Presiden Cengeng
Oleh : M Alinapiah Simbolon
Susilo Bambang Yudhono (SBY) kerap mengisukan dan mengenduskan adanya
upaya mengkudeta (upaya penggulingan) dirinya sebagai presiden, ketika menanggapi adanya aksi dan sorotan terhadap dirinya dan kepemimpinannya. Sikap demikian juga dipertontonkan SBY terkait rencana
unjuk rasa besar-besaran pada tanggal 25 Maret 2013. Sikap yang tak patut dilakukan oleh sesorang yang berkapasitas sebagai presiden.
Sebagai sosok presiden, yang punya latar belakang militer dengan pangkat Jenderal TNI bintang empat alias Jenderal penuh, terlampau dini SBY menyimpulkan demikian. Seharusnya SBY bisa menilai dari kacamata militer bahwa yang punya kemampuan melakukan kudeta adalah yang punya senjata (militer), dan bukan aksi unjuk rasa yang dilakukan para social society, termasuk para aktivis. SBY juga harus bisa menilai kalaupun ada gerakan yang mendesak presiden turun dari jabatannya itu hanya gerakan moral dan tak termasuk sebagai tindakan kategori kudeta.
Sebagai sosok presiden, yang punya latar belakang militer dengan pangkat Jenderal TNI bintang empat alias Jenderal penuh, terlampau dini SBY menyimpulkan demikian. Seharusnya SBY bisa menilai dari kacamata militer bahwa yang punya kemampuan melakukan kudeta adalah yang punya senjata (militer), dan bukan aksi unjuk rasa yang dilakukan para social society, termasuk para aktivis. SBY juga harus bisa menilai kalaupun ada gerakan yang mendesak presiden turun dari jabatannya itu hanya gerakan moral dan tak termasuk sebagai tindakan kategori kudeta.
Sebagai
seorang militer tulen, SBY setidaknya punya takaran penilaian dalam menilai dan
menyikapi segala sesuatu aksi yang bersifat mengkritisi dirinya dan kepemimpinannya, termasuk menilai rencana
unjuk rasa tanggal 25 Maret. Setidaknya SBY punya institusi yang mampu menilai
aksi tersebut berpotensi kudeta atau tidak. Kalau dilihat dari kacamata militer
aksi besar-besaran yang dilakukan Majelis Kedaulatan Republik Indonesia (MARI)
pimpinan Ratna Sarumpaet tersebut, sangat tak berpotensi untuk melakukan
kudeta, kendati rencana aksi unjuk rasa para aktivis tersebut menuntut SBY
turun dari jabatannya sebagai presiden. Dan tak adanya potensi kudeta sudah dicetuskan
banyak kalangan termasuk dari kalangan mantan petinggi militer. Bahkan berbagai
pihak di pemerintahan sekarang ini baik dari militer maupun kepolisian telah menggaransi
bahwa aksi tersebut tidak akan mengarah kepada tindakan kudeta.
Wajar
jika sikap SBY itu dianggap berlebihan, bahkan dianggap banyak kalangan kalau SBY
berhalusinasi, serta memiliki kekhawatiran yang berlebihan, sehingga SBY harus
mengundang mantan petinggi militer, dengan tujuan kepemimpinannya tetap
mendapat dukungan. Malah ada kalangan yang menganggap SBY paranoid karena
ketakutan akan kudeta. Akibat sikapnya itu, tak salah jika kemudian timbul
kesan bahwa SBY terbukti tak punya kemampuan sebagai seorang pemimpin. Tak
hanya itu, SBY juga selalu menunjukkan sikap galau dan curhat saat kritikan dan
sorotan datang bertubi-tubi menerpa dirinya dan kepemimpinannnya. Sampai-sampai
sentilan sebagai presiden galau dan
presiden curhat pun acapkali diarahkan kepada SBY.
Sikap
SBY seperti ini, tak hanya baru kali ini terjadi. Masih segar dalam ingatan
beberapa waktu lalu SBY juga begitu gampang menyimpulkan bahwa kondisi
perpolitikan rentan membuat goncangan terhadap pemerintah, dan ada upaya
kelompok tertentu untuk membuat gonjang-ganjing terhadap pemerintahan, sehingga
dia meminta kepada elit-elit politik dan kelompok tertentu agar jangan keluar
dari demokrasi. Dan itu tercetus saat hangatnya serangan Anas terhadap SBY dan
Partai Demokrat, serta banyaknya dukungan lintas tokoh dan lintas partai kepada
Anas. Tak hanya itu jauh sebelumnya,
tepatnya saat menjelang unjuk rasa
besar-besaran untuk memperingati Hari Anti Korupsi tanggal 9 Desember 2009. SBY
saat itu juga terlihat galau dan khawatir, dan sampai-sampai mengenduskan ke publik,
bahwa dia mensinyalir adanya gerakan yang tidak hanya gerakan moral anti
korupsi, tetapi telah disusupi motif-motif politik untuk menggulingkan dirinya.
Meskipun akhirnya isu tersebut jauh dari yang apa yang dienduskan SBY.
Kekhawatiran
SBY sebenarnya adalah bentuk dari ketidak mampuan SBY menyikapi kondisi politik
di negeri ini. Sebagai seorang Jenderal TNI purnawiraan, SBY tak seharusnya
merefleksikan setiap adanya gerakan yang mengkritisi dan menyoroti dirinya
maupun kepemimpinannya, dengan cara mendramatisir keadaan dan menyebut adanya
upaya kudeta terhadap dirinya, ataupun istilah lain yang mengarah kepada
penggulingan terhadap dirinya. SBY dalam menyampaikan sikapnya, juga terkesan seperti
mengungkapkan curahan hatinya (curhat), dan itu terkesan disengaja agar terilis
oleh media dengan tujuan untuk konsumsi publik. Memang SBY tak sampai
menitikkan air mata ketika mengungkapkan curahan hatinya, tapi sebagai seorang
presiden, cara yang dibuat SBY sampai harus menunjukkan kegalauan dan sampai
harus curhat, layak SBY dapat sentilan sebagai Presiden Cengeng.
Sikap
SBY tersebut, memang bisa saja trik politik SBY dengan tujuan politis, seperti sengaja
menimbulkan kekhawatiran publik bahwa tindakan kudeta sangat berbahaya terhadap
keamanan dan keteriban masyarakat, sehingga aksi unjuk rasa ataupun
gonjang-ganjing serta sorotan terhadap SBY dan pemerintahannya tak mendapat
dukungan rakyat. Ataupun bisa saja isu kudeta yang dienduskan SBY adalah trik untuk
pengalihan isu terhadap banyaknya sorotan negatif terhadap SBY dan kepemimpinanannya,
termasuk juga sorotan terhadap Partai Demokrat, dan sejumlah elitnya yang
terlibat korupsi, khususnya sorotan
terhadap putra bungsunya Edhi Baskoro Yudhoyono (Sekjen Partai Demokrat) yang
ditenggarai terlibat menerima uang dari proyek Hambalang, sehingga isu seputar
kudeta jadi polemik. Kalaupun itu tujuan SBY sehingga bersikap seperti itu, SBY
tetap layak disebut sebagai Presiden Cengeng, karena hanya mampu membuat trik politik
murahan yang gampang terbaca oleh publik, serta harus bersikap cengeng hanya
untuk sekedar mengalihkan isu. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar