Kamis, 25 April 2013

PBB dan Polisi Lindungi Koruptor




PBB dan Polisi Lindungi Koruptor

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Penolakan Susno Duadji Duadji selaku terpidana Kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan Kasus Korupsi Dana Pengamanan Pilkada Jawa Barat, ketika hendak dieksekusi, oleh pihak kejaksaan Tinggi DKI dibantu Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Negeri Bandung, telah mengusik pelaksanaan penegakan hukum di republik ini. Penolakan atas penjemputan paksa yang dilakukan ekskutor kejaksaan di kediamannya Rabu, 24 April 2013, berlangsung alot dan sempat terjadi perang argumen antara pihak kejaksaan dengan Susno Duadji. Akibat penolakan tersebut akhirnya eksekusi di kediaman Susno gagal dilakukan kejaksaan.  Susno Duadji selanjutnya minta pengamanan kepada pihak kepolisian, dan akhirnya Susno Duadji dibawa ke Mapolda Jawa Barat. Di Mapolda Jabar, upaya kejaksaan untuk melakukan eksekusi juga gagal, dan setelah itu Susno Duadji minta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Yang menjadi persoalan atas penolakan Susno Duadji ketika hendak dieksekusi adalah persoalan dasar hukum eksekusi yaitu Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Susno Duadji. Satu sisi pihak kejaksaan melakukan eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pihak Susno Duadji. Dan sesuai Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, maka selaku terdakwa Kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan Kasus Korupsi Dana Pengamanan Pilkada Jawa Barat, Susno Duadji harus dihukum selama 3 tahun 6 bulan penjara. 

Sementara Susno Duadji yang ngotot menolak untuk dieksekusi, berargumen bahwa putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasinya, tidak mencantumkan perintah penahanan 3 tahun 6 bulan penjara. Ditegaskan mantan Kabag Reskrim Polri dan mantan Kapolda Jawa Barat tersebut, bahwa putusan Maahkamah Agung tersebut hanya tertulis menolak permohonan kasasinya dan membebankan biaya perkara kepadanya sebesar Rp 2.500. Selain itu Susno Duadji juga menilai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah cacat hukum karena salah menuliskan nomor putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dalam hal ini Susno Duadji menganggap kasusnya tersebut telah selesai.

Penolakan itu dilakukan karena Susno Duadji melihat ada celah yaitu ketidaktegasan dari putusan Kasasi Mahkamah Agung. Dan itu dimanfaatkan Susno Duadji sebagai upaya penghindaran dari hukuman badan. Jika memang ada celah, bisa saja Susno  Duadji berupaya memanfaatkan celah tersebut, apalagi dia adalah mantan penegak hukum dan perwira tinggi polisi dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi serta jabatan terakhir Kabag Reskrim Polri. 

Namun yang sangat disayangkan upaya penolakan dilakukan Susno Duadji saat hendak di eksekusi oleh Kejaksaan, tak semata memanfaatkan celah hukum, yang dianggapnya ada dari putusan Mahkamah Agung. Susno Duadji juga nyata-nyata memanfaatkan kekuatan partai politik untuk mem back up penolakan eksekusi terhadap dirinya. Selain itu Susno juga terkesan memanfaatkan pihak kepolisian.

Sebagai kader (meskipun kader baru) di Partai Bulan Bintang. Susno Duadji melibatkan kekuatan massa Partai Bulan Bintang. Tak bisa disangkal jika penolakan eksekusi tersebut telah diback up kekuatan massa dari Partai Bulan Bintang. Sebanyak 50 orang dari Brigade Hizbullah yang merupakan Ormas Partai Bulan Bintang, telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kediaman Susno Duadji, di Jalan Dago Pakar Raya No 6 Kelurahan Mekarsalayu Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, sebelum tim eksekusi dari kejaksaan datang. 

Sejumlah pengurus termasuk Ketua DPW PBB Jawa Barat  Arif Budiman dan Sekretarisnya Tatus Sudarta,  serta sejumlah pengurus teras DPC PPB se Jawa Barat  juga hadir di kediaman Suno Duadji. Bahkan informasinya Susno berani keluar kamar setelah Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra dating ke kediaman Susno. Sebagaimana dikatakan Sekretaris DPW PPB Jawa Barat Tatus Sudarta, bahwa kehadiran massa Brigade Hizbullah di rumah Susno Duadji juga untuk mengamankan Susno Duadji yang dikatakannya sebagai asset Partai Bulan Bintang, Ditegaskannnya juga bahwa kehadiran massa Brigade Hizbullah atas instruksi langsung pimpinan PBB Yusril Ihza Mahendra. 

Kehadiran Yusril Ihza Mahendra saat berlangsungnya perdebatan antara pihak kejaksaan dan Susno Duadji, menguatkan bahwa PBB memang mem back up Susno Duadji. Apalagi Yusril dengan tegas mengaku kepada wartawan bahwa kapasitasnya hadir di kediaman Susno Duadji sebagai Ketua Majelis Syuro PPP dan bukan sebagai Pengacara Susno Duadji.  Selain itu argumen pembelaan dari Yusril, sebagai bentuk dukungan penolakan eksekusi terhadap Sudno Duadji yang dicetuskannya kepada wartawan, sama dengan argumen yang dicetuskan Susno Duadj saat menolak eksekusi, merupakan pernyataannya sebagai Ketua Majelis Syuro PBB. 

Kehadiran polisi di rumah Susno Duadji juga terkesan tak netral. Polisi cenderung berpihak kepada Susno Duadji. Permintaan Susno Duadji untuk diamankan seketika dikabulkan pihak kepolisian, malah permintaannya untuk dibawa ke Mapolda Jabar juga dikabulkan pihak kepolisian. Padahal jika polisi menempatkan posisinya sebagai pihak keamanan seharus eksekusi berjalan dengan lancar,  dan kalau pun ada upaya perlawanan untuk menghalangi eksekusi, polisi yang berada di kediaman Susno Duadji diminta atau tak diminta harus menghalangi upaya penghalangan eksekusi dari pihak Susno Duadji, karena eksekusi yang dilakukan jaksa adalah upaya penegakan hukum yang merupakan amanat peraturan perundang-undangan. Sangat aneh rasanya jika polisi melakukan pembiaran ketika ada upaya menghalangai penegakan hukum. Ironisnya sikap polisi terkait pelaksanaan eksekusi terhadap Susno Duadji, sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan sikap polisi saat memeriksa Susno Duadji dalam kasus yang sama, yaitu ketika kasus ini masih ditangani polisi. Malah saat kasus in masih diitangani polisi, Susno Duadji sempat dipaksa polisi untuk diperiksa.

Pihak Polda Jabar melalui Kabid Humas Polda Jabar Kombes Martinus Sitompul menjelaskan bahwa pihaknya memberikan perlindungan kepada Susno Duadji saat hendak dieksekusi karena sesuai pasal 12 ayat 3 UU No 2 Tahun 2012 Tentang Polri, dinyatakan bahwa tugas Polri adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat baik jiwa dan raganya. Pernyataan Kabid Humas Polda Jabar tersebut, justru memposisikan polisi tak netral dan terkesan melindungi Susno Duadji yang saat itu posisinya sebagai terpidana kasus korupsi yang hendak di eksekusi, bukan masyarakat yang pantas untuk dilindungi karena terancam jiwa dan raganya. 

Pihak kepolisian juga berargumen bahwa polisi betindak netral dan berupaya mengamankan situasi dan membawa Susno Duadji ke Mapolda  Jabar uintuk mencegah terjadinya benturan, karena saat hendak dilakukan dieksekusi situasi di kediaman Susno tak kondusif karena ada dua kelompok di kediaman Susno Duadji yaitu personil kejaksaan yang akan melakukan eksekusi dan kelompok ormas yang berupaya melindungi Susno Duadji. Hal itu kemudian ditegaskan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, bahwa Polda Jawa Barat tidak berupaya menghalang-halangi eksekusi. Pihak Polda Jabar dijelaskan Kapolri hanya melaksanakan tugas melakukan pengamanan untuk menghindari bentrok antara tim jaksa eksekutor dengan pihak Susno Duadji, sebab kedua kubu sempat bersitegang karena Susno Duadji menolak eksekusi. 

Okelah, jika demikian alasan polisi, dan bisa diterima akal kalau Susno Duadji diamankan ke Mapolda Jabar untuk menghindari terjadinya benturan. Anehnya, setelah saat di Mapolda Jabar ternyata eksekutor dari kejaksaan yang tetap berupaya mengeksekusi Susno Duadji, juga tak berhasil  melakukan eksekusi,  padahal secara logika jelas tak mungkin terjadi benturan jika dilakukan eksekusi dilakukan setelah Susno Duadji di Mapolda Jabar. Jadi sangat berasalan jika muncul tudingan polisi tidak netral dan terkesan melindungi Susno Duadji dari upaya eksekusi.

Putusan MA ditafsirkan berbeda pihak Susno Duadji dan dijadikan alasan penolakan eksekusi terhadap dirinya, namun secara substantif putusan MA yang menolak kasasi Susno Duadji tak serta merta membebaskan Susno dari jeratan hukuman, sebab amar putusan MA, yang ditafsirkan tak tegas oleh Susno, juga tak menegaskan adanya pembatalan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukum Susno Duadji selama 3 tahun 6 bulan penjara.  Intinya Susno Duadji sudah pantas disebut sebagai terpidana kasus korupsi alias koruptor. 

Karena Susno Duadji telah dianggap sebagai koruptor, maka upaya pem back up an sebagai bentuk pembelaan yang ditunjukkan PBB terhadap Susno Duadji yang juga kader dan calon legislatif  PBB, saat Susno Duadji menolak untuk dieksekusi, tak salah dianggap tindakan melindungi seorang koruptor. Informasi terkait adanya pembelaan ekstra dari PBB  saat Susno Duadji menolak eksekusi, telah dibaca, didengar dan disaksikan publik, Penilaian dan opini pun telah terbangun, intinya mencap PBB telah melindungi seorang koruptor. Cap sebagai partai pelindung koruptor adalah konsekwensi yang harus diterima PBB.

Demikian pula halnya dengan sikap polisi yang dinilai tak netral saat pelaksaan eksekusi terhadap  Susno Duadji. Meskipun berdalih dengan berbagai alasan, bahwa polisi tak menghalangi proses eksekusi, namun sikap yang dipertontonkan polisi terkait penolakan eksekusi oleh Susno Duadji, tekesan dinilai telah melindungi Susno Duadji yang notabene seorang koruptor dari upaya eksekusi yang telah dilakukan kejaksaan. (***)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA