Julukan Reformis
Tak (Lagi) Pantas Disandang Amin Rais
Oleh : M Alinapiah Simbolon
Dulunya kepiawaian Amin Rais dalam berpolitik tak perlu
disangsikan. Dia dijuluki Bapak Reformasi karena turun langsung mendukung aksi
mahasiswa ketika bergulirnya tuntutuan reformasi. Setelah reformasi berhasil,
dan Pemerintahan Orde Baru dibawah kekuasaan Suharto runtuh, Amin pun
mendirikan Partai Amanat Nasinal (PAN), dia pun memimpin partai bentukannya itu
dengan jabatan Ketua Umum. Di Pemiu 1999 sebagai partai baru PAN masuk kategori
partai menengah. Hebatnya lagi, karena kepiawaiannya Amin Rais berhasil
menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), meskipun
suara PAN di Pileg 1999 hanya 7,4 persen (34 kursi DPR).
Pada Pilpres 2014 yang merupakan Pilpres yang secara
langsung untuk pertama kalinya, Amin Rais berpasangan dengan Siswono
Yudhohusodo, maju sebagai capres. Sayangnya Amin Rais takluk di putaran
pertama. Pasca gagal di pilpres, Amin Rais tampak tak berambisi lagi
berlama-lama berkutat di jalur kekuasaan. Terbukti Amin Rais tak lagi berambisi
menancapkan cengkramannya di Partai Amanat Nasional (PAN). Dia mengambil
keputusan cukup satu periode memimpin PAN, walaupun saat itu, jika dia
berkeinginan melanjutkan tampuk kepemimpinannya di PAN dipastikan tak ada yang
berani menghadang. Saat itu penulis menilai sosok Amin Rais memang pantas
dijuluki sebagai seorang Reformis. Dengan tak melanjutkan kekuasaannya di PAN,
Amin Rais menunjukkan dirinya sebagai sosok yang tak ambisius, dan tak kemaruk
kekuasaan.
Sutrisno Bachir yang dielusnya berhasil terpilih Ketua
Umum PAN, dan Amin Rais pun berposisi sebagai sesepuh dengan jabatan Ketua
Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional. Jabatan itu pun tetap dipegangnya
setelah kepemimpinan Sutrisno Bachir beralih ke Hatta Radjasa, sebab nama besar
Amin masih dianggap sangat diperlukan untuk tetap menjaga eksistensi PAN.
Sejak tak lagi memimpin PAN, nama Amin Rais sesekali
muncul ke permukaan, Komentar-komentar
Amin Rais selaku tokoh yang dijuluki reformis jarang terdengar. Dalam
posisi demikian penulis dan mungkin banyak kalangan semakin salut dengan sikap
Amin Rais yang tak meneruskan kiprahnya mengejar kekuasaan. Dengan memposisikan
diri demikian Amin pun menjadi tokoh yang disegani dan dianggap benar-benar
seorang negarawan, dan julukan tokoh reformis pun tetap melekat pada sosok
mantan Ketua MPR tersebut.
Eksistensi ketokohan dan kenegarawan Amin Rais mulai
terusik. sejak dia menyerang secara membabi buta menjelekkan sosok Jokowi menjelang putaran kedua Pilgub DKI Jakarta.
Setelah putaran pertama Pilgub DKI, Amin
Rais yang berpihak kepada Pasangan Foke-Nara (karena PAN mengalihkan dukugannya
kepada pasangan incumbent), mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
mengejutkan. Dia menyerang pasangan Jokowi_Ahok dengan memojokkan Jokowi yang
notabene lawan pasangan Foke-Nara di putaran kedua Pilgub DKI. Jokowi dituding
Amin sebagai walikota gagal. Amin Rais mengganggap predikat Jokowi sebagai
salah satu walikota terbaik di dunia terlalu berlebihan dan menyesatkan. Selama
Jokowi menjabat Walikota Solo, angka kemiskinan di kota Solo naik cukup tajam.
Sikap Amin Rais yang menjelekkan Jokowi dan dianggap
sebagai kampanye hitam, sangat bertolak belakang dengan kredibilitas Amin Rais
yang selama ini dinilai sebagai politisi yang cerdas dan sebagai seorang
reformis. Lalu kekalahan Foke-Nara,
telah mengorbankan kredibilitas Amin Rais sebagai seroang negarawan dan sosok
yang reformis, sebab lantang suara Amin Rais yang menjelekkan Jokowi, ternyata
tak efektif mempengaruhi rakyat Jakarta untuk tidak memilih pasangan
Jokowi-Ahok, dan juga tak juga berhasil mempengaruhi rakyat Jakarta untuk
menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Foke-Nara. Justru ada pemikiran serangan
Amin Rais terhadap Jokowi justru jadi bumerang.
Rakyat jadi tak simpati dengan Amin Rais sehingga juga berimbas jadi tak
menyukai dan tak memilih Foke-Nara.
Kekalahan pasangan pasangan Foke-Nara yang didukung Amin
Rais, ternyata tak menyadarkan Amin Rais. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah
tersebut, semakin intens menyerang Jokowi. Dikatakannya kemenangan pasangan
Jokowi-Ahok akan mengancam iklim demokrasi di Jakarta. Sebab menurutnya Ahok
didukung pebisnis (tanpa menyebut etnis). Barisan pebisnis yang berada di
belakang pasangan Jokowi-Ahok sangat berpotensi mencaplok kekuatan politik.
“Saya terus terang sangat khawatir, perkimpoian politik dan bisnis ini bisa
mengancam demokrasi dan kontraproduktif dengan kepentingan rakyat,” ujar Amin
Rais saat itu pada acara Rakerda DPD PAN Solo.
Ditegaskannya, kemenangan Jokowi-Ahok tidak akan membawa
perubahan apapun buat DKI Jakarta. Dia bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, maka kekuatan ekonomi kecil di Jakarta
akan semakin tergilas dengan kekuatan ekonomi besar yang berada di rangkaian
gerbong Ahok (pebisnis yang berada di belakang Ahok). Tak hanya itu, Amin Rais
mengindikasikan kekalahan pasangan Foke-Nara karena pasangan Jokowi Ahok telah
membayar pers. Dia tak mengakui kemenangan Jokowi Ahok sebagai kemenangan Rakyat.
Dia mengatakan salah satu faktor kemenangan Jokowi Ahok karena bisa
mengendalikan media massa.
Serangan Amin Rais, menyikapi kemenangan Jokowi
Ahok, terkesan tanpa alasan faktual
alias gelap mata. Apa yang ditudingkannya terkesan berdasarkan asumsi akal-akalan
dan asal-asalan, Intinya asumsi dan tudingan yang terlontar dari mulut Amin
Rais menggambarkan sosok Amin Rais tak lagi sinkron dengan predikatnya sebagai
tokoh yang reformis dan politisi yang
cerdas. Asumsi dan tudingannya juga sangat tak selaras dengan predikat akademis
yang disandangnya yaitu seorang yang bergelar Profesor Doktor dan berbagai
gelar akademis lainnya.
Entah karena sudah semakin tua sehingga mulai pikun
ataupun mungkin ada unsur dendam, Amin Rais tampaknya tetap konsisten menyerang
sosok Jokowi. Amin seolah tak peduli kredibilitas dan citranya memudar, Amin
Rais juga tak peduli asumsi dan tudingan yang dialamatkan kepada Jokowi saat
baru terpilih Gubernur DKI ternyata tidak terbukti. Setahun kepemimpinan
Jokowi-Ahok, Amin Rais kembali melakukan
serangan terhadap sosok Jokowi, dan serangannya itu terkait karena banyaknya
dukungan yang menginginkan Jokowi jadi calon presiden (Capres).
Tetap dengan pertimbangan tak mendasar, Amin meragukan
Jokowi punya komitmen nasionalisme yang kuat, kendati Jokowi.berasal dari
partai nasionalis. Amin menilai Jokowi bisa saja seperti Ketua Umum PDIP
Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden. Kebijakan Megawati yang menjual
saham PT Indosat ke pihak asing dan pembebasan utang pengusaha hitam, merupakan
kebijakan yang berlawanan dengan semangat nasionalisme. Amin juga menilai
kelompok politik Islam belum tentu mau berkoalisi dengan Jokowi jika dia
mencalonkan jadi presiden. (pernyatan ini sempat membingungkan karena
sebelumnya Amin Rais pernah mewacanakan menggadang kemungkinan duet Jokowi
dengan Hatta Rajasa)
Tak berapa lama setelah itu, penjelekan terhadap sosok
Jokowi kembali terlontar dan bergema.
Penilaian Amin Rais terhadap Jokowi tetap terkesan akal-akalan dan
asal-asalan dan juga tekesan menilai dari sudut pandang yang sempit. Dia
menyamakan Jokowi seperti mantan Presiden Filipina Joseph Estrada. Jokowi dan Estrada menurutnya
dipilih rakyat karena popular, kendati dikatakan Jokowi tak separah Estrada. Setelah itu masih ada sejumlah pernyataan
Amin Rais kerap menyindir Jokowi. Belakangan saat terjadinya banjir Jakarta,
juga dimanfaatkan Amin Rais untuk mendiskreditkan Jokowi. Dia meminta agar
Jokowi meminta maaf kepada warga Jakarta karena Jokowi belum bisa mengatasi
banjir.
Disadari Amin Rais atau tidak, serangannya terhadap
Jokowi, justru menambah terpicunya kebencian publik terhadapnya. Minimal publik
yang senang dengan sosok Jokowi dan jumlahnya sangat signifikan (yang
kemungkinan juga sebagaian besar pada awalnya simpati dengan Amin Rais),
akhirnya berubah pikiran jadi hilang simpati dengan sosok Amin Rais.
Sebagai seorang yang dianggap reformis, cerdas dan punya
latar belakang akademis dengan berbagai gelar tingkat tinggi, Amin Rais tak
pantas melakukan serangan dengan cara-cara kontroversial terhadap Jokowi.
Seorang Amin Rais yang beratribut Profesor Doktor, dan berbagai gelar akademis
lainnya, menurut penulis sangat tak pantas melakukan serangan dengan asumsi dan
tudingan yang terlalu dangkal terhadap kepemimpinan Jokowi baik saat sebagai
Walikota Solo maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Penilaian Amin Rais bahwa Jokowi bukan sosok pemimpin
yang berhasil, adalah penilaian dari kalangan minoritas, di tengah banyak kalangan yang menganggap
Jokowi sebagai pemimpin yang berhasil. Ditambah lagi ada kesan rasa kebencian
yang ditunjukkan Amin Rais dibalik serangannya terhadap Jokowi. Soalnya sejak
berkoar kembali, fokus yang menjadi objek kritikan Amin Rais hanya seputar
sosok Jokowi, Sementara sebagai sosok yang dikenal kritis, berbagai persoalan
bangsa termasuk soal kepemimpinan SBY yang diwarnai banyaknya kasus korupsi
nyaris tak pernah disikapinya. Dalam hal ini penulis menilai kebencian Amin
Rais terhadap Jokowi, membuat Amin Rais mengabaikan atau tak mengakui fakta dan
realita soal kepemimpinan Jokowi yang memang membawa perubahan.
Sebagai sosok yang reformis dan cerdas dan berlatar
belakang akademisi, jika berasumsi seharusnya Amin Rais, bukan berposisi kontra
(bermusuhan) dengan Jokowi. Jika pun mengkritik seharusnya tidak tendensius.
Sosok dan gaya kepemimpinan Jokowi yang dikenal merakyat merupakan substansi
dari nilai-nilai reformasi (pembaharuan). Komitmen kepemimpinan Jokowi yang
lebih mengutamakan kepentingan rakyat adalah merupakan cita-cita murni
reformasi. Lalu sikap kontradiktif yang berkali-kali dipertontonkan Amin Rais
terhadap kepemimpinan Jokowi, merupakan pengangkangan terhadap perbuatan Jokowi
yang sangat kental nilai reformasinya. Jelas, apa yang telah diperbuat Amin
Rais terhadap Jokowi, dipastikan sangat tak pantas dilakukan oleh sosok yang
sebelumnya dikenal berpredikat reformis.
Dengan demikian, menurut penulis julukan reformis tak (lagi) pantas disandang
oleh seorang Amin Rais. Sikap yang
dibuatnya, membuat sosok Amin Rais turun level. Jujur penulis katakan saat ini
Amin Rais tak ubahnya (sudah persis) seperti Ruhut Sitompul alias selevel
dengan si orang yang berjuluk si Poltak
tersebut. Keduanya nyaris sama terutama dalam hal menyerang Jokowi. Jika
dibandingkan dengan Amin Rais termasuk dengan Ruhut, Jokowi ternyata jauh lebih
elegan dan jauh lebih dewasa dalam berpolitik, Soalnya serangan dari kedua
politisi tersebut tak pernah direspon secara emosional oleh Jokowi. Hebatnya,
di tengah banyaknya kalangan yang membela Jokowi dari berbagai serangan, malah
Jokowi sendiri tak meladeninya, dan justru serangan dan penjelekan terhadapnya sebagai kritikan yang
positif.
Klik dan baca juga di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar