Ketika
Presiden SBY Terbukti Kangkangi UU
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Gugatan Koalisi
Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK), yang di ajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, untuk membatalkan Keppres No :
87/P/2013 tentang Pengangkatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria
Farida, akhirnya dikabulkan PTUN Jakarta.
Gugatan dengan Nomor
Perkara : 139/G/2013/PTUN-JKT tersebut, dibacakan pada Senin tanggal 23
Desember 2013 lalu, oleh tiga Hakim PTUN yang menangani perkara tersebut antara
lain Teguh Satya Bhakti, Elizabeth IEH L Tobing dan I Nyoman Harnanta. Inti
putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan pemberlakuan Kepres No: 87/P/2013
karena dinilai bertentangan dengan Undang Undang No 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Tepatnya melanggar pasal 15, pasal 19 dan pasal 20 (2)
yang mengatur soal integritas calon hakim MK dan pencalonan hakim MK yang harus
dilaksakan secara transparan dan pastisipatif, serta tentang pemilihan harus
dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.
Sebagaimana layaknya
putusan pengadilan, maka putusan PTUN tersebut seyogianya ada konsekwensi
hukumnya, yaitu putusan hakim itu harus dilaksanakan, Patrialis Akbar dan Maria
Farida telah bertugas beberapa bulan sebagai hakim konstitusi di MK seharusmnya
segera hengkang. Tapi karena terhadap putusan PTUN tersebut masih mendapat
perlawanan hukum melalui upaya hukum banding oleh Presiden, sehingga putusan
tersebut belum menjadi putusan hukum yang tetap (belum inkrach).
Pernyataan Menko
Polhukam Djoko Suyanto, yang menyatakan pemerintah akan melakukan banding dan
tengah menyiapkan memori banding atas putusan PTUN tersebut, termasuk Patrialis Akbar dan Maria Farida yang juga melakukan upaya banding, memberi peluang
bagi keduanya untuk tetap menghuni MK dan melaksanakan
tugas peradilan di MK, atau setidaknya menunda hengkangnya kedua hakim
konstitusi itu dari MK, karena tahapan proses hukumnya masih agak panjang karena
setelah upaya hukum banding, serta masih ada lagi upaya hukum kasasi.
Keppres yang
ditandatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan payung hukum pengangkatan
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida, secara tertulis telah resmi diputuskan
oleh lembaga peradilan resmi yaitu PTUN Jakarta, telah melanggar peraturan yang
lebih tinggi yaitu UU dalam hal ini UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Meskipun putusan PTUN
itu belum bisa dieksekusi atau dilaksanakan, karena belum inkrackh, Setidaknya
putusan PTUN Jakarta yang membatalkan berlakunya Keppres yang dikeluarkan
Presiden SBY, telah mengusik kredibilitas Presiden SBY sebagai kepala
pemerintahan. Sebab, sudah ada sebuah keputusan pengadilan yang menyatakan kebijakan
Presiden SBY yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk Keppres, telah dinyatakan
mengangkangi UU. Pengertian sederhana dapat dikatakan Kebijakan SBY atau lebih
spesipik lagi tindakan SBY selaku Presiden RI pernah dinyatakan oleh pengadilan
telah bertentangan alias mengangkangi UU.
Meskipun Presiden SBY
telah bertindak melanggar hukum melalui Keppres No : 87/P/2013 yang
ditandatanganinya, tapi secara hukum administrasi negara, putusan PTUN tidak
ada sanksi pidana dan perdatanya. Sehingga kalaupun misalnya putusan PTUN telah
menjadi putusan inkrach, SBY selaku pembuat Keppres No : 87/P/2013, takkan mendapat
sanksi pidana atau perdata, paling hanya sebatas keppresnya tak berlaku dan terdepaknya
Patrialis Akbar dan Maria Farida dari MK. Namun diluar konteks hukum, kebijakan
Presiden SBY yang dikeluarkannya dalam bentuk keputusan yang bernama Keppres
itu, membuat tercorengnya citra Presiden SBY dan citra pemerintahan dibawa
kepemimpinannya.
Memang tudingan negatif
soal pengangkatan dua hakim konstitusi akhirnya mengarah kepada SBY. Apalagi kalau
dirunut kebelakang, ternyata pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida
memang tidak sesuai mekanisme yang disyaratkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, karena tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan
partisipatif. SBY juga dituding telah melakukan tindakan yang salah dan
dicurigai adanya kepentingan tertentu dibalik pengangkatan kedua hakim
konstitusi tersebut melalui payung Keppres yang telah dikeluarkan Presiden SBY
Karena menyangkut
kredibilitas kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu sangat disayangkan Keppres
No : 87/P/2013 yang dikeluarkan Presiden SBY sampai dinyatakan bertentangan
dengan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi wajar kalau dicurigai
ada kepentingan dalam hal pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida, Yang
pasti Keppres No : 87/P/2013 selaku payung hukumnya telah membuat penilaian
miring, dan membuat kesan ternyata pemerintahan tertinggi di negeri ini tak profesional
dalam memproduksi peraturan, dan seolah tak mengerti hirarkhi per undang-undangan.
Presiden SBY ataupun bawahan
SBY yang ngurusin pembuatan tak mungkin tak tahu kalau level Keppres masih dibawah
UU, bahkan tingkatannya masih dibawah Peraturan Pemerintah (PP) dan Praturan
Presiden (Perpres). Dan tak mungin juga tak tahu kalau PP, Perpres begitu juga
Keppres, berposisi sebagai peraturan organik, maksudnya sebagai peraturan untuk
melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, temasuk UU dan UUD 1945. Dan setiap
peraturan kastanya dibawah UU, diproduksi harus mengacu dan tak boleh
bertentangan dengan UU dan UUD 1945.
Dengan telah diputuskannya
Keppres No : 87/P/2013 bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2003, membuktikan memang
ada kesengajaan kalau pengangkatan kedua hakim konstitusi tersebut, tanpa melalui
proses rekruitmen sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 24 Tahun 2003. Sebab hirarkhi
perundang-undangan yang mensyaratkan Keppres tak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, tak dijadikan pedoman atau alias diabaikan.
Tak salah rasanya
ketika putusan PTUN tersebut keluar, maka ketika itu pula Presiden SBY dinyatakan
terbukti mengangkangi UU Mahkamah Konstitusi, kendati sebaliknya Presiden SBY masih
berpeluang dinyatakan tidak mengangkangi UU MK, atau tetap dinyatakan
mengangkangi UU MK, sebab Keppres No :
87/P/2013 tersebut masih diuji lagi melalui proses banding ataupun proses
kasasi.
Baca juga di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar