Saya Lebih Layak Jadi Capres,
Ketimbang si Raja
Dangdut Bergelar Profesor
Oleh
M Alinapiah Simbolon
Prof. Rhoma Irama (foto : news.detik.com) |
Judul tulisan ini,
bukan menggambarkan bahwa saya punya hasrat untuk mencalonkan diri jadi
presiden. Penting saya garis bawahi, bahwa tak sedikitpun terpikirkan oleh saya
untuk jadi calon presiden. Yang pasti sangat mustahil. Jangankan untuk jadi capres,
untuk bisa masuk figur yang terwacana jadi bakal capres juga sangat tak
mungkin.
Keterkenalan atau
popularitas kefiguran memang bisa menjadi salah satu pintu masuk agar bisa
terwacana jadi bakal calon presiden. Dengan demikian sudah saya pastikan tak ada
sedikitpun peluang bagi saya untuk bisa terwacana jadi bakal capres, karena saya
bukan figur terkenal dan saya juga tak berpeluang jadi figur terkenal. Pastinya
tak ada satu sisi pun dari sosok saya untuk bisa menjadi populer.
Selain itu saya juga
masuk kategori rakyat kelas biasa yang tinggal di pemukiman biasa di sebuah
kota sedang di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pergaulan saya juga tak
mendukung untuk masuk jajaran orang yang dicapreskan. Saya bergaul dengan orang
biasa, dan saya tak punya kapasitas untuk bisa masuk ranah politik praktis
karena saya bukan kader partai politik. Intinya jangankan untuk bisa nyapres,
untuk bisa Nyawalkot (Nyalon Walikota) di kota kediaman saya, juga sangat jauh
dari kemungkinan. Karena kodrat saya
bukan orang yang bisa nyapres, maka angan-angan untuk nyapres tak pernah
terlintas dipikiran saya. Saya pun takut ber angan-angan, nanti takut dibilang
kurang waras atau gila nyapres.
Lalu saya berpikir,
dengan modal kegetolan saya yang hobbi membaca dan mengikuti perkembangan
politik di republik ini termasuk yang berkaitan dengan soal pencapresan, ditambah
secuil kemampuan meniulis, maka saya berpikir ternyata lebih asyik mengamati, menilai
serta membuat pendapat terkait figur-figur yang saat ini sedang terwacana
sebagai capres melalui tulisan, ketimbang mengkhayal untuk mencapres. Dan itu
sudah saya tuangkan melalui tulisan.
Saya telah menuangkan pendapat
melalui sejumlah tulisan, tentang hal-hal yang berhubungan dengan pencapresan
dan figur-figur yang sekarang terwacana sebagai bakal capres. Karena saya tipe
orang yang kritis, maka tulisan saya menyangkut sejumlah figur bakal calon
presiden sangat kental nilai kristisinya. Saya akui saya sedikit ngefans sama
figur Jokowi karena sosoknya yang merakyat, sehingga tulisan tentang Jokowi tak
ada nilai kritisinya. Itu karena saya
memandang dan menilai sampai saat ini belum ada tak celah terkait figur Jokowi.
Soal banjir Jakarta dan kemacetan di kota Jakarta tak saya jadikan celah atau
bahan untuk dikritik dalam tulisan saya, karena saya berpandangan objektif, dan
menilai soal banjir Jakarta dan kemacetan Jakarta bukan hal yang proporsional
di cap sebagai kegagalan Jokowi sebagai pemimpin DKI Jakarta.
Saya tegaskan juga,
kalau pun tulisan saya soal Jokowi minus kritik, bukan berarti saya termasuk
Jokowi Lovers. Saya bukan pendukung Jokowi, famili tidak dan kenalan pun tidak,
dan saya sama sekali tak pernah bertemu Jokowi secara langsung. Saya juga tak terdaftar sebagai orang yang ikut dalam
kelompok yang mendukung Jokowi jadi presiden. Pastinya tak sedikit pun sosok
saya punya keterkaitan dengan sosok Jokowi. Sama halnya saya juga tak ada
hubungannya dengan figur-figur bakal capres lainnya.
Dari seluruh nama-nama
yang sudah terwacana, ada satu nama yang mengusik daya geli saya, sehingga saya
merasa tergelitik membahas dan menilai figur tersebut. Figur yang saya
maksudkan adalah Rhoma Irama yang bergelar
si Raja Dangdut. Siapa yang tak kenal dengan Rhoma Irama. Sosoknya sangat
tersohor sebagai seorang penyanyi dangdut. Wajar saja keterkenalannya membuat
dia merasa punya peluang untuk menjadi calon presiden. Dan untuk sementara
pencapresannya terus mewacana karena popularitasnya. Ironisnya meskipun popularitas
Rhoma Irama sangat tinggi, tapi dari sisi elektabilitas dia kalah dari figur
lain yang juga terwacana sebagai bakal capres. Dari hasil survei sebuah lembaga
survei, bahwa elektabilitas bakal capres yang bakal digadang oleh partai
politik berbasis islam, ternyata elektabilitas Rhoma Irama berada diurutan
paling bawah. Lalu dari ketiga kandidat capres yang bakal diusung PKB, Rhoma
Irama juga berada diurutan ketiga soal elektabilitas.
Banyak hal lucu yang
saya tangkap terkait pencapresan Rhoma Irama. Rasa percaya dirinya
mendeklarasikan diri sebagai bakal capres, atas pertimbangan banyaknya dukungan
dari rakyat terutama dukungan para penggemarnya dan dukungan para ulama,
membuat banyak orang merasa geli. Apalagi kemudian diketahui wadah penggemar bernama
Sonata Fans Club Indonesia (SFCI) yang diklaim mendukungnya ternyata hanya
berisi segelintir orang yang didramatisir seolah berjumlah besar.
Selain itu organisasi
ulama bernama Wasiat Ulama (Wasilah Silaturrahmi Asatidz Tokoh dan Ulama) yang
mendukungnya belakangan diketahui hanya oraganisasi ulama karbitan yang namanya
tak pernah terdengar sebelumnya. Dan
ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi ulama tersebut terindikasi sebagai
ulama tak ekspert dianggap sebagai ulama. Satupun diantaranya tak ada masuk
kategori ulama sepuh dan kharismatik, dan tak satupun diketahui tak punya
basis..
Selain itu, klaim Rhoma Irama bahwa dia telah resmi didukung
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai capres, terbukti hanyalah bohong besar,
karena belakangan diketahui kalau PKB belum mengusung carpes secara resmi. Yang
membuat saya merasa tambah lucu, karena belakangan pemimpin Soneta Grup itu mendadak punya gelar Profesor yang tak jelas dari mana juntrungannya.
Memang wacana sosok
Rhoma Irama sebagai bakal capres terus menggelinding sampai saat ini. Karena kedekatannya
dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan
sempat terwacana sebagai capres yang bakal diusung PKB, membuat Rhoma
Irama tetap masuk sebagai figur yang bakal ikut diseleksi sebagai kandidat capres PKB bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla.
Sayangnya dibanding
kedua bakal capres yang masuk godokan PKB, Rhoma Irama ternyata kalah kualitas.
Terlepas dari hasil surveri, memang kalau dinilai dari sudut kepemimpinan,
inteklektuali serta kemampuan dan penguasaan soal politik, pemerintahan, hukum,
dan perekonomian, maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kenegaraan, Rhoma
Irama ternyata tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mahfud MD dan Jusuf
Kalla. Itu ternilai, ketika Rhoma Irama
bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla menjadi pembicara di Seminar Politik yang diadakan Fraksi PKB di Gedung MPR
RI.
Saat berbicara sebagai
narasumber dalam seminiar politik itu Rhoma Irama banyak dicibir dan dinilai
tak layak jadi capres, karena pernyataannya yang mengusulkan pembubaran
Mahkamah Konstitusi dengan alasan tumpang tindih dengan Mahkamah Agung karena
memiliki fungsi serupa. Dia juga menganggap mubazir, sehingga disarankannya MK
dilebur kedalam MA. Pernyataan Rhoma
jadi blunder, dan ditanggapi negatif
banyak kalangan. Ada yang menuding Rhoma tak mengerti dan tak pernah
membaca Undang-Undang khususnya UU MK dan UU MA, sehingga tak bias membedakan
fungsi MK dan MA.
Komentar paling pedas
pun terlontar dari mulut Ruhut Sitompul yang pernah menjadi lawan aktingnya
dalam Film Sajadah Ka’bah. “Itulah kalau Raja Dangdut ikut politik, kita orang
hukum jadi pening,” kata si Raja Sorot yang juga politisi dan jubir Partai
Demokrat tersebut. “….Kalau capres
pas-pas an ya begitu,” itulah
kalimat lain yang diarahkan Ruhut menyikapi pernyataan Rhoma Irama itu.
Kalau dinilai dari
aspek inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan, hukum, termasuk maupun
berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan dan kenegaraan, tak
salah rasanya jika saya ingin membandingkan diri saya dengan legendaries Dangdut tersebut. (Ini hanya
sekedar membuat perbandingan, tak lebih dari itu, karena sudah saya tegaskan
sebelumnya mustahil saya bisa jadi capres, dan itu sudah sebuah kepastian).
Diluar popularitas, maka kalau dinilai dari aspek inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan,
hukum, termasuk maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan
dan kenegaraan, kayaknya saya lebih layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama
meskipun belakangan diketahui dia punya gelar Profesor. Salah satu hal yang
membuat saya merasa yakin kalau saya lebih layak nyapres dibanding si Raja
Dangdut tersebut, yaitu penilaian saya soal pernyataan Rhoma Irama yang
mengusulkan MK dengan alasan punya fungsi yang sama dengan MA. Penryataannya
itu menurut saya adalah wujud dari kebodohan Rhoma soal hukum pemerintahan dan
ketatanegaraan.
Terkait latar belakang
keilmuan terutama penguasaan ilmu tentang hukum, pemerintahan dan tengang
ketatanegaraan, yang memang dibutuhkan untuk jadi seorang presiden, kayaknya
saya sangat memenuhi syarat dan kelayakan jadi capres ketimbang Rhoma Irama.
Kendati saya tak bekerja di pemerintahan, tapi background pendidikan saya
adalah Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena saya tamatan SI jurusan Hukum
Administrasi Negara. Jadi jika dibandingkan dengan kandidat capres penyanyi
dangdut, tentu lebih tinggi ilmu tentang pemerintahan yang saya kuasai
ketimbang dia. Karena kami sama-sama belum pengalaman dan belum teruji memimpin
pemerintahan. maka saya akan lebih berkemampuan dalam hal memimpin pemerintahan
dan negara ketimbang Rhoma Irama. Alasannya karena saya sudah punya modal ilmu
dan lebih mumpuni soal hukum, pemerintahan dan tentang ketatanegaraan, yang
merupakan modal penting untuk menjadi presiden. Sementara seorang Rhoma Irama
yang aslinya hanya tamatan SMA sudah terbukti tak menguasai ilmu hukum,
pemerintahan dan ketatanegaraan.
Soal moral, dibanding figur bakal capres dari penyanyi
dangdut yang hobbi kawin siri, maka saya termasuk figur yang lebih bermoral dari
Rhoma Irama yang terkenal hobbi kawin siri. Yang pasti saya masih bersih dari
noda moralitas termasuk tak pernah kawin siri. Maka secara moral saya lebih
layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama.
Lalu kalau ditanya apa
modal unggulan yang diandalkan si Raja Dandut tersebut dalam mencapres. Tak
lain dan tak bukan hanya popularitasnya sebagai pedangdut dan gelarnya sebagai
Raja Dangdut. Tapi yang jelas kemampuan menyanyikan lagu dangdut plus
menciptakan lagu dangdut, termasuk gelar profesornya yang tak jelas itu, tak ada
korelasinya dan tak dibutuhkan sebagai referensi penilaian agar dianggap layak
untuk mencapres.
Klik dan baca juga di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar