfaatnya jika dana yang terbuang sia-sia untuk membangun bandara itu, dialokasikan untuk membeli alat pertanian modern dan berteknologi, karena jelas efektifitasnya untuk meningkatkan produksi pertanian masyarakat. Mendinglah beli traktor dan jetor untuk mengganti cangkul, dari pada buat bandara yang nyata-nyata tak produktif.

Sungguh tak pantas bandara yang dibangun JR, kalau niatnya ingin memajukan daerah terutama memajukan dan memodernisasi Pematang Raya dan sekitarnya yang merupakan pusat pemerintahann. Seharusnya langkah yang diambil JR untuk memajukan dan memodernkan Pematang Raya dan sekitarnya adalah melalui proses modernisasi bertahap atau secara evolusi dan bukan secara revolusioner.

Kalau hanya sekedar ingin memodernisaskan daerah, bukan bandara yang dibangun. Bangunlah dulu pundasi menuju arah modernisasi. Banyak potensi daerah yang harus dimodernisasikannya lebih dahulu. Salah satunya cangkul digantikan dulu dengan traktor dan jetor. Itu kalau mau modern !

Mungkin sebelum membangun bandara JR buat pilihan dulu, Pilih Bandara atau Cangkul...! Eh.... ternyata antara kedua pilihan itu yang dipilih JR adalah bandara, makanya yang dibangunnya terlebih dahulu bandara. Rupanya pilihan Pak JR salah besar.... Sorri... Pak JR, seharusnya bukan bangun bandara Pak......!!!

Ditulis 25 Juni 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA