Politik
Dinasti di Parpol Berlabel Demokrasi
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Belakangan
mencuat polemik terkait masalah politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada), dan itu sehubungan dengan pembahasan RUU Pilkada yang didalam RUU
tersebut diusulkan pemerintah bahwa kerabat kepala daerah baik gubernur maupun
bupati/walikota tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pro
dan kontra pun muncul menyikapi usulan dalam RUU Pilkada tersebut, baik terjadi
diluar pembahasan resmi maupun dalam pembahasan di internal DPR RI.
Harus
disadari bahwa politik dinasti yang terjadi di pilkada selama ini,
tak hanya karena UU Pilkada yang memang tak ada melarangnya, juga tak
terlepas dari hasil keputusan politik partai politik, yang memberikan
sertifikat halal bagi kerabat kepala daerah menjadi calon kepala daerah.
Intinya memang sumber terjadinya prakter politik dinastiuntuk pilkada adalah
selain UU Pilkada, adalah partai politik, karena partai politiklah yang punya
otoritas mengusung calon kepala daerah dari kerabat kepala daerah.
Politik
dinasti, sebenarnya paling kental berlangsung di dalam tubuh partai
politik, dan itu membias ke ranah ekternal partai politik, salah satunya dalam
pencalonan kepala daerah. Tak sedikit kerabat elit dan politisi partai
yang diusung menjadi calon kepala daerah. Di lingkungan internal partai
sendiri pun, politik dinasti telah terbangun sejak lama. Modus lain yang
membuka peluang berlangsung politik dinasti dalam pilkada, ketika seorang
kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota berposisi sebagai
pimpinan partai di level daerah, sehingga seorang kepala daerah punya kekuasan
untuk mengusung calon dari kerabatnya. Misalnya, gubernur atau
bupati/walikota yang merangkap ketua partai, akan lebih mempemulus
kerabatnya jadi calon kepala daerah, melalui jalur partai yang dipimpin sang
gubernur atau bupati/walikota tersebut. Maka tak heran dalam satu propinsi ada
sejumlah kepala daerah bupati/walikota merupakan kerabat gubernurnya. Ataupun
gubernur atau bupati/walikota terpilih merupakan kerabat gubernur atau
bupati/walikota sebelumya, Serta ada juga di dua daerah berdekatan
bupati/walikota nya merupakan kerabat.
Tradisi
politik dinasti di tubuh partai politik sampai saat ini semakin menggurita.
Sebagian besar parpol termasuk partai politik besar memang tak mengharamkan
berlakunya politik dinasti. Di internal kepengurusan partai politik, juga
mendiskripsikan kentalnya politik dinasti, Itu karena penguasa di partai
politik memang mengkondisikan seperti itu. Maka tak heran ketika parpol
menelurkan calon legislatif maupun calon kepala daerah yang punya hubungan
kekerabatan dengan kekuasaan di parpol.
Yang
menggiriskan, politik dinasti di sejumlah parpol ada yang sudah mengarah ke
gaya kepemimpinan politik monarkhi. Malah itu justru berlangsung di partai
politik yang namanya ada label demokrasi. Salah satunya adalah Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini namanya memang terlekat kata demokrasi, namun nilai-nilai demokrasi
terkesan terkikis di tubuh partai tersebut. Kepemimpinan dan kekuasaan di PDIP
sudah mengarah ke gaya kepemimpinan politik monarkhi.
Di
partai ini, Megawati Sukarnoputri seolah telah terkultuskan bagai Ratu,
karena sejak PDIP diproklamasikan dan sampai sekarang, putri Bung Karno
tersebut belum tergantikan, dan memang terkondisi tak bisa digantikan sebagai
Ketua Umum PDIP, sebelum Megawati yang punya keinginan untuk turun tahkta.
Jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina juga tak tergoyahkan dari genggaman
kekuasan suaminya Taufik Kiemas. Begitu juga putrinya Puan Maharani yang sejak
masih hijau di dunia politik telah diplot sebagai salah satu Ketua DPP PDIP,
dan sebagai putri dari Ratu partai, sudah mulai tampak
dielus-elus dan dipersiapkan suatu saat kelak untuk menggantikan kedudukan
Megawati. Sebab sekarang saja Puan Maharani, sudah terlihat punya
kekuasan berlebih di kepengurusan DPP PDIP, dan para elit PDIP juga
memposisikan dan menganggap Puan Maharani bagai seorang putri kerajaan.
Partai
Demokrat, juga partai berlabel demokrasi, Di partai yang namanya melekat kata demokrat
itu, politik dinasti juga tampak melekat, sejak partai tersebut didirikan,
Ketua Umum pertama Hasil Kongres I Partai Demokrat tahun 2005, dipegang oleh
Hadi Utomo, yang merupakan kerabat dekat SBY (Istri Hadi Utomo merupakan
saudara kandung istri SBY Ibu Ani Yudhoyono). Kongres II Partai Demokrat
tahun 2010, juga menasbihkan putra bungsu SBY yaitu Edi Bhaskoro Yudhoyono
(Ibas), yang saat itu masih hijau di Partai Demokrat dan masih bau kencur di
dunia politik, menjadi Sekretaris Jenderal partai Demokrat, mendampingi Anas
Urbaningrum yang saat itu berhasil terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Sejak
awal kekuasaan di Partai Demokrat memang telah tersentral dan dikondisikan
berada di level Ketua Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina pun sampai sekarang
masih tetap berada di genggaman Susilo Bambang yudhoyono. Selaku pendiri SBY punya
peran penting di partai yang didirikannya tersebut. Selaku Pendiri, Ketua Dewan
Pembina dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Demokrat, SBY memiliki kekuasaan
yang maha dahsyat. SBY punya kewenangan mengambil alih kekuasaan pimpinan
eksekutif partai dari tangan Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Dan itulah
yang terjadi ketika SBY melucuti kewenangan Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum
DPP Partai Demokrat.
Kekuasaan
SBY di Partai Demokrat, bisa dikonotasikan persis kekuasaan pada kepemimpinan
bergaya monarkhi. Kekuasaan SBY secara politis di Partai Demokrat juga tak
terbantahkan begitu besarnya. Hal itu disebabkan figur SBY, memang dari awal
sudah terkultus serta dianggap sebagai pemilik partai dan dianggap laksana Kaisar
di Partai Demokrat. Dari sikap dan performannya yang tenang dan santun, SBY
memang tak tampak sebagai pemimpin otoriter. Namun tak ternafikan kalau figur
SBY lambang kekuasaan di Partai Demokrat, dan para elit Partai Demokrat
yang kebanyakan berprilaku penjilat, kerap berprilaku seperti abdi dalem kerajaan
yang selalu memposisikan SBY bak junjungan mereka.
Kalaupun
akhirnya usulan dalam RUU Pilkada, terkait larangan bagi kerabat kepala daerah
baik gubernur maupun bupati/walikota untuk mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, menjadi peraturan permanen, tak serta merta prakter politik
dinasti akan terhenti. Karena larangan tersebut hanya untuk kerabat kepala
daerah. Bagi kerabat pejabat di DPR dan di DPRD, serta kerabat pejabat di
pemerintahan pusat, bahkan kerabat presiden dan menteri, masih tetap bisa mencalonkan
diri sebagai kepala daerah. Juga politik dinasti untuk pencalonan anggota
legislatif masih akan tetap berlangsung. Dan satu-satunya tempat proses
penggodokannya adalah partai politik. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar