Selasa, 28 Januari 2014

Julukan Reformis Tak (Lagi) Pantas Disandang Amin Rais


Julukan Reformis
Tak (Lagi) Pantas Disandang Amin Rais

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Dulunya kepiawaian Amin Rais dalam berpolitik tak perlu disangsikan. Dia dijuluki Bapak Reformasi karena turun langsung mendukung aksi mahasiswa ketika bergulirnya tuntutuan reformasi. Setelah reformasi berhasil, dan Pemerintahan Orde Baru dibawah kekuasaan Suharto runtuh, Amin pun mendirikan Partai Amanat Nasinal (PAN), dia pun memimpin partai bentukannya itu dengan jabatan Ketua Umum. Di Pemiu 1999 sebagai partai baru PAN masuk kategori partai menengah. Hebatnya lagi, karena kepiawaiannya Amin Rais berhasil menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), meskipun suara PAN di Pileg 1999 hanya 7,4 persen (34 kursi DPR).

Pada Pilpres 2014 yang merupakan Pilpres yang secara langsung untuk pertama kalinya, Amin Rais berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo, maju sebagai capres. Sayangnya Amin Rais takluk di putaran pertama. Pasca gagal di pilpres, Amin Rais tampak tak berambisi lagi berlama-lama berkutat di jalur kekuasaan. Terbukti Amin Rais tak lagi berambisi menancapkan cengkramannya di Partai Amanat Nasional (PAN). Dia mengambil keputusan cukup satu periode memimpin PAN, walaupun saat itu, jika dia berkeinginan melanjutkan tampuk kepemimpinannya di PAN dipastikan tak ada yang berani menghadang. Saat itu penulis menilai sosok Amin Rais memang pantas dijuluki sebagai seorang Reformis. Dengan tak melanjutkan kekuasaannya di PAN, Amin Rais menunjukkan dirinya sebagai sosok yang tak ambisius, dan tak kemaruk kekuasaan.

Sutrisno Bachir yang dielusnya berhasil terpilih Ketua Umum PAN, dan Amin Rais pun berposisi sebagai sesepuh dengan jabatan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional. Jabatan itu pun tetap dipegangnya setelah kepemimpinan Sutrisno Bachir beralih ke Hatta Radjasa, sebab nama besar Amin masih dianggap sangat diperlukan untuk tetap menjaga eksistensi PAN.

Sejak tak lagi memimpin PAN, nama Amin Rais sesekali muncul ke permukaan, Komentar-komentar  Amin Rais selaku tokoh yang dijuluki reformis jarang terdengar. Dalam posisi demikian penulis dan mungkin banyak kalangan semakin salut dengan sikap Amin Rais yang tak meneruskan kiprahnya mengejar kekuasaan. Dengan memposisikan diri demikian Amin pun menjadi tokoh yang disegani dan dianggap benar-benar seorang negarawan, dan julukan tokoh reformis pun tetap melekat pada sosok mantan Ketua MPR tersebut.

Eksistensi ketokohan dan kenegarawan Amin Rais mulai terusik. sejak dia menyerang secara membabi buta menjelekkan sosok Jokowi  menjelang putaran kedua Pilgub DKI Jakarta. Setelah putaran pertama Pilgub DKI,  Amin Rais yang berpihak kepada Pasangan Foke-Nara (karena PAN mengalihkan dukugannya kepada pasangan incumbent), mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengejutkan. Dia menyerang pasangan Jokowi_Ahok dengan memojokkan Jokowi yang notabene lawan pasangan Foke-Nara di putaran kedua Pilgub DKI. Jokowi dituding Amin sebagai walikota gagal. Amin Rais mengganggap predikat Jokowi sebagai salah satu walikota terbaik di dunia terlalu berlebihan dan menyesatkan. Selama Jokowi menjabat Walikota Solo, angka kemiskinan di kota Solo naik cukup tajam.

Sikap Amin Rais yang menjelekkan Jokowi dan dianggap sebagai kampanye hitam, sangat bertolak belakang dengan kredibilitas Amin Rais yang selama ini dinilai sebagai politisi yang cerdas dan sebagai seorang reformis.  Lalu kekalahan Foke-Nara, telah mengorbankan kredibilitas Amin Rais sebagai seroang negarawan dan sosok yang reformis, sebab lantang suara Amin Rais yang menjelekkan Jokowi, ternyata tak efektif mempengaruhi rakyat Jakarta untuk tidak memilih pasangan Jokowi-Ahok, dan juga tak juga berhasil mempengaruhi rakyat Jakarta untuk menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Foke-Nara. Justru ada pemikiran serangan Amin Rais terhadap Jokowi justru jadi bumerang.  Rakyat jadi tak simpati dengan Amin Rais sehingga juga berimbas jadi tak menyukai dan tak memilih Foke-Nara.

Kekalahan pasangan pasangan Foke-Nara yang didukung Amin Rais, ternyata tak menyadarkan Amin Rais. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah tersebut, semakin intens menyerang Jokowi. Dikatakannya kemenangan pasangan Jokowi-Ahok akan mengancam iklim demokrasi di Jakarta. Sebab menurutnya Ahok didukung pebisnis (tanpa menyebut etnis). Barisan pebisnis yang berada di belakang pasangan Jokowi-Ahok sangat berpotensi mencaplok kekuatan politik. “Saya terus terang sangat khawatir, perkimpoian politik dan bisnis ini bisa mengancam demokrasi dan kontraproduktif dengan kepentingan rakyat,” ujar Amin Rais saat itu pada acara Rakerda DPD PAN Solo.

Ditegaskannya, kemenangan Jokowi-Ahok tidak akan membawa perubahan apapun buat DKI Jakarta. Dia bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, maka kekuatan ekonomi kecil di Jakarta akan semakin tergilas dengan kekuatan ekonomi besar yang berada di rangkaian gerbong Ahok (pebisnis yang berada di belakang Ahok). Tak hanya itu, Amin Rais mengindikasikan kekalahan pasangan Foke-Nara karena pasangan Jokowi Ahok telah membayar pers. Dia tak mengakui kemenangan Jokowi Ahok sebagai kemenangan Rakyat. Dia mengatakan salah satu faktor kemenangan Jokowi Ahok karena bisa mengendalikan media massa.

Serangan Amin Rais, menyikapi kemenangan Jokowi Ahok,  terkesan tanpa alasan faktual alias gelap mata. Apa yang ditudingkannya terkesan berdasarkan asumsi akal-akalan dan asal-asalan, Intinya asumsi dan tudingan yang terlontar dari mulut Amin Rais menggambarkan sosok Amin Rais tak lagi sinkron dengan predikatnya sebagai tokoh  yang reformis dan politisi yang cerdas. Asumsi dan tudingannya juga sangat tak selaras dengan predikat akademis yang disandangnya yaitu seorang yang bergelar Profesor Doktor dan berbagai gelar akademis lainnya.

Entah karena sudah semakin tua sehingga mulai pikun ataupun mungkin ada unsur dendam, Amin Rais tampaknya tetap konsisten menyerang sosok Jokowi. Amin seolah tak peduli kredibilitas dan citranya memudar, Amin Rais juga tak peduli asumsi dan tudingan yang dialamatkan kepada Jokowi saat baru terpilih Gubernur DKI ternyata tidak terbukti. Setahun kepemimpinan Jokowi-Ahok,  Amin Rais kembali melakukan serangan terhadap sosok Jokowi, dan serangannya itu terkait karena banyaknya dukungan yang menginginkan Jokowi jadi calon presiden (Capres).

Tetap dengan pertimbangan tak mendasar, Amin meragukan Jokowi punya komitmen nasionalisme yang kuat, kendati Jokowi.berasal dari partai nasionalis. Amin menilai Jokowi bisa saja seperti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden. Kebijakan Megawati yang menjual saham PT Indosat ke pihak asing dan pembebasan utang pengusaha hitam, merupakan kebijakan yang berlawanan dengan semangat nasionalisme. Amin juga menilai kelompok politik Islam belum tentu mau berkoalisi dengan Jokowi jika dia mencalonkan jadi presiden. (pernyatan ini sempat membingungkan karena sebelumnya Amin Rais pernah mewacanakan menggadang kemungkinan duet Jokowi dengan Hatta Rajasa)

Tak berapa lama setelah itu, penjelekan terhadap sosok Jokowi kembali terlontar dan bergema.  Penilaian Amin Rais terhadap Jokowi tetap terkesan akal-akalan dan asal-asalan dan juga tekesan menilai dari sudut pandang yang sempit. Dia menyamakan Jokowi seperti mantan Presiden Filipina  Joseph Estrada. Jokowi dan Estrada menurutnya dipilih rakyat karena popular, kendati dikatakan Jokowi tak separah Estrada.  Setelah itu masih ada sejumlah pernyataan Amin Rais kerap menyindir Jokowi. Belakangan saat terjadinya banjir Jakarta, juga dimanfaatkan Amin Rais untuk mendiskreditkan Jokowi. Dia meminta agar Jokowi meminta maaf kepada warga Jakarta karena Jokowi belum bisa mengatasi banjir.

Disadari Amin Rais atau tidak, serangannya terhadap Jokowi, justru menambah terpicunya kebencian publik terhadapnya. Minimal publik yang senang dengan sosok Jokowi dan jumlahnya sangat signifikan (yang kemungkinan juga sebagaian besar pada awalnya simpati dengan Amin Rais), akhirnya berubah pikiran jadi hilang simpati dengan sosok Amin Rais.

Sebagai seorang yang dianggap reformis, cerdas dan punya latar belakang akademis dengan berbagai gelar tingkat tinggi, Amin Rais tak pantas melakukan serangan dengan cara-cara kontroversial terhadap Jokowi. Seorang Amin Rais yang beratribut Profesor Doktor, dan berbagai gelar akademis lainnya, menurut penulis sangat tak pantas melakukan serangan dengan asumsi dan tudingan yang terlalu dangkal terhadap kepemimpinan Jokowi baik saat sebagai Walikota Solo maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Penilaian Amin Rais bahwa Jokowi bukan sosok pemimpin yang berhasil, adalah penilaian dari kalangan minoritas,  di tengah banyak kalangan yang menganggap Jokowi sebagai pemimpin yang berhasil. Ditambah lagi ada kesan rasa kebencian yang ditunjukkan Amin Rais dibalik serangannya terhadap Jokowi. Soalnya sejak berkoar kembali, fokus yang menjadi objek kritikan Amin Rais hanya seputar sosok Jokowi, Sementara sebagai sosok yang dikenal kritis, berbagai persoalan bangsa termasuk soal kepemimpinan SBY yang diwarnai banyaknya kasus korupsi nyaris tak pernah disikapinya. Dalam hal ini penulis menilai kebencian Amin Rais terhadap Jokowi, membuat Amin Rais mengabaikan atau tak mengakui fakta dan realita soal kepemimpinan Jokowi yang memang membawa perubahan. 

Sebagai sosok yang reformis dan cerdas dan berlatar belakang akademisi, jika berasumsi seharusnya Amin Rais, bukan berposisi kontra (bermusuhan) dengan Jokowi. Jika pun mengkritik seharusnya tidak tendensius. Sosok dan gaya kepemimpinan Jokowi yang dikenal merakyat merupakan substansi dari nilai-nilai reformasi (pembaharuan). Komitmen kepemimpinan Jokowi yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat adalah merupakan cita-cita murni reformasi. Lalu sikap kontradiktif yang berkali-kali dipertontonkan Amin Rais terhadap kepemimpinan Jokowi, merupakan pengangkangan terhadap perbuatan Jokowi yang sangat kental nilai reformasinya. Jelas, apa yang telah diperbuat Amin Rais terhadap Jokowi, dipastikan sangat tak pantas dilakukan oleh sosok yang sebelumnya dikenal berpredikat reformis.

Dengan demikian, menurut penulis  julukan reformis tak (lagi) pantas disandang oleh seorang Amin Rais.  Sikap yang dibuatnya, membuat sosok Amin Rais turun level. Jujur penulis katakan saat ini Amin Rais tak ubahnya (sudah persis) seperti Ruhut Sitompul alias selevel dengan  si orang yang berjuluk si Poltak tersebut. Keduanya nyaris sama terutama dalam hal menyerang Jokowi. Jika dibandingkan dengan Amin Rais termasuk dengan Ruhut, Jokowi ternyata jauh lebih elegan dan jauh lebih dewasa dalam berpolitik, Soalnya serangan dari kedua politisi tersebut tak pernah direspon secara emosional oleh Jokowi. Hebatnya, di tengah banyaknya kalangan yang membela Jokowi dari berbagai serangan, malah Jokowi sendiri tak meladeninya, dan justru serangan dan  penjelekan terhadapnya sebagai kritikan yang positif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA