Minggu, 01 November 2009

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Kedua)

Menilik Satu Abad YP Sultan Agung (Bagian Kedua)


Terkenal dengan Sebutan PN SEHATI


Oleh : M. Alinapiah Simbolon. SH


Perbedaan pandangan diantara masyarakat Tionghoa yang telah terbawa ke dalam lingkungan sekolah masih tetap berlangsung meskipun era Penjajahan Jepang telah berakhir dengan masuknya era kemerdekaan.. Puncak perselisihan di lingkungan sekolah terjadi sekitar tahun 1948 sampai dengan 1950. dan pada tahun 1948-1950 terjadi perebutan kekuasaan Kepengurusan dilingkungan sekolah Zhong Hua. Tapi perselisihan itu tidak berlangsung lama, sebab setahun kemudian yaitu pada tahun 1951 Kepemimpinan Chong Hua School kembali dipegang oleh pengurus terdahulu.

Delapan tahun kemudian yaitu pada tahun 1958 terjadilah penggantian Pengurus Yayasan Chong Hua School, dan pengurus yang terpilih antara lain : Si Ping Sin, Huang Yi Chang, Chen Kui Chuan, Si Nan dan beberapa nama lainnya. Namun setelah setahun pergantian kepengurusan yakni pada tahun 1959 Pemerintah mengeluarkan Peraturan bahwa sekolah yang awalnya dibentuk berdasarkan kesukuan terutama sekolah Tionghoa termasuk Chiong Hua School berada dibawah kekuasaan Pengawasan Tentara dan bersamaan itu pula keluar Larangan dari pemerintah bahwa sekolah tidak boleh mengajarkan bahasa Tionghoa. Sehingga saat itu juga Chong Hua School berubah nama menjadi PPS (Panitia Pengawas Sekolah). Kendati telah berganti nama dan berada dibawah pengawasan tentara tapi kendali sekolah tetap berada dibawa pengurus yayasan.

Kondisi dibawah pengawasan tentara terus berjalan sampai dengan terjadinya pergolakan G 30 S PKI tahun 1965. Untuk menghindari penutupan sekolah yang dilakukan oleh pemerintah akibat bias dari Pemberontakan G 30 S PKI, pengurus yayasan saat itu mengutus Kepala Sekolah bernama Sie Chien Fang agar bekerjasama dengan para pendidik dari Medan untuk mengadakan komunikasi dengan pihak Depertemen Pendidikan dan pihak Ketentaraan di Medan.

Upaya yang dilakukan Kepala sekolah Sie Chien Fang dengan bantuan Lae Se Sing dan Siau Jin Hua yang merupakan para pendidik di Medan, akhirnya membuahkan hasil dan Komandan Ketenteraan resmi menjadi Pelindung dan Penasehat Sekolah, sehingga sekolah pun terlepas dari kesulitan. Lalu sejak saat itu sekolah kembali berubah nama dari PPS (Panitia Pengawas Sekolah ) menjadi PN Sehati (Perguruan Nasional Sehati) atau saat itu disebut dengan Sekolah Sehati. Dan Sejak saat itu sebutan nama PN Sehati cukup terkenal dan melekat dihati masyarakat, bahkan sampai saat sekarang ini masih banyak orang terutama dari kalangan orang tua yang menyebut Sultan Agung dengan PN Sehati.

Untuk lebih menguatkan eksistensi PN Sehati, setahun kemudian yakni pada tahun 1966, atas perundingan bersama, pengurus yayasan mengundang beberapa tokoh muda etnis Tionghoa untuk berpartisipasi dalam mengurusi sekolah. Tokoh pemuda yang diundang diantaranya Yao Yong Cien, Se Chi Kuang, Lie Zhi He, Lie Jin Lin, Chang Muli, Cen Se Phei, Si Fu Ceng, Mo Ping Sin, Si Te Ming dan beberapa nama lainnya. Kelompok tokoh muda ini yang disebut masa itu sebagai “Panitia Penolong”.

Dua tahun berikutnya pada tahun 1968 muncul lagi peraturan baru dibidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan izin bagi yang tidak berwarganegara untuk menyelenggarakan “Sekolah Untuk Suku Khusus”, dan dibawah pimpinan Ye Jin Cong PN Sehati berubah fungsi sebagai “Sekolah yang mengatasi kesulitan suku khusus”. Saat itu para pendidiknya adalah guru-guru nomor satu dari Sumatera Utara yang didatangkan dari Sekolah Nan An Medan, bahkan ada tamatan dari Universitas Thai Ta Taiwan dan Universitas dari Hongkong.

Untuk mengoptimalkan manajemen kepengurusan sekolah dan sekaligus usaha kaderisasi kepengurusan sekolah, pada tahun 1972 terjadi perubahan struktur internal di PN Sehati, dimana Yayasan memutuskan mengangkat Wu Tien Yu (Paul Wu) menjadi Direktur Pelaksana (Kepsek) PN Sehati.

Selanjutnya pada tahun 1975 kembali menjadi kembali sekolah mengalami krisis, karena pemerintah mengumumkan peraturan baru bahwa semua sekolah Tionghoa harus diubah menjadi sekolah Nasional dan dilarang mengajarkan Bahasa Tionghoa. Masih menurut peraturan itu, siswapun harus berkewarganegaraan Indonesia, dan jumlah siswa pribumi dan nonpribumi haruslah sama, Inilah yang disebut dengan masa pembauran.

Akibat peraturan itu akhirnya sangat susah untuk melakukan penyesuain keadaan, dan ini spontan menimbulkan perbedaan pandangan antara pihak sekolah dengan pihak depertemen pendidikan. Dengan kondisi seperti itu lalu pemerintah mengambil alih kekuasaan didalam sekolah dan pihak yayasan hanya diberi wewenang untuk mengatur keuangan saja. Sebagai bentuk mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut maka Direktur Pelaksana (Kepala Sekolah) Wu Tien Yu (Paul Wu) rela mengundurkan diri sebagai salah satu syarat yang dibuat pemerintah, karena kalau tidak mengundurkan diri maka pemerintah akan mengambil alih secara keseluruhan dan sekolah PN Sehati akan dijadikan sekolah negeri. (Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA