Motivasi
Caleg Masih Sebatas
Cari Jabatan dan Pekerjaan
Oleh : M Alinapiah Simbolon
foto : berita.muslim-menjawab.com |
Gambar para caleg dengan
nuansa warna-warni, tak terhindar menjadi pemandangan menyilaukan. Saat ini
siapapun yang menoleh kiri kanan dan muka belakang, akan melihat penampakan berupa
tampang para caleg baik yang terpancang, yang bergelangtungan maupun yang
berseleweran di jalanan. Selain nomor urut para caleg, termasuk nomor partai
politik yang mengusung sang caleg, pada alat peraga kampanye tertera juga kata-kata ataupun kalimat yang seolah menegaskan mereka
layak untuk dipilih juga terangkai dan menghiasai gambar tampang para caleg.
Maraknya para caleg yang
jual tampang melalui alat peraga kampanye, sebuah gambaran kuatnya ambisi para
caleg untuk meraih kursi kehormatan sebagai wakil rakyat. Kondisi seperti itu,
hal yang wajar terjadi, dan sudah tradisi musiman yang menggebyar menjelang
berlangsungnya helatan demokrasi bernama pemilihan umum legislatif. Memang
terkesan menghamburkan uang, apalagi kalau dinominalkan dengan nilai rupiah, sudah
pasti tak sedikit uang yang dikeluarkan masing-masing caleg untuk pengadaaan
alat peraga kampanyenya. Kalau diglobalkan, jelas tak terhitung jumlah uang
yang dikeluarkan seluruh caleg hanya untuk biaya pengenalan wajah melalui alat
peraga kampanye.
Meski tak ada jaminan
akan efektif membuat para caleg dipilih oleh rakyat, namun pamer tampang melalui
alat peraga kampanye terlihat sangat kompetitif terjadi di lapangan. Kesan yang
ditangkap dari bertebar dan bertaburnya alat peraga kampanye adalah bentuk
keseriusan para caleg agar dikenal dan dipilih rakyat, dengan satu tujuan yaitu
meraih dan menduduki jabatan sebagai anggota legislatif.
Berbicara ambisi,
dipastikan sebagian besar atau bahkan seluruh caleg berambisi agar terpilih
sebagai legislator. Maraknya alat peraga kampanye, bukti para caleg memang berambisi
untuk menang. Selain itu tak sedikit dari para caleg yang awalnya hanya sekedar
mencaleg atau memenuhi kuato jatah caleg, terutama caleg perempuan, ketika
mendekati hari pemilihan, obsesinya berubah menjadi caleg yang ambisius dan
menjadi serius bertarung mencari simpati rakyat agar menjadi caleg terpilih.
Banyak juga para caleg yang ambisius tanpa
mempertimbangkan peluang dan batas kemampuannya mendapat simpati rakyat. Bagi yang tak punya materi atau minim materi,
maka untuk mewujudkan ambisinya, berusaha maksimal meningkatkan sosialisasi dan
bahkan ada yang tak sungkan-sungkan mengumbar janji agar terpilih. Tak sedikit juga
caleg yang mengandalkan uang semata, dan berprinsip uang akan bisa menjadikannya
terpilih sebagai legislator. Munculnya
caleg demikian karena masih banyak masyarakat tak punya prinsip, sehingga tak berpikir
cerdas dalam menggunakan hak pilihnya atau memilih karena orientasi materi
semata.
Jabatan legislatif adalah jabatan yang diimpikan dan berusaha
diraih para caleg. Sebagian besar para caleg yang sudah merasakan nikmatnya
kursi legislatif , seperti terkena zat adiktif sehingga ketagihan menduduki
jabatan tersebut, dan kembali mencalegkan diri (caleg incumbent atau pertahana).
Untuk caleg incumbent atau pertahana, tampak
tak merasa malu kembali mereproduksi diri alias mendaur ulang dirinya
seolah dianggap sebagai orang yang merakyat dan peduli sama rakyat, meskipun mayoritas
dari mereka ketika menjabat sikapnya tak mencerminkan wakil rakyat yang
benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.
Lalu, yang belum pernah
merasakan nikmatnya jabatan legislatif, ambisinya untuk meraih kursi legislatir
tak kalah dengan ambisi caleg incumbent atau pertahana. Bahkan tak sedikit
jumlah caleg yang tak kapok-kapoknya atau tak bosan-bosannya mencalegkan diri,
meski sebelumnya sudah beberapa kali menyandang status sebagai caleg
gagal. Ironisnya lagi, ada caleg yang hanya
modal tampang doang, ditambah modal
semangat serta modal banyak berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar bisa terpilih.
Jabatan sebagai anggota
legislatif bukanlah jabatan sembarangan.
Meski pada prinsipnya jabatan tersebut tak ubahnya seperti profesi perkerjaan lain
yang mendapat upah atau gaji bulanan, atau tak ubahnya seperti jabatan pegawai
negeri yang mendapat gaji dari negara. Meskipun hanya jabatan yang berpriodik
(hanya 5 tahun), namun ada nilai lebih dari jabatan tersebut, yaitu status terhormat
yang melekat di jabatan tersebut. Dikatakan sebagai jabatan terhormat karena
orang yang berhasil menduduki posisi di jabatan tersebut dijuluki wakil rakyat yang
terhormat, karena dipilih dan mendapat kepercayaan (mandat) dari rakyat melalui
sebuah proses demokrasi.
Melihat kuatnya daya
tarik jabatan legislatit, merangsang para caleg berusaha maksimal untuk meraih
jabatan tersebut. Para caleg tak peduli dengan besarnya cost politik yang
dikeluarkan agar bisa terpilih dan meraih jabatan sebagai anggota
legislatif. Sampai-sampai ada yang
berani mengambil resiko mengelontorkan uang untuk melakukan money politik atau membeli
suara rakyat, agar berhasil meraih jabatan tersebut, dan cara ini seperti sudah
mentradisi dan sudah menjadi rahasia umum. Ironisnya jumlah nominal yang
digelontorkan untuk beli suara pemilih sangat kompetitif. Tak terbantah kalau
terjadi persaingan harga pasaran suara, dan prakteknya memang terjadi di pemilihan
legislatif sebelumnya dan kemungkinan besar tak mungkin tak terjadi pada
pemilihan legislatif 2014 nanti.
Status sebagai wakil
rakyat terhormat, begitu menggairahkan bagi para caleg untuk meraihnya.
Sayangnya yang terlihat dari upaya sebagian besar para caleg yang tengah
bertarung untuk meraih satatus tersebut, terkesan mengenyampingkan fungsi dan
tujuan mulia yang melekat di jabatan yang mereka kejar itu, apalagi
partai-partai politik lebih mengutamakan target meraih kursi sebanyak-banyaknya
di lembaga legislatif, sehingga tak sedikit caleg yang dimajukan pun hanya
sebatas caleg berpotensi untuk meraih suara.
Melihat ambisi para
caleg, kursi jabatan yang diperebutkan seolah tak dianggap lagi sebagai jabatan yang berfungsi untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Kesan yang ditangkap, bahwa motivasi para caleg dengan daya
upayanya untuk menang di pemilihan umum, di satu sisi hanya semata mengejar
status sebagai wakil rakyat terhormat, dan di sisi lain karena melihat posisi
wakil rakyat tersebut sebagai sebuah pekerjaan dengan gaji besar, dan sebagai pekerjaan
dengan posisi jabatan politik yang punya kekuatan dan nilai tawar secara politik.
Yang membuat lebih merangsang para caleg, jabatan tersebut adalah jabatan yang berpeluang
meraih penghasilan materi dan fasilititas yang menjanjikan, di luar dari
penghasilan resmi dari jabatan itu.
Jadi tak bisa
dipungkiri dan sudah menjadi pemikiran di benak sebagian besar para caleg yang
berambisi dan berusaha untuk menang, terutama caleg yang berani menggelontorkan
uang untuk menang, termasuk para caleg incumbent atau pertahana, bahwa biaya
yang mereka keluarkan saat mencaleg akan bisa kembali saat mereka berhasil meraih jabatan sebagai wakil rakyat.
Kalaupun para caleg
mengumbar janji jika mereka terpilih akan memperjuangkan kepentingan rakyat, kebanyakan
janji seperti itu hanya sebatas retorika dan dan dilontarkan sebagai bentuk
cari simpati, karena pada kenyataannya jabatan tersebutlah tujuan utamanya.
Logikanya, para caleg yang kelak terpilih, yang sebagian besar telah
mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar terpilih, tentu lebih mengutamakan
kepentingan pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya saat mencaleg. Kondisi
demikian memang sudah menjadi preseden dan fakta yang dipertontonkan kebanyakan
dari anggota legislatif hasil pemilihan legislatif sebelum-sebelumnya, dan berkemungkinan
akan dipertontonkan oleh sebagaian besar anggota legislatif yang bakal terpilih
di pemilihan legislatif 2014 nanti.
Klik dan baca di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar