Megawati
Salah Kaprah
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Hasil survei sejumlah
lembaga survei dan prediksi banyak kalangan yang menyatakan bahwa PDIP
berpeluang menang di Pileg jika mencapreskan Jokowi sebelum Pileg, akhirnya
diabaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati
Soekarnoputri. Pengabaian itu terjadi setelah Megawati mencetuskan bahwa
penetapan siapa yang menjadi capres yang diusung PDIP setelah 9 April 2014 atau
setelah pemilu legislatif.
Tak bisa dipungkiri,
arus bawah maupun kalangan dan komunitas yang menginginkan Jokowi dicapreskan
PDIP pun, merasa kecewa, atas keputusan Megawati tersebut. Mungkin tak hanya sekedar
kecewa, anggapan, prediksi dan penilaian bahwa Megawati masih berambisi sebagai capres dan menjadikan
Jokowi sebagai wacapresnya dengan memanfaatkan tingginya elektabilitas Jokowi, seolah
mendekati kebenaran. Apalagi sebelumnya skenario menduetkan Megawati-Jokowi sudah lebih dahulu dienduskan, ditambah lagi belakangan
ini Megawati rajin tampil berdua di depan publik..
Siapa pun yang
ditetapkan sebagai capres PDIP, keputusannya mutlak di tangan Megawati selaku
pemimpin dan pemegang kekuasan tertinggi di partai moncong putih tersebut. Karena kewenangan mutlak ada ditangan
Megawati, maka wajar arus bawah atau kalangan pendukung Jokowi, merasa kecewa dengan sikap Megawati yang menyatakan penetapan capres PDIP setelah pelaksanaan
Pileg 2014.
Memang peluang Jokowi dicapreskan
oleh Megawati masih terbuka, karena Mega
belum mengambil sikap. Kalaupun terlihat Mega berambisi, bisa saja Megawati
berubah sikap menjelang penetapan, itu pun jika Megawati akhirnya sadar diri
dan menjatuhkan pilihan kepada Jokowi bahkan Megawati masih berkesempatan
merubah pernyataannya yang menetapkan capres setelah setelah pileg menjadi
sebelum pileg, karena masih ada waktu beberapa bulan lagi. Namun melihat
dinamika politik di PDIP, mulai dari munculnya skenario duet Megawati-Jokowi,
lalu seringnya Megawati dan Jokowi muncul didepan publik belakangan ini sebagai
bentuk sosialisasi, sampai soal penetapan capres setelah Pileg, membuat para
arus bawah dan kalangan yang mendukung Jokowi, hanya bisa berharap cemas.
Sebenarnya kecemasan
itu sudah muncul jauh-jauh hari, dan kecemasan itu menguat setelah munculnya
skenario menduetkan Megawati-Jokowi dari internal PDIP. Salah bentuk kecemasan itu ditandai dengan lahirnya
organisasi yang menamakan PDI Perjuangan Pro Jokowi (PDIP Projo). Penggeraknya
adalah penggerak Posko Gotong Royong Pro Mega tahun 1998, dan diisi oleh aktivis,
kader dan simpatisan partai, serta puluhan paguyuban warga daerah-daerah yang
berdomisili di DKI Jakarta. PDIP Projo dideklarasikan di hari bersamaan ketika
Megawati menyatakan bahwa penetapan capres setelah Pileg, merupakan salah satu bentuk
kecemasan dari arus bawa dan pendukung atau komunitas yang menginginkan Jokowi
di capreskan PDIP sebelum Pileg 2014. Dan kemunculan PDIP Projo juga sebagai
bentuk resistensi terhadap wacana pencapresan Megawati.
Jika dikaji secara
mendalam, memang Megawati disinyalir masih berkeinginan kuat untuk bertarung
sebagai capres di pilpres 2014, sebab Megawati telah berani mangambil resiko membuat
keputusan menetapkan capres PDIP setelah pileg, dengan mengabaikan hasil survei
sejumlah lembaga survei yang menempatkan Jokowi berkutat ditempat teratas
sebagai capres berlektabilitas tinggi dan berpeluang menang jika dicapreskan
oleh PDIP, serta hasil survei lembaga survei yang menempatkan PDIP berpeluang
besar menjadi partai pemenang di Pileg jika mencapreskan Jokowi sebelum Pileg
2014.
Pengabaian hasil survei
dianggap sebagai resiko, sebab dari sikap Megawati dan para petinggi PDIP
selama ini jelas telah meyakini dan percaya dengan hasil-hasil survei tersebut.
Apalagi Megawati dan para petinggi PDIP telah melihat fakta memang kenyataannya
arus bawah banyak yang mendukung Jokowi sebagai capres, termasuk dari internal
PDIP. Tak hanya itu kiprah dan kinerja Jokowi sebagai Gubernur DKI dipuji dan
didukung sebagian besar rakyat Jakarta, dan pernyataan dukungan terhadap Jokowi
sebagai capres dari masyarakat dan kalangan tokoh di daerah dan kader PDIP di
daerah juga didengar Mega dan para petinggi PDIP.
Sebagai seorang
politisi yang berpengalaman dan juga mantan Presiden RI, Megawati seyogianya
sadar dengan resiko yang diambilnya, mungkin karena hasratnya mau jadi capres lebih
mendominasi, maka resiko itupun mau tak mau harus dihadapinya. Megawati
berpikir cara menghadapinyam jika dia sebagai capres, maka Jokowi ditetapkannya
sebagai cawapres untuk mendampinginya. Dengan posisi Jokowi di plot
sebagai wacapres, Megawati menganggap pengabaian itu tak akan begitu
berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi, terutama terhadap elektabilitas PDIP,
Artinya pencawapresan Jokowi kelak dianggapnya bisa meminimalisir resiko yang
diambilnya, dan sosok Jokowi tetap bisa dimanfaatkan dan tetap laku dijual
untuk mendulang suara, meskipun berposisi sebagai cawapres.
Jika demikian
(kemungkinan memang demikian) yang menjadi pertimbangan Megawati, pertimbangan itu
jelas salah kaprah. Sebab Megawati harus sadar bahwa besarnya dukungan kepada
Jokowi datangnya dari arus bawah dan kalangan atau komunitas pendukung Jokowi
hanya menginginkan Jokowi jadi presiden, bukan jadi wakil presiden. Harus
diingat arus bawah kalangan atau komunitas itu mendukung Jokowi sebagai capres bukan
karena adanya komando, perintah ataupun arahan. Dan juga tak ada setingan untuk
itu, tapi atas kesadaran dan termotivasi penilaian objektif terhadap sosok
Jokowi yang terbukti merakyat dan dianggap pantas didukung jadi presiden.
Salah kaprah juga kalau Megawati berharap kalau arus bawah
dan pendukung Jokowi akan memenangkan PDIP di pileg jika Jokowi tidak dicapreskan
sebelum pileg. Itu sulit terjadi, sebab arus bawah dan pendukung Jokowi sudah
terlebih dahulu cemas dan khawatir, Jokowi juga berpeluang besar tidak
dicapreskan setelah pileg, dan tak ada kepastian kearah itu. Ditambah lagi
telah muncul kecurigaan kalau Megawati
memang ingin mencapreskan dirinya setelah pileg dengan mengandeng Jokowi
sebagai cawapresnya, sekaligus memanfaatkan Jokowi, dan gelagatnya ke arah itu
sudah memang terlihat dan terbaca sejak munculnya skenario menduetkan
Megawati-Jokowi dengan berbagai alasan yang dikemas untuk memperkuat skenario
tersebut.
Arus bawah dan kalangan
dan komunitas pendukung Jokowi, juga punya pertimbangan dan punya siasat agar
Jokowi tetap dicapreskan meski penetapannya setelah Pileg 2014. Arus bawah dan
pendukung Jokowi akan mengambil sikap lebih baik PDIP tak usah didukung untuk
dimenangkan di Pileg 2014, supaya suara yang diraih PDIP di Pileg 2014 tak mencapai
kuota mengusung pasangan capres dan cawapresnya sendiri, sebagaimana di
prediksi banyak kalangan dan hasil survei sejumlah lembaga survei, sehingga
skenario menduetkan Megawati-Jokowi buyar alias tak dapat terwujud. Dengan
kondisi raihan suara PDIP yang tidak kuota mengusung capres sendiri, Jokowi akan
berpeluang diusung jadi capres PDIP, sebab dengan kondisi demikian Megawati
kemungkinan besar tak berani mencapreskan diri, karena tak merasa berpeluang menang
tanpa didampingi Jokowi sebagai cawapresnya. Lalu jika Jokowi dicapreskan PDIP, maka
cawapresnya juga berpeluang berasal dari luar internal PDIP, dan ini lebih
memudahkan Jokowi menang di pilpres, ketimbang cawapresnya dari internal
PDIP yang kemungkinan besar di plot dari
keluarga Megawati.
Kalau pun kelak setelah
Pileg akhirnya duet Megawati-Jokowi yang ditetapkan sebagai capres dan cawapres
PDIP (itu pun kalau suara PDIP hasil pileg bisa mengusung capres dan
cawapresnya tanpa koalisi dengan partai lain), belum tentu juga arus bawah dan
pendukung Jokowi, akan menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Megawati-Jokowi.
Alasannya tetap sama, bahwa besarnya dukungan kepada Jokowi yang datang dari
arus bawah dan kalangan atau komunitas pendukung Jokowi hanya ketika Jokowi
dijadikan capres, dan bukan sebagai cawapres. Bahkan bukan tak mungkin dalam waktu yang
singkat, arus dan para pendukung Jokowi, justru kecewa sehingga sirna
simpatinya terhadap Jokowi, karena mau dijadikan cawapres.
Megawati dan para
petinggi PDIP, harus ingat, organisasi PDIP Projo, jangan dianggap sepele
keberadaannya. Sebab PDIP Projo bisa menjadi intrumen politik yang kuat dalam
sekejap dan jadi kiblat dan garda terdepan bagi arus bawah dan kalangan atau komunitas-komunitas
yang mendukung Jokowi di seluruh pelosok negeri ini untuk mengembosi PDIP, jika
kenyataannya PDIP tidak mencapreskan Jokowi sebelum Pileg 2014. Yang pasti untuk
sementara Megawati sudah dinilai salah kaprah menyatakan akan memutuskan capres
PDIP setelah Pileg 2014, karena mengabaikan besarnya dukungan untuk memenangkan
PDIP di Pileg 2014, jika Gubernur DKI Jakarta itu dicapreskan sebelum pileg.
Baca juga di sini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar