Kekonyolan
Presiden SBY, Di Penghujung Tahun 2013
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Sehubungan dengan
dimulainya pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014, dua
Peraturan Presiden (Perpres) yang berhubungan dengan fasilitas kesehatan bagi
pejabat negara, sempat telah ditandatangi dan diterbitkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 16
Desember 2013. Keduanya adalah. Perpres No 105 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Paripurna Kepada Menteri dan Pejabat Tertentu, dan Perpres No 106 Tahun 2013 Tentang jaminan
Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara.
Kedua Perpres tersebut
seyogianya, memberikan fasilitas pelayanan dan pemeliharaan kesehatan paripurna,
dan termasuk berobat ke rumah sakit di luar negeri kepada pejabat Negara dan
keluarganya (anak dan isteri). Pejabat negara yang mendapatkan fasilitas
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Perpres No 105 tahun 2013 yaitu Menteri
yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan
dan fasilitas setingkat menteri. Dan pejabat tertentu adalah pejabat yang
memimpin lembaga pemerintah non
departemen, pejabat eselon 1 , dan pejabat yang diberikan kedudukan atau
hak keuangan dan fasilitas setingkat
eselon 1. Sementara dalam Perpres No 106 tahun 2013, yaitu pimpinan lembaga
tinggi negara meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR RI, Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Hakim Mahkamah Agung (MA).
Dan perlu dijelaskan
bahwa yang namanya pelayanan dan pemeliharan kesehatan paripurna sebagaimana
dimaksud kedua Perpres tersebut, tentunya pelayanan dan pemeliharan kesehatan
secara keseluruhan serta maksimal dan
lengkap atau sempurna, bahkan termasuk berobat di rumah sakit termahal dengan
fasilitas terlengkap di luar negeri.
Kedua Perpres tersebut,
dipastikan telah memberi keleluasaan bagi pejabat negara dan keluarganya untuk
berobat keluar negeri, dan meskipun biaya berobat di rumah sakit luar negeri
menggunakan sistem penggantian biaya dimana biaya rumah sakit akan diganti oleh
negara melalui APBN untuk pejabat negara dan melalui APBD untuk pejabat daerah.
Ironisnya Perpres
tersebut hanya berlaku singkat pasca
diberlakukan dan ditandangani oleh Presiden SBY. Tepatnya secara resmi dicabut
oleh Presiden SBY 14 hari setelah ditandatangani dan dua hari menjelang masuk
tahun 2014. Mungkin selama perjalanan pemerintahan di Negara ini, baru kali inilah
peraturan yang pernah dikeluarkan Presiden yang usianya terlalu singkat yakni
hanya 2 minggu atau 14 hari.
Pertimbangan Presiden
SBY menganulir kedua Perpres tentunya karena
adanya wacana negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang menganggap
kedua perpres tersebut tidak tepat. “Kami dengar kuatnya persepsi seolah ini
diistimewakan dan dianggap kurang adil, meskipun konsepnya tetap konsep asuransi.
Maka saya putuskan kedua Perpres itu saya cabut dan tidak berlaku” kata
Presiden SBY usai memimpin Rapat Kabinet Terbatas di Istana Bogor (Senin 30
Desember 2013).
Pasca ditandatanganinya
kedua Perpres tersebut atau sebelum dicabut SBY, memang pemberlakuan kedua
Perpres tersebut tak begitu mempolemik. Kritikan hanya datang dari mantan Ketua
Umum NU Hasyim Muzadi dan Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka.
Hasyim Muzadi,
menganggap kedua Perpres tersebut bentuk kezhaliman yang dilakukan pemerintah
dan mendesak pemerintah untuk mencabut kedua Perpres tersebut. Dikatakannya memberikan
fasilitas keuangan negara secara berlebihan ditengah kemiskinan ekonomi rakyat
serta derita karena bencana alam adalah sebuah kezhaliman. Lalu dari Anggota
Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka, menilai Perpres No 105 dan 106 tahun 2013
yang memberikan pegobatan gratis ke luar
negeri kepada pejabat negara dan keluarganya sungguh menyakitkan bagi rakyat.
Menurutnya pemerintah tak pro rakyat karena menerbitkan kedua Perpres tersebut,
sementara anggaran yang dialokasikan pemerintah bagi rakyat miskin hanya Rp
19.225 per orang per bulan.
Memang kalau kedua
Perpres jadi diberlakukan atau tidak dicabut Presiden SBY, dapat dipastikan
bahwa ketidakadilan dan wajah diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara akan terlihat semakin nyata. Tentu sangat miris
mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh
negara kepada pejabat negara dan keluarganya, sementara rakyat miskin masih
sangat banyak bertebaran di negeri ini, dengan kondisi kesehatannya yang
memprihatinkan serta terabaikan pelayanan kesehatannya .
Kendati presiden
mengeluarkan kedua Perpres tersebut berdasarkan pertimbangan resiko dan beban
tugas para pejabat negara, namun tetap
sangat tak adil jika dinilai perbandingan anggaran yang dialokasikan pemerintah
untuk pelayanan kesehatan bagi pejabat negara dengan rakyat miskin.
Tentu sangat miris
mendengar keistimewaan dan kemewahan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh
negara kepada pejabat negara dan keluarganya. Jurang perbedaan kembali terlihat
secara vulgar dan kasat mata dalam kehidupan sosial di negara yang masih sangat
banyak rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Ironisnya kebanyakan pejabat yang mendapat
fasilitas wah tersebut, bisa menjabat
karena kepercayaan yang diberikan rakyat secara langsung, dan rakyat memberikan
kepercayaan itu kebanyakan dari kalangan rakyat miskin yang tak mampu berobat
dan beli obat ketika mederita sakit.
Apapun pertimbangannya,
langkah Presiden SBY mencabut kedua Perpres tersebut adalah langkah yang tepat.
Namun demikian penulis menganggap bahwa pencabutan kedua Perpres yang sudah
diterbitkan merupakan tindakan konyol. Dalam hal pembuatan dan penerbitan
peraturan dari Presiden , setelah Keppres No 87/P/2013 tentang Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar
dan Maria Farida, yang diputuskan tidak berlaku oleh PTUN Jakarta, maka pencabutan
kedua Perpres inilah tindakan konyol berikutnya yang dipertontonkan Presiden
SBY ke hadapan publik republik ini. Ini adalah kekonyolan yang dipertontonkan
oleh Presiden SBY kepada publik di penghujung tahun 2013.
Seharusnya kekonyolan
ini tak akan terjadi, jika Presiden SBY tidak gegabah menerbitkan kedua Perpres
tersebut. Setidaknya SBY takkan pernah menerbitkan kedua Perpres tersebut, jika
Presiden SBY memang peka dan punya hati nurani serta pertimbangan persfektif bahwa
menerbitkan peraturan yang demikian akan menimbulkan kesenjangan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tapi apa boleh buat, kedua
Perpres telah sempat diterbitkan meskipun akhirnya dinyatakan dicabut dan
dihapus sendiri oleh Presiden SBY.
Presiden SBY ibarat menjilat kembali ludahnya yang sudah diludahkan. Meski
dianggap tindakan konyol Presiden SBY yang terjadi di penghujung tahun 2013, namun
tetap ada nilai positifnya, paling tidak kekonyolan Presiden SBY menerbitkan
lalu mencabut kedua Perpres itu, tidak lagi menambah beban kesenjangan dalam
kehidupan bermasyartakat, berbangsa dan bernegara di negara republik ini.
Baca juga di sini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar