Jumat, 03 Mei 2013

Hardiknas, UN dan Ki Hajar Dewantara




Hardiknas, UN dan Ki Hajar Dewantara

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Tanggal 2 Mei merupakan hari bersejarah bagi dunia pendidikan di negeri ini dan diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ditetapkannya 2 Mei sebagai Hardiknas diambil dari tanggal dan bulan kelahiran Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yaitu 2 Mei 1889. Ditetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hardiknas oleh pemerintah pada tahun 1959, setahun setelah Ki Hajar Dewantara meninggal dunia (29 April 1958). Dan dasar pertimbangannya adalah jasa Ki Hajar Dewantara selaku pahlawan nasional dan sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Perguruan Taman Siswa satu-satunya sekolah yang didirikannya pada zaman penjajahan khusus sekolah untuk anak-anak pribumi. Tujuannya sangat mulia yaitu mencerdasakan anak bangsa yang saat itu berada dalam himpitan kekuasaan penjajah. 

Dari tahun ke tahun gelaran peringatan Hardiknas tetap menjadi tradisi rutin, tidak hanya sekedar menjadi agenda kegiatan dalam bentuk perayaan saja, tapi setidaknya peringatan Hardiknas dapat menjadi momentum evaluasi agar pelaku dan penyelenggara pendidikan termotivasi untuk terus berpacu meningkatkan kualitas pendidikan. 

Tampaknya pada tahun 2013 ini, moment Hardiknas berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini Moment Hardiknas laksana tak punya nilai dan serasa tak ada tujuan. Soalnya pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat SMA yang ketepatan jadwalnya berdekatan dengan momentum Hardiknas (tak lama setelah Hardiknas), serta UN yang diharapkan menjadi parameter penilaian dan evaluasi untuk peningkatan pendidikan, tenyata penyelenggaraannya berlangsung dengan kondisi kacau balau. 

Ada 11 propinsi yang tak bisa tertunda melaksanaan UN tingkat SMU (gagal melaksanakan UN sesuai jadwal), yang persoalannya adalah soal dan lembar jawaban UN tak terdisribusikan hingga jadwal pelaksanaan UN. Tak hanya itu, dengan alasan yang sama, masih ada sejumlah kabupaten di propinsi yang melaksanakan UN sesuai jadwal, juga tak bisa melaksankan UN sesuai jadwal. Dan banyak lagi persolan yang terjadi dalam pelaksanaan UN tingkat SMU, yang kesemuanya dipastikan membuat carut marut wajah pendidikan di negeri ini. Memang untuk UN tingkat SMP tak ada lagi propinsi yang gagal melaksankan UN sesuai jadwal, tapi persoalan keterlambatan distribusi soal dan lembaran jawaban ke sejumlah sekolah masih tetap terjadi. 

Terkait bobroknya penyelenggaran UN tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional selaku penyelenggara UN dan selaku penyelenggara dan penanggungjawab pendidikan secara nasional, telah meneteskan noda hitam buat dunia Indonesia. Pastinya tak ada makna untuk peringatan Hardiknas tahun ini. UN dengan segala persoalannya, telah mencoret wajah pendidikan nasional, dan telah membuat posisi  pendidikan di negeri ini jauh mundur kebelakang. Hardiknas tahun ini pun telah dinodai oleh bobroknya penyelenggaraan UN. 

Momen Hardiknas tahun ini hanya bisa membuat kita merenung, yakni merenung yang dibarengi rasa kesal yang mendalam, karena UN yang merupakan agenda pendidikan nasional dan penilaian akhir kualitas pendidikan anak negeri, telah ternoda. Dan ironisnya noda tersebut diteteskan oleh penyelenggara utama dan penanggung jawab pendidikan secara nasional. 

Mohon maaf jika penulis berandai sejenak. Seandainya Ki Hajar Dewantara di alamnya sana mengetahui kondisi pendidikan di negeri ini, mungkin dia sangat bersedih bahkan mungkin akan menitikkan air mata. Mungkin juga dia akan membandingkan kondisi pendidikan saat ini dengan kondisi saat dia masih berjuang memberikan pendidikan kepada anak bangsa saat negeri ini masih dijajah oleh Belanda.
Betapa geram dan kesalnya, seorang Ki Hajar Dewantara seandainya dia bisa melihat dan mendengar dari alamnya sana, ternyata di negeri tempat dia pernah berjuang mencerdaskan anak negeri, kelanjutan penyelenggaraan pendidikannya berlangsung amburadul, padahal penyelengaaraannya telah terkonsep dan terprogram secara nasional, serta diselenggarakan melalui lembaga kenegaraan, dengan fasilitas dan anggaran yang tersedia. 

Seandainya Ki Hajar Dewantara bisa berharap dari alamnya sana, mungkin dia akan berharap kepada pemimpin dan penyelenggara pendidikan di negeri ini, agar mengutamakan penyelenggaraan pendidikan. Mungkin bisa saja dia berkata seperti ini dalam pengharapannya “ Aku dulu berjuang mencerdaskan anak bangsa tanpa failitas tanpa anggaran. Aku dulu berjuang dalam tekanan kekuasaan penjajahan kolonial Belanda, namun aku tak patah semangat memperjuangkan agar anak pribumi bisa sekolah. Aku dulu mendirikan sekolah khusus untuk anak pribumi, agar anak pribumi bisa mengecap pendidikan dan punya ilmu. Sekarang aku berharap kepada pemimpin di negeri yang dulunya negeri tempatku berjuang, agar serius dan bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. Kuharap anggaran pendidikan jangan di korupsi, dan pendidikan jangan dijadikan komoditas politik ! Kepada pemimpin dan penyelenggara pendidikan yang terhormat, renungkanlah kembali prinsip dan makna slogan pendidikan yang kucetuskan dulu dan masih kalian gunakan sampai sekarang yaitu Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani ! (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA