Negeri
Huru Hara, Berpenghuni Para Hura Hura
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Miris
kita mendengar, di negeri yang penghuninya dikenal beradab, berbudaya dan
beragama, kerap menggema kegaduhan. Tak hanya kegaduhan dalam kehidupan
politik, kegaduhan yang melibatkan fisik pun telah menjadi pristiwa panjang
yang seolah tak ada habisnya. Pristiwa huru-hara yang teristilah dengan
nama bentrokan, tawuran, perkelahian antar pelajar, antar mahasiswa, antar
warga, antar suku, antar kelompok, antar organisasi, antar aparat, antar
pelajar dan aparat, antar mahasiswa, antar warga dan aparat dan antar
apapun namanya, telah tertoreh menjadi catatan-catatan kelam perjalanan
kehidupan negeri ini. Dan menjadi fakta, karena setiap hari pristiwa bentrokan
menjadi tayangan pemberitaan di sejumlah telivisi.
Tak
terhitung lagi jumlah nyawa dan harta yang melayang. Bujuran jasad anak manusia
dalam kondisi babak belur, baik yang sekarat maupun yang sudah terenggang
nyawanya, menjadi informasi dan tontonan yang selalu tayang. Warga sipil
versus warga sipil (warga biasa, pelajar, mahasiswa, preman dan kelompok warga
atas nama organisasi, suku dan agama), warga sipil versus aparat bersenjata,
aparat bersenjata versus aparat bersenjata, acap terpublikasi sebagai dua kubu
yang saling bertarung dalam setiap pristiwa bentrokan, dan itu pula yang
menjadi pelaku dan korbannya. Masalah sepele sampai masalah krusial, (akan jadi
catatan panjang bila dipaparkan), merupakan sebab musabab terjadinya pristiwa
bentrokan. Berbagai jenis benda, mulai dari batu, kayu, parang, pedang,
klewang, panah, tombak sampai senjata api rakitan dan pabrikan, kerap
terinventarisir menjadi senjata yang saling menghantam saat terjadinya perang
dua kubu.
Beradab,
berbudaya dan beragama yang terlabel pada manusia yang berpijak di tanah heterogen
ini, seakan tergugat oleh suasana huru hara dari berbagai pristiwa bentrokan.
Disintegrasi pun seakan menjadi ancaman, Miskomunikasi kerap mengganggu proses
interaksional. Disharmonisasi telah menjadi virus dalam pergaulan. Kekrabatan
tampaknya tak lagi kuat mengikat persaudaraan. Bhineka Tunggal Ika seolah hanya
sebatas ikon dan jargon tanpa makna. Rasa perikemanusiaan seakan sirna dari
pikiran dan perasaan.
Ditengah
kondisifitas negeri yang terusik oleh berbagai pristiwa perseteruan,
bagi anak negeri terutama kalangan yang hidup di wilayah urban tak perlu takut
tak ada lagi tempat untuk berpijak ataupun sekedar berdomisili. Tak punya rumah
pun, orang masih bisa bertempat tinggal di wisma yang bernama emperan, kolong
jembatan, pinggir kali atau pinggiran rel keretaapi. Tak punya pekerjaan pun,
masih bisa berpenghasilan dengan berprofesi sebagai pengemis dan gelandangan
dengan menjual jasa tampang belas kasihan.
Pemandangan
biasa, jika di negeri gemah geripah loh jenawi ini, masih banyak
orang yang berjuang keras untuk bisa hidup. Masih saja banyak orang menjual
harga diri untuk sekedar memperpanjang hidup. Dan masih banyak pula orang harus
mengarungi kerasnya kehidupan supaya bisa bertahan hidup.
Pun
menjadi pemandangan jamak, jika di negeri yang dari dulu masih belum berhasil
masuk kategori negara maju ini, banyak orang bisa menikmati hidup seperti
kehidupan di negara maju, dalam gelimang harta dan kemewahan. Gaya metropolis,
pola hidup komsumtif, pergaulan ala liberal, terdominasi dalam kehidupan
kalangan kaum berduit. Lakon hura-hura kaum berduit yang terdiri dari komunitas
pengusaha dan penguasa (pejabat) termasuk keluarganya, berlangsung terus
sepanjang perjalanan waktu. Brankas uang kaum ini seperti tak pernah kosong.
Keuntungan usaha yang berlebih bagi pengusaha, dan uang masuk yang berlimpah
ruah bagi kalangan pejabat atau yang punya kekuasaan, menempatkan mereka dan
keluarganya tetap bisa bertahan hidup dengan bergaya, maupun menempatkan mereka
bisa bergaya dalam mengarungi kehidupan.
Bukan
benci dan antipasti dengan kaum berduit, para peengusaha dan pejabat, namun
terkadang yang membuat hati terenyuh, karena ditengah masih banyaknya rakyat
negeri ini hidup dalam kekurangan, ternyata banyak orang yang dari kalangan
berduit, menganut pola hidup hura-hura. Yang lebih menggiriskan, ketika kita
mendengar ternyata dari kalangan berduit tersebut mendapatkan harta kekayaan,
tak sepenuhnya dari hasil jerih payah usahanya.
Di
negeri ini tak sedikit pengusaha bisa meraup keuntungan besar dalam sekejap,
paling tidak dalam hitungan waktu yang singkat. Pengusaha yang punya nyali dan
berani berspekulasi, menyodorkan uang besar kepada pemangku kekuasaan
birokrasi, maupun kepada penguasa yang bisa mengatur pemangku birokrasi, akan
menjadi pengusaha yang berhasil berhasil meraup keuntungan besar.
Demikian
pula kalangan pejabat yang notabena punya kekuasaan sebagai pembuat kebijakan
dan penguasa birokrasi pemerintahan, termasuk pejabat yang punya wewenang
sebagai pengawas dan pembuat peraturan, serta pejabat yang berwenang melakukan
penegakan hukum, tak sedikit meraup kekayaan via pemanfaatan jabatan dan
kekuasaannya.
Dalam
kondisi tertentu, tak sedikit kalangan pejabat dan pengusaha hidup berdampingan
dalam pola simbiosis mutualisme (saling membutuhkan dan saling
menguntungkan). Pegusaha yang hobi berkongkalikong, pengusaha gemar senang
berspekulasi, pengusaha yang berbisnis illegal selalu menjadi sahabat
terselebung dengan para pejabat yang membuka pintu untuk diajak bersekongkol.
Amplop tebal dari pengusaha seperti ini kerap bersileweran dari bawah meja
pejabat seperti yang demikian. Bahkan sesama pejabat yang berwatak sejenis pun
punya hubungan terselubung, yang kedekatannya juga dilekatkan oleh amplop bawah
tangan.
Tak
heran kalangan pengusaha dan pejabat (termasuk keluarganya) yang demikian, bisa
hidup hura-hura dan penuh gaya. Terlampau gampang meraih limpahan materi
dadakan, itulah salah satu alasannya, kendati limpahan materi itu diraih
melalui proses pekerjaan diluar koridor alias tanpa jerih payah dari usaha dan
jabatan yang sebenarnya.
Belum
lama dan dan saat ini kepada kita masih tetap dihidangkan tontonan dan bacaan,
tentang sejumlah pengusaha dan pejabat, yang terbongkar persengkongkolannya
meraup uang negara yang nota bene uang untuk kepentingan rakyat negeri ini.
Pengusaha yang ditangkap jelas kalangan pengusaha yang berani dan berpengalaman
berspekulasi, sementara pejabat yang ditangkap juga kalangan pejabat yang lihai
mencari rezeki sampingan yang jauh lebih besar dari gaji dan insentifnya
sebagai pejabat, dengan memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan jabatannya.
Masih
segar dalam ingatan kita sejumlah kasus korupsi yang terkuak,nyata-nyata
dilakukan secara bersama antara pengusaha dan pejabat. Sejumlah pejabat
pemerintahan, pejabat wakil rakyat (dan ada pula diantaranya yang berprofesi
ustad), pejabat tingkat tinggi dilembaga penegakan hukum yang berpangkat
jenderal bintang dua, serta pejabat pemegang palu di lembaga yang menjadi
benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, merupakan serentetan pajabat yang
terlibat sebagai pelaku pencuri uang negara. Ironisnya hasil telurusan harga
dari sejumlah pejabat yang terlibat sebagai pelaku extra ordinary crime
(korupsi; kejahatan luar biasa) tersebut mengalokasikan harta curiannya dengan
cara yang terkesan dengan gaya hidup hura-hura. Mobil-mobil mewah dan
rumah-rumah mewah, apartemen dan villa mewah jadi belanjaan, Bahkan ada
pula yang menambah lebih dari satu isteri muda yang cantik rupanya, dan
isteri-isteri mudanya dilengkapi gelimangan kemewahan.dari harta haram yang
dicurinya.
Inilah
deskripsi wajah kehidupan di negeri ini. Kendati negeri berada dalam ancaman
disintegrasi, disharmonisasi serta miskomunikasi, karena hampir setiap hari
diwarnai aneka ragam pristiwa bentrokan diberbagai belahan tempat. Namun
keprihatinan hidup sebagian anak bangsa selalu bisa berdampingan dengan
kehidupan hura-hura sebagian anak bangsa lainnya, dan masing-masing bisa saling
pandang-pandangan. Memang yang berkemewahan, ada yang punya perhatian, dan tak
sedikit diantaranya perhatian karena punya kepentingan, tapi sangat banyak yang
tak punya perasaan dan kepedulian. Miris, melihat wajah negeri ini.
Negeri penuh huru-hara dan di dalamnya masih banyak berpenghuni para manusia
yang hidup penuh hura-hura. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar