Rabu, 25 Februari 2009

* INDAHNYA JIKA HUKUM BERLAKU ADIL ( A r t i k e l )

INDAHNYA JIKA HUKUM BERLAKU ADIL

Oleh : M. Alinapiah Simbolon. SH


Bisakah hukum berlaku adil ? Sebuah pertanyaan yang sederhana namun membingungkan, dan untuk kondisi terkini sulit untuk memberikan jawaban pasti atas pertanyaan itu. Yang pasti secara konseptual, pada prinsipnya hukum tercipta dan diciptakan adalah untuk memberikan rasa adil, sejatinya rasa adil buat semua lini kehidupan, meskipun banyak yang dirundung rasa pesimis dan menunjukkan sikap apatis, mungkin substansi dari tujuan hukum itu masih jadi pegangan bagi para pengharap tegaknya hukum dibumi Indonesia ini.. Muncul kembali pertanyaan mengapa sulit memberikan jawaban pasti atas pertanyaan diatas ? Jawabannya sudah memang pasti sulit, sebab hukum bukanlah hanya sebatas kitab yang tertulis yang secara otomatis bisa mengatur dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, tapi hukum dapat bergerak untuk mengatur dan memberikan rasa keadilan ditentukan oleh tangan-tangan kompeten yang dihunjuk oleh hukum itu sendiri., dan tangan-tangan yang dihunjuk oleh hukum itu tentunya para aparat penegak hukum.

Lalu bagaimana dengan kiprah aparat penegak hukum di Republik kita ini, polisi jaksa. KPK. hakim dan para pengacara, yang secara juridis formil memiliki kompetensi di panggung penegakan hukum, apakah sudah mampu menunjukkan taji dan kepiawaiannya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, tentu semua itu terpulang kepada penilaian, yaitu penilaian atas kinerja mereka para pendekar hukum dan penegak keadilan itu sendiri dan penilaian atas kondisi dan wajah penegakan hukum yang masih terlihat sampai sekarang ini..

Mungkin sebagian besar rakyat bangsa ini sepakat bahwa kondisi penegakan hukum kita masih terlihat prihatin dan menyedihkan. Wajah hukum kita masih menampakan raut kemunafikan dan lebih kerap terlihat murung karena ternoda oleh goresan ataupun noktah ketidakadilan. Sering kita mendengar dan membaca informasi tentang kiprah aparat penegak hukum negeri ini yang membiaskan refleksi kekecewaan kepada masyarakat, terlebih dalam penanganan berbagai kasus, terutama kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan konglomerat sebagai pelakunya, apalagi kalau pelakunya itu adalah si kerah putih ataupun penjahat berdasi yang memiliki pengaruh dan akses kuat dengan kekuasaan. Polisi. Jaksa dan KPK pun kadang tak berdaya ataupun pura-pura tak berdaya alias tak memberdayakan diri ketika berhadapan dengan kasus yang aktor pelakunya orang yang berakses seperti itu. Jangankan dalam penanganan kasus korupsi, diranah kasus kejahatan pidana biasapun kadang para penegak hukum itu kerap tak berdaya ataupun tak memberdayakan diri ketika pelakunya adalah orang yang memiliki akses ataupun pengaruh kekuasaan dan uang.

Selanjutnya kalaupun Kasus-kasus demikian masuk kewilayah pengadilan terkadang hakim pun kerap juga berposisi seolah tak berdaya ataupun berpura-pura tak berdaya, dengan cara dan gaya layaknya terlihat sangat elegan, dan seolah-olah sudah sesuai pertimbangan hukum dan rasa keadilan dan perasaan hukumnya, para penegak hukum berjubah hitam itu pun kerap memberikan vonis atau putusan kontroversial yang sangat menyakiti rasa keadilan, lihat aja bagaimana pembalak hutan kelas kakap sepertyi Adelin Lis bisa divonis bebas, keluar tahanan dan langsung kabur ataupun vonis bebas terhadap Mudhdi PR Terdakwa Pembunuh Munir Aktivis HAM, yang terkesan memutus mata rantai pengusutan dalang utama pembunuhnya.

Para advokad atau pengacara pun kini tidak lagi fokus mengandalkan kepiawaiannya bermain pasal dan argumentasi hukum, atau mencari kelemahaan melalui celah hukum untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya, orientasi pembelaannya terkadang sudah berfriksi kearah yang sifatnya bernuansa lobbi dan pendekatan diluar logika prinsip penegakan hukum itu sendiri, malah advokad sepiawai dan setenar nama Todung Mulia Lubis pun tanpa rasa malu mampu berprilaku ganda, disatu sisi dia dihunjuk dan dipercaya negara melakukan audit terhadap kekayaaan Konglomerat Anthoni Salim yang diserahkan kepada Negara karena terkait Kasus BLBI, dan didalam auditnya pun Todung Mulya Lubis pula yang menguraikan adanya penyimpangan, tapi ketika hasil audit itu digugat oleh Anthoni Salim justru Todung Mulya Lubis pula yang jadi pembelanya, aneh bin ajaib memang peran yang dilakoni pendekar hukum seperti Todung Mulia.

Banyak sekali deretan contoh penanganan kasus hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang kalau dipaparkan pasti sangat panjang, seperti penanganan kasus di Kepolisian dan Kejaksaan yang nyata-nyata telah mencoreng wajah hukum di republik ini, apalagi yang menyangkut penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan konglomerat nasional maupun lokal. Citra Lembaga Kepolisian sangat terpuruk karena dicap sebagai Lembaga yang terkorup Nomor wahid di negeri ini berdasarkan hasil survey Transparency International Indonesia (TTI) akhir 2008 lalu, dan dari hasil survey tersebut, ditubuh lembaga penegakan hukum itu tingkat praktek suap terutama dalam hal penanganan kasus, sangat tinggi mencapai indeks 48 %. Lalu masih segar pula dalam ingatan kita bagaimana terpuruknya nama baik Lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia paskah tertangkap tangan nya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima suap sebesar 6 miliar rupiah dari Artalyta Suryani (Ayin) orang suruhan Konglomerat Syamsul Nursalim pemegang kendali saham BDNI yang sampai saat ini masih buron karena terlibat sebagai pelaku Kasus Korupsi BLBI II. Terlepas apakah Jaksa Urip bermain sendiri atau tidak, yang jelas Lembaga Kejaksaan melalui tangan Jaksa Urip sebagai Ketua Tim penyelidik Kasus BLBI II sudah tidak lagi bertindak sebagai Jaksa Penyelidik tapi sudah lebih-lebih ibarat Tim Pembela, yang karena pengaruh uang miliyaran rupiah kemudian menjual hukum dengan merekomendasikan Kasus BLBI itu menjadi perkara perdata untuk tujuan menyelamatan seorang koruptor dari jeratan hukuman pidana. Lalu dalam hal buronnya Syamsul Nursalim, juga tetap menjadi tanda tanya besar sampai sekarang, apakah sang penjamin sekaliber Adnan Buyung Nasution yang dikenal Advokat dan Pengacara senior dan kondang bahkan telah dipercaya menjadi Watimpres pun, memang tak berdaya atau pura-pura tak berdaya dengan apa yang telah dijaminnya sehingga orang yang dijaminnya bisa kabur dengan membawa triliunan rupiah uang negara.

Masih di lingkungan Kejaksaan, betapa mirisnya kita mendengar tentang ketidakberdayaan Kejaksaaan Agung menghadapi Jusril Ihza Mahendra dan Konglomerat Hartono Tanoesoedibjo yang diduga otak pelaku Kasus Korupsi Sisminbakum, bahkan tak berani bertindak lebih jauh untuk mengungkap keterlibatan Harry Tanoesoedibjo (adik kandung Hartono Tanoesoedibjo) yang kini dikenal sebagai konglomerat papan atas yang berpengaruh sekaligus pemilik beberapa Stasiun TV Swasta dan media cetak yang tergabung dalam bendera MNC. Anehnya, Kejaksaan Agung dalam menghadapi kasus korupsi besar lainnya lagi-lagi menampakkan ketidakberdayaannya sebagai penyelidik dan penyidik, dengan sangat gampang dan gamblang seolah tak ada beban baru-baru ini Jaksa Agung Hendarman Supandji meng SP 3 kan Kasus Penjualan 2 Kapal Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik PT Pertamina, dengan alasan tidak ada kerugian Negara meskipun sebenarnya diakui adanya unsur perbuatan melawan hukum. Anehnya lagi, Hendarman Supandji saat masih menjabat Jampidsus begitu getol mengusut Kasus yang melibatkan petinggi PT. Pertamina dan Mantan Meneg BUMN Laksamana Sukardi itu, tapi setelah jadi Kajagung kenapa kegetolan Hendarman Supandji berhenti dengan cara mengeluarkan SP 3 padahal banyak kalangan menilai Kejaksaan belum maksimal menyelidiki kasus tersebut. Ada apakah sebenarnya dibalik semua ini dan bagaimana pula selanjutnya nasib kasus-kasus korupsi besar lainnya yang melibatkan fihak atau perusahaan asing seperti kasuus VLCC itu, ataupun kasus kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan konglomerat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awalnya kurang bergereget. Sejak dibawah komando Antasai Azhar memang terlihat sedikit memberi harapan melalui kiprahnya yang sedikit membuat ciut nyali para koruptor kelas kakap. Ternyata dibalik keberhasilan KPK menangkap tangan beberapa pejabat yang sedang berkorupsi (suap-menyuap) ria, ternyata KPK masih bersikap tebang pilih menangani beberapa kasus korupsi. KPK Tak bernyali mengusut lebih dalam dugaan keterlibatan Menteri Kehutanan MS Kaban menerima suap sebesar Rp. 1 Milyar dari Sekda Kabupaten Bintan Azirwan setelah terungkap saat berlangsungnya persidangan kasus pengalihan hutan lindung Bintan di pengadilan Tipikor dengan terdakwa Anggota DPR Al Amin Nasution dan Azirwan sendiri.

Sebulan kemudian lagi-lagi borok Menteri Kehutanan MS Kaban terungkap sebagai penerima suap berdasarkan pengakuan Hamka Yandhu selaku Terdakwa Kasus Aliran Dana BI ke DPR pada persidangan Kasus tersebut di Pengadilan Tipikor. Dan kali ini turut pula terseret Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Paskah Suzetta, kedua Menteri Kabinet SBY itu ikut menerima Aliran Dana BI sewaktu masih menjadi Anggota DPR. Namun sikap KPK kembali memperlihatkan ketidakberdayaannya untuk mengungkap dan mengusut fakta yang terungkap dari persidangan Tipikor tersebut, padahal sebagaimana Kasus Pengalihan Hutan Bintan, kasus Aliran Dana BI tersebut juga adalah gawean atau hasil pengusutan KPK. Mungkin banyak juga berpikir dan bertanya kenapa KPK berani melakukan Penahanan Aulia Pohan yang juga terlibat Kasus Aliran Dana BI dan kini masih dalam proses persidangan, padahal dia itu besannya Presiden SBY, Jawabannya juga bisa berupa pertanyaan kenapa begitu lama Aulia Pohan baru bisa ditahan oleh KPK, kenapa tidak dari awal, padahal dari awal bukti keterlibatannya sangat jelas. Banyak juga kalangan menilai penahan Aulia Pohan kental nuansa politisnya, bahkan ada yang berani berpendapat telah terjadi kompromi dengan hitung-hitungan politis sehingga terjadi penahanan itu, barangkali dengan tujuan menjaga reputasi SBY selaku Presiden, mungkin pertimbangan persoalan pencitraan sosok SBY yang katanya komit melakukan penagakan hukum, ataupun barangkali bisa saja menjadi modal untuk dijadikan isu yang menarik simpati menjelang suksesi yang tinggal satu tahun lagi.

Melihat beberapa contoh seperti yang dipaparkan diatas serta melihat kondisi penegakan hukum hingga detik ini, mungkin sikap pesimis dan apatis akan tetap menjadi awan mendung yang menyelimuti dunia penegakan hukum kita. Wajah hukum kita akan tetap terlihat suram akibat tak tersinari oleh cahaya keadilan, karena cahaya keadilan yang diharapkan terkadang selalu dihalangi oleh kekuatan yang sangat dahsyat yang didalamnya ada energi kekuasaan, pengaruh uang dan pengaruh yang bersifat politis . Sampai kapan ini berlangsung, sulit untuk memastikannya, kalau kita ber estimasi dengan mengatakan hukum dapat memberi rasa keadilan jika para aparat penegak hukum tidak lagi bergeming dan tidak lagi terpengaruh oleh kekuatan apapun, tentu sampai kapan kita menunggu aparat penegak hukum di republik ini jadi malaikat yang tidak bisa terpengaruh oleh siapa dan apapun, lalu kalau kita ber estimasi lagi dengan mengatakan hukum baru dapat memberi rasa keadilan jika pemegang tampuk kekuasan negara komit mendukung penegakan hukum, tentu juga kita ingin melihat kapan dan pernahkah pemegang pucuk kekuasaan menjalankan komitmennya mendukung penegakan hukum dan kapan pula bisa tidak intervensi sama sekali terhadap proses penegakan hukum, ataupun kapan tidak melindungi keluarga dan kroninya ketika terlibat pelanggaran hukum.

Kitab hukum yang mempunyai konsep mulia untuk memberikan rasa keadilan, tampaknya masih akan tetap sebatas kitab hukum yang terdiri dari bab-bab, pasal-pasal dan ayat-ayat yang hanya berlaku dan diberlakukan ketika hukum itu tidak berhadapan dengan kekuatan dahsyat tadi, misalnya kepada para pelanggar hukum kelas terilah, atau kalaupun berhadapan dengan pelanggar hukum yang meski memiliki kekuatan tapi kekuatannya tidak bisa berpengaruh. Mungkin sampai saat ini kita hanya sebatas bisa berharap, paling tidak tetap bersabar untuk terus berharap, dan yang pasti mungkin sampai saat ini kita hanya bisa mengkhayal dan membayangkan sembari berguman ataupun berkata dalam hati “ Oh…..Alangkah Indahnya Jika Hukum Berlaku Adil “, dan hanya sebatas itulah barangkali.

Penulis adalah

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

dan Vocal Point Institute for Judicial Monitoring

Siantar- Simalungun



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA