Caleg
Cewek,
Masih Sebatas Caleg Ecek-Ecek
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Betapa terkejutnya
aku, ketika mendengar seorang cewek muda (masih anak gadis) yang bertetangga
denganku, digaet sebuah partai besar, dan dijadikan calon legislatif, untuk
DPRD Tingkat II di kota tempat tinggalku. “ Koq partai besar dan punya nama,
bisa-bisanya merekrut caleg perempuan seperti itu?” tanyaku dalam hati setelah
mendengar informasi tersebut.
Tanda tanyaku
sangat beralasan, soalnya cewek muda yang
direkrut sebagai caleg ini, tak punya modal apapun agar
layak dicalegkan. Finansial tak memadai, karena dia masih dalam tanggungan
orangtuanya, yang mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima. Lalu pengalaman
politik juga nol besar. Memang almarhum kakeknya, dulunya pengurus partai yang
mencalegkannya, dan kakeknya sempat jadi anggota DPRD melalui PAW, sementara si caleg tak pernah aktif sebagai kader partai
tersebut.
Tiga hari yang
lalu, aku membaca koran lokal yang merilis berita daftar calon legislatif salah satu partai besar di
kotaku. Dan
daftar caleg partai tersebut, terdapat sejumlah nama caleg cewek
alias caleg perempuan yang kukenal. Diantaranya ada dua nama caleg perempuan
berada dalam satu dapil (daerah
pemilihan). Yang satu masih satu kelurahan denganku. Lalu wanita yang
satunya lagi adalah temanku yang kukenal sejak kecil, dan dia masih tinggal tak
jauh dari rumah orangtuanku. “ Waduh… Partai Besar dan terkenal piawai dan
selektif merekrut caleg, koq mencalegkan kedua perempuan tersebut ?” tanyaku
juga dalam hati setelah mengetahui kedua wanita ini dari koran lokal tersebut.
Si caleg perempuan
pertama, orangtuanya termasuk kenal baik samaku, secara finansial (jika
mengandalkan politik uang) dia memang berpeluang menang, karena orang tuanya
dikenal banyak uang dan royal dalam soal menggelontorkan uang. Orang tuanya
juga pengurus teras partai tersebut. Sayangnya, selain masih muda,
kapasitasnya di kancah politik masih bau kencur, Dia juga baru menjadi penghuni partai yang mencalonkannya sebagai caleg, dan
itupun karena faktor orang tuanya.
Caleg perempuan
yang kedua, memang punya pergaulan yang luas, tapi dia bergaul dengan kalangan
tertentu. Bukan maksud mau menjelekkan, kalau ditanya semua orang yang kenal
dengannya, termasuk masyarakat di lingkungan kelurahan tempat tinggalnya,
selain keluarganya, takkan ada yang simpati dengan sosok wanita paruh baya ini.
Secara pengetahuan politik tak ada apa-apanya. Jika pun kerap terlihat ikut di berbagai organisasi secara berpindah-pindah, dia hanya dikenal sebagai penggembira dan tekesan sebagai bungle.. Orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya, juga
terkesan sangat antipati dengan gaya dan model pergaulan caleg perempuan yang satu ini. Ironisnya saat kutanya, sejumlah
keluarga dekatnya, juga mengaku takkan memilihnya pada Pemilu Legislatif
mendatang.
Sehari setelah
itu, aku juga mendengar cerita dari isteriku, kalau dia baru bertemu isteri
salah seorang mantan anggotaku. Isteri mantan anggotaku itu memberitahkun
kepada isteriku bahwa dia juga menjadi caleg salah satu partai yang merupakan
partai lama dan berbasis Islam. “ Alamak… Koq bisa-bisanya partai ini merekrut
caleg perempuan, yang tak berpeluang meraup suara ?” gumanku dalam hati
setelah mendengar cerita ibu dari putra semata wayangku.
Kenapa aku
memvonis dia tak berpeluang meraup suara, karena sepengatahuanku, dia itu
wanita yang waktunya kebanyakan mengurus anak dirumah, dan kurang bergaul
dengan tetangganya. Dan sepengetahuanku dia dan suaminya sudah beberapa kali
berpindah tempat tinggal.
Aku juga kembali
teringat, sekitar sebulan sebelumnya, isteriku juga pernah cerita dia didatangi seorang perempuan teman kecilnya yang
mengaku akan menjadi caleg dari salah satu partai nasional berbasis Islam. Dia
minta dukungan isteriku dan keluarga. Karena teman kecil dan bekas tetangga,
isteriku langsung bersemangat untuk mendukungnya, dan sempat mengajakku untuk memilihnya. Aku hanya tersenyum, dan mengatakan kepada isteriku,
kalau aku kelak takkan memilihnya. “ Selama kita berumah tangga, tak sekalipun
dia pernah mendatangimu dan bersilaturrahmi denganmu. Kenapa saat dia mau caleg
dia teringat mendatangimu?” kataku memberi pandangan kepada isteriku, dan isteriku pun
terdiam.
Kujelaskan lagi
bahwa suami caleg teman isteriku itu, sering ketemu samaku di salah satu kedai
kopi terkenal di kotaku. Kuceritakan kepadanya, bahwa suami si caleg yang saat
ini punya jabatan di pemerintahan, kerap satu
meja samaku saat ngopi. Tak hanya aku, kebanyakan orang yang selalu minum kopi
di kedai kopi itu, menganggapnya sebagai pejabat pelit.
Soalnya, sangat jarang dia mau membayar
minuman orang yang satu meja dengannya. Dan aku sudah pernah mengalami minum
satu meja dengannya, dan saat dia beranjak duluan, hanya minumannya saja yang
dibayarnya. Setelah kujelaskan, lalu kutanya sama isteriku “Pantaskah isteri
orang yang seperti itu jadi caleg pilihan ?”. “Iya juga ya, dia datang samaku
karena ada maunya,” ujar isteriku. “ Berarti
modelnya sama dengan suaminya. Memang kuakui kalau dia itu juga agak
sombong,” sambung
isteriku lagi membalas cerita dan pertanyaanku.
Sekitar sepuluh
hari yang lalu, di sebuah warung kopi dekat rumah tempat biasa aku mangkal
bersama kawan-katan sekampung, aku bertemu dengan salah satu caleg partai Islam
yang juga dikenal sebagai salah satu ustad muda di kampungku. Setelah ngalur
ngidul cerita peluang temanku tersebut, akhirnya aku bertanya, siapa saja caleg
perempuan yang dicelegkan satu dapil dengannya. Dia pun ,menyebutkan nama-nama
tiga caleg perempuan satu dapil dengannya tersebut, dan ternyata tak satupun
yang kukenal. Namun dia sedikit menerangkan, kalau ketiga caleg perempuan
tersebut, dua diantaranya keluarga ketua dan sekretaris partai yang
mengusungnya sebagai caleg. Kembali aku miris mendengarnya, seraya mengguman
dengan nada bertanya. “ Koq, bisa gitu ya ?”
Satu hari yang
lalu, di warung kopi yang sama aku dapat informasi lagi bahwa seorang ibu rumah
tangga, yang rumahnya masih dekat rumahku juga dikabarkan mencaleg dari salah
satu partai berbasis Islam. Orang-orang dikedai kopi tersebut, heran dan
terkejut mendengar informasi perempuan itu didaftarkan sebagai caleg. Aku memang kurang kenal dengan sang caleg dan suaminya. Malah sejumlah orang di kedai kopi tersebut juga
masih samar-samar mengenalnya, karena memang orangnya jarang keluar rumah dan
kebanyakan mengurus rumah tangga. Parahnya si caleg juga tak pernah ikut partai
dan organisasi apapun. “ Astaga…. Koq masih ada partai mencari caleg perempuan,
seperti mengkais di tong sampah ?” gerutuku sedikit kasar.
Mungkin esok dan
selanjutnya, kupastikan akan banyak lagi kuterima informasi tentang caleg untuk
DPRD di kotaku, terutama mengenai sosok caleg perempuan. Dari sejumlah sosok caleg perempuan yang telah kusebutkan, kembali beragam
analisa dan estimasi bergentayangan di seputar
benakku. Dari beragam
analisa dan prediksi akhirnya berkonklusi bahwa sebagian besar caleg cewek atau caleg perempuan yang didaftarkan parpai politik di kotaku, masih sebatas caleg main-main alias tak serius, kalau bahasa orang
Sumatera Utara disebut caleg ecek-ecek. Mereka
dicalegkan, hanya sekedar dimanfaatkan dan untuk memenuhi syarat pencalegan yakni kuota 30 persen untuk caleg perempuan sebagaimana yang
diamanatkan peraturan perundang-undangan. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar