Meragukan
Profesionalitas
Penyelenggaraan
Pemilu Serentak 2019
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Pemilu Serentak pada
tahun 2019 (Gabungan Pileg dan Pilpres) hasil putusan Mahkamah Konstitusi
menuai berbagai tanggapan. Ada yang pro ada yang kontra. Penulis tak ingin
membahas lebih jauh soal pro dan kontra, dan termasuk adanya anggapan ada
kepentingan dibalik putusan tersebut. Yang pasti untuk sementara Effendi
Ghazali dan Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak, meskipun kurang puas tapi
masih bisa sedikit tersenyum karena putusan MK tersebut merupakan penggabulan
sebagian dari gugatan uji materil terhadap UU Pilpres No 42 Tahun 2008 yang mereka ajukan . Sementara Yusril Ihaza Mahendra yang juga melakukan gugatan yang hampir sama,
untuk sementara harus gigit jari karena putusan MK tersebut bukan hasil dari
gugatan yang diajukannya.
Harapan sejumlah bakal
capres seperti Yusril, Prabowo, Wiranto, Suryadharma Ali atau yang
digadang-gadang jadi capres dari partai yang tak berpeluang meraih suara 20
persen pada Pileg 2014 ataupun dari partai kelas ikan teri yang tak yang bakal
tak mampu maraih parlementary threshold di pileg 2014, dipastikan tertunda
niatnya untuk mencapres tanpa harus koalisi pada pada tahun 2014, karena MK
hanya memutuskan pemilu serentak itu berlaku pada tahun 2019. Lalu harapan
mereka untuk mencapres pada pemilu serentak 2019, juga bakal sirna karena MK menolak gugatan
penghapusan ambang batas suara partai yang bisa mengajukan capres.
Putusan MK tentang
pemilu serentak pada tahun 2019, sudah menjadi harga mati dan harus
dilaksanakan. Perangkat aturan yang mengatur terkait hal itu, mau tak mau kelak harus disesuaikan. Kurun waktu lima
tahun adalah waktu yang panjang mempersiapkan segala perangkat untuk mendukung
pelaksanaan pemilu serentak 2019.
Penulis bukan pelaku
politik praktis dan tidak pula ada kepentingan untuk mencapres, dan penulis
juga bukan pendukung salah satu capres.
Sebenarnya bukan tak sepakat dengan pemilu serentak, namun khusus menyikapi
putusan MK tetang pemilu serentak, membuat penulis agak terpaksa mengikuti gaya
SBY yaitu merasa galau. Tapi kegalauan penulis tak sampai membuat penulis
curhat-curhatan dan somasi-somasian seperti yang dilakukan SBY. Soalnya tak ada
relevansinya penulis curhat karena putusan MK dan men-somasi MK karena
keputusan MK juga tak ada kaitannya dengan soal elektabilitas dan juga tak mengandung fitnah.
Yang digalaukan penulis
adalah hanya soal penyelenggaran pemilu serentak 2019. Penulis
meragukan penyelenggaraan pemilu serentak akan berlangsung secara
profesional. Penulis sangat ragu dengan kemampuan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
selaku penyelenggara pemilu di negeri ini.
Sebenarnya tak pantas penulis merasa galau ataupun mungkin ada anggapan
terlalu dini untuk merasa ragu soal
penyelenggaran pemilu serentak 2019 yang masih lima tahun lebih lagi
berlangsung penyelenggaraannya.
Tapi penulis punya
alasan logis meragukan kemampuan KPU akan maksimal menyelenggarakan pemilu
serentak (Pileg dan Pilpres) pada tahun 2019. Soalnya pada penyelenggaraan
pemilu legislatif tahun 1999, 2004 dan 2009 yang agendanya hanya untuk
pemilihan anggota DPR RI DPD RI , DPRD Provisnsi serta DPRD
Kabupaten/Kota, sangat banyak kelemahan.
Tak ada perubahan dan kemajuan signifikan, baik dari penyelenggaraan pileg 1999
ke pileg 2004, lalu dari pileg 2004 ke pileg 2009. Berbagai kelemahan seperti di tiga pileg
terdahulu, kemungkinan besar akan terjadi di pileg 2014, dan berpeluang besar
tetap terjadi pada pemilu serentak di tahun 2019, karena agenda pemilihannya
sudah bertambah, tidak hanya pemilihan anggota DPR RI DPD, DPRD Provisnsi serta
DPRD Kabupaten/Kota, tapi juga pemilihan presiden.
Di Pileg era reformasi yaitu pada tahun 1999, 2004 dan
2009, KPU dinilai tak mampu menyelenggarakannya secara professional. Carut
marut penyelenggaraan di tiga pileg
terdahulu menjadi permasalahan rutin. Masalah jumlah daftar pemilih dari
pileg ke pileg tetap menjadi permasalahan
serius. Data daftar pemilih sangat amburadul, tak sedikit warga yang sudah lagi
tak bermukim diatas dunia alias telah meninggal masih masuk daftar pemilih. Dan
tak sedikit pula warga yang pindah alamat masih terdaftar jadi pemilih di
tempatnya semula, malah banyak diantaranya terdaftar sebagai di dua tempat
(pemilih ganda). Warga yang tak masuk dalam daftar pemilih juga tak tanggung
banyaknya. Setiap menjelang pileg pileg sebelumnya, sampai menjelang Pileg 2014 yang akan
berlangsung tiga bulan ke depan, data pemilih dengan berbagai persoalan tetap
menjadi dilemma.
Kelemahan yang paling
krusial pada pileg terdahulu adalah pada
saat penyelenggaraan di hari pencoblosan di tingkat PTS (Tempat Pemungutan
Suara). Masih segar dalam ingatan ketika hari pencoblosan di pemilu legislatif
2009 benar-benar tak berlangsung dengan dengan baik dan lancar. Faktor banyaknya partai peserta pemilu, dan
berjibunnya nama caleg, membuat bingung pelaku pencoblosan, serta membuat repot
petugas TPS. Ketidak profesionalan petugas TPS dan peliknya soal administrasi
juga menjadi penyebab penyelenggaraan pileg di hari pencoblosan berlangsung
amburadul. 12 Jam waktu yang tersedia
ternyata sangat tak cukup untuk membereskan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan di TPS.
Di tingkat TPS,
perhitungan suara, rekapitulasi hasil perhitungan suara serta validasi
administrasi hasil perhitungan suara berlangsung hingga subuh dini hari. Selain itu rekapitulasi hasil perhitungan
suara ditingkat TPS pun tak sedikit yang bermasalah, dan tak sedikit pula hasil
rekapitulasi terpaksa dilakukan penghitungan ulang di tingkat KPPS. Tak hanya
itu, penyelewengan hasil perhitungan suara menjadi kasus yang cukup banyak
terjadi pada penyelengaraan pileg tahun 2009 termasuk di pileg sebelum itu.
Lalu apakah pemilu
serentak 2019 (penggabungan pileg dan pilpres) akan berlangsung secara
profesional, dan minim kelemahan-kelemahan seperti pada pileg-pileg terdahulu ?
Memang tak bisa
dipastikan pemilu serentak bakal berlangsung profesional dan lebih baik dari
pemilu terdahulu. Tapi penulis tak salah jika meragukan pemilu serentak 2019
bisa berlangsung profesional. Argumen dari penilaian penulis, adalah kelemahan
di pileg-pileg sebelumnya, dan pesiapan
KPU menjelang pileg 2014 yang terkesan yang juga masih banyak kelemahan,
sehingga penyelenggaraan Pileg 2014 penulis
prediksi akan sama situasinya dengan pileg 2009.
Memang belum tahu pasti
berapa banyak partai politik dan jumlah calon legislatif pada pemilu serentak
2019. Dan untuk memastikannya harus dilihat dulu bagaimana pelaksanaan pileg
yang akan akan berlangsung 9 April 2014, berikut pilpres yang akan berlangsung 9 Juli 2014.
Namun nasib penyelenggaraan pileg 2014 dengan kontestan 12 partai politik
dengan jibunan caleg yang jadi pilihan, menurut penulis tak akan tak jauh beda
dengan penyelenggaraan pileg sebelumnya 2009. Di pileg 2014, kebingunan pemilih
dan kerepotan petugas TPS pada pelaksanaan pemungutan suara, perhitungan suara
serta rekapitulasi dan validasi administrasi hasil perhitungan suara, tetap akan terjadi.
Kalaupun akan lebih
baik, hanya sedikit lebih baiknnya dari
pileg 2009, dan itu pun karena faktor parpol dan caleg yang lebih sedikit
jumlahnya dari pileg 2009. Soal persiapan KPU menghadapi pemilu 2014, tak ada
ubahnya seperti pesiapan ketika menjelang pemilu 2009, tak ada yang
spesial. Lalu soal daftar pemilih justru
tetap amburadul sebagaimana pada tiga pileg sebelumnya. Demikian pula halnya rendahnya suara
golput (pemilih yang tidak menggunakan
hak pilihnya) disemua ajang pemilihan selama era reformasi baik pileg, pilpres
maupun pilkada, jumlahnya tetap sangat besar.
Lalu kalau kondisi
penyelenggaraan pileg 2014 tak ada perubahan dan tetap banyak kelemahan seperti
pileg 2009, maka prediksi penulis soal penyelenggaraan pemilu serentak di tahun
2019 (jika tetap dengan multi partai), kemungkinan besar tak lebih baik dari
pemilu 2014. Alasannya pemilu serentak 2019 dengan dua agenda pemilihan
sekaigus yaitu pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden, sudah pasti akan jauh lebih tinggi tingkat kebingungannya
dan tingkat kerepotannya. Yang pasti
kompleksitas persoalan di pemilu serentak 2019 dengan dua agenda pemilihan akan
lebih banyak. Inilah dasar pertimbangan penulis menilai bahwa profesionalitas penyelenggaraan pemilu
serentak 2019 untuk sementara tetap menjadi sebuah keraguan.
Namun, sebagai warga negara menginginkan pemilihan
umum menghasilkan legislator dan pemimpin negara yang berkualitas dan merakyat,
penulis sangat berharap pemilu serentak 2019 termasuk juga pileg 2014 dan
pilpres 2014 dapat berlangsung professional. Waktu lima tahun
lebih waktu yang sangat lama untuk membuat perencanaan matang agar pemilu
serentak 2019 terselenggara dengan baik.
Proses demokrasi suatu negara, tercermin melalui penyelenggaraan
pemilunya.
Klik dan baca juga di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar