Sang
Ustad, Jadi Mantan Ustad
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Ada komen dari teman
Facebookku bernama Jubeir Siregar. Dia menanggapi tulisanku berjudul “PKS Terjerembab Karena Ikut Setgab”, yang juga
ku share dan kujadikan sebuah catatan FB ku, (karena tulisan itu telah terbit
dan juga sempat headline di kompasiana,com). Dia menanggapi tulisanku itu dengan nada
bertanya : “Bang
Simbolon, ustad kan dah dibekali dengan iman dan ilmu, itu yang buat aku sedih,
kok bisa terjerembab duitnya kan dah banyak, apalagi dia presiden PKS”
Komen
temanku ini kuanggap menarik dan menggelitik. Lalu langsung kubalas pula
komennya, “Lufthi dikenal sebagai ustad,
dia diangkat sebagai pimpinan PKS karena mungkin pertimbangan sosok ustad serta
iman dan ilmunya, tapi nyatanya dia korup. Tapi yang jelas dia tidak lagi ustad
yang punya iman dan ilmu, karena kasusnya...tepatnya dia sudah jadi Mantan
Ustad. Karena menurutku atau mungkin
juga menurut kebanyakan orang, status Ustad itu harus bagi orang yang bersih
dari tindakan kejahatan (termasuk korup)”
Terlepas tanggapanku itu apakah tepat atau tidak bagi
yang membaca, yang jelas bagiku ustad itu adalah sosok yang bersih dan jadi
panutan. Maka menurut pola pemikiranku yang punya ilmu agama islam kategori
pas-pasan ini, bahwa status Ustad adalah bukan status sembarangan. Artinya,
sosok ustad bagiku adalah orang yang taat beribadah dan punya ilmu keislaman yang
mumpuni, selain itu ustad haruslah sosok tak tercela secara moral, etika dan
performannya.
Dulu sewaktu masih
anak-anak, aku memandang sosok ustad dengan pemikiran sederhana saja. Sesuai
dengan pola pikirku saat itu, yang namanya ustad itu adalah seorang yang taat
beribadah, pandai berceramah, bisa dan dipercaya jadi imam sholat, serta bisa dan
fasih bawa tahtim, tahlil dan doanya baik saat ada perwiridan atau kenduri,
yang utama lancar dan fasih baca ayat suci Al Quran.
Saat itu, aku juga sangat
terkesima dengan salah seorang ustad yang
juga guru di pengajianku (Sekitar tahun 1973 sampai 1978, aku sempat
ngaji di Madrasah Ibtidaiyah Swasta di kotaku yaitu Pematangsiantar, dan Insya Allah aku memang tamat meskipun sebatas
tamat madrasah ibtidaiyah yang setingkat sekolah dasar). Sang ustad itu bernama
Abdul Khalik Bakran dan orang kebanyakan memanggilnya Ustad Bakran. Saat itu
meskipun dia saat itu belum bersatus haji, namun dia dipanggil dengan panggilan
ustad karena memang semua orang memanggilnya ustad. Selain guru ngaji madarasah
tempatku mengaji, dia juga dikenal sebagai penceramah. Pokoknya dia kuanggap
bisa segalanya dalam soal agama. Selain sebagai penceramah, dia juga sering
jadi imam sholat di masjid, dan dia sering daulat bawa doa diberbagai acara seperti
acara wiridan dan hajatan kendurian ataupun pesta. Selain itu dia juga punya
jiwa seorang pemimpin, dia memimpin madrasah tempatku mengaji dan memimpin
majelis taklim dan perwiridan, serta aktif sebagai pengurus organisasi islam.
Yang membuat aku tambah
terkesima dengan sosok keustadannya, yaitu dia mampu mengobati sejumlah
penyakit dan meyadarkan orang kesambet atau kemasukan (kalau dikampungku
disebut tersapuh). Penyembuhan
penyakit dan penyadaran orang kesambet dilakukan melalui amalan-amalan ayat-ayat suci Al Quran
yang dibacakannya. Malah yang kutahu dia tidak pernah dan tak mau menerima
bayaran ketika menyembuhkan orang yang sakit yang datang kepadanya, karena dia
tak buka praktek pengobatan. Aku masih ingat, karena aku beberapa kali
disembuhkannya saat sakit deman tinggi dan kesambet. Sosok ustad itu sekarang
sudah tiada, dan kabarnya sekitar tahun 90 an dia wafat di negara tetangga
Malaysia, dia terakhir bermukim disana, dengan aktivitas sebagai ustad juga. Dan
bagiku dia tetap sosok yang pantas menyandang ustad, dan tak tergugat sampai akhir hayatnya.
Untuk pemikiranku
dikondisi sekarang ini, menurutku dan mungkin menurut penilaian sebagian besar
orang, seorang sosok yang berlabel ustad, idealnya tak jauh beda dengan
penilaikanku saat masih aku kecil. Syaratnya taat beribadah, punya ilmu
terutama ilmu keislaman dan tak kalah
penting yaitu punya keimanan. Dan semua penilaian itu datangnya dari kalangan ummat.
Memang julukan atau
label sebagai ustad melekat kepada seseorang bukan karena ada penyematan secara
resmi, berdasarkan jenjang kepangkatan atau pendidikan, karena memang tak ada
di negeri ini lembaga resmi yang mengangkat dan memberikan label ustad pada
seseorang, dan tak ada pula lembaga yang berhak memecat seseorang sebagai
ustad. Label ustad memang berdasarkan penilaian ummat dan itu terlabel karena
sosok seseorang itu memang pantas dianggap sebagai ustad.
Selain taat ibadah dan punya
ilmu, yang paling penting penilaian itu juga menyangkut kadar imannya, karena seseorang
dianggap sebagai ustad juga karena dinilai punya kadar iman yang baik, sehingga
dapat jadi panutan, dengan parameter penilaian yang sederhana yaitu tak tercela
secara moral, etika dan performanya. Itulah, yang membuatku spontan menanggapi
komen suadara Jubeir Siregar atas tulisanku, dengan penilaian kalau Lufthi Harun Ishaaq kuanggap
tidak lagi sebagai ustad alias sudah
menjadi mantan ustad.
Memang Lufthi Hasan
Ishaaq secara hukum belum dianggap bersalah, dan statusnya masih tersangka,
namun harus dipahami bahwa titel ustad tak ada hubungannya dengan hukum positif
negara ini. Pencngangkatan dan pencopotannya sebagai pemegang gelar ustad bukan
wilayah hukum positif atau tapi wilayah penilaian masyarakat dengan salah satu parameternya
adalah kadar keimanan. Dan harus
dipahami pula bahwa, titel ustad adalah titel terhormat yang tak bereselon dan tak
punya jejang kepangkatan. Titel merupakan penganugrahan dari ummat untuk
seorang sosok islam yang taat, punya ilmu dan beriman.
Jadi kalau Lufthi Hasan
Ishaaq tidak lagi kuanggap sebagai sosok Sang Ustad, tapi sudah jadi Mantan Ustad,
sebab berdasarkan kacamata penilaianku selaku seorang ummat islam yang layak dan
punya hak untuk menilai, dia tak lagi bisa jadi panutan sebagai seorang ustad,
karena integritas keimanannya telah terbeli plus terjangkiti virus kriminalitas,
alias moralnya sudah cacat akibat cedera parah dihantam Kasus Suap Impor Daging
Sapi yang menerpanya. Kalau sang ustad sudah
cacat moral, logikanya memang tak pantas jadi panutan dan tak pantas jadi imam
bagi ummat.
Tak salah juga kalau
aku menilai, bahwa penilaianku ini juga identik dengan penilaian orang lain, bahkan
mungkin merupakan penilaian banyak orang, yang memiliki penilaian sederhana
tentang sosok seorang yang dianggap pantas atau tidak dianggap sebagai ustad.
Bahkan Lufthi Hasan Ishaaq sendiri menurutku punya penilaian yang identik
dengan penilaianku. Buktinya dia, langsung sadar kalau dirinya sudah tak pantas
lagi dianggap sebagai ustad, dan tak pantas lagi yang menjadi imam dan panutan bagi
ummatnya di Partai Keadilan Sejahtera. Buktinya, dia mengambil sikap
mengundurkan diri sebagai pimpinan ummat di PKS tak lama setelah dijadikan
tersangka dan ditangkap. Tak hanya itu dia juga menyadari kalau pun dia
bertahan sebagai imam di PKS, maka dipastikan ummatnya tak bisa berterima
dengan imam seperti dia yang dianggap sudah cacat moral, karena prilaku
korupsinya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar