Produsen
Rokok vs PP No 109 tahun 2012
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Peraturan Pemerintah No
109 Tahun 2014 tentang Pengamanan Bahan
Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan, memang menjadi
momok seram bagi produsen rokok di Indonesia. Soalnya PP yang menjadi turunan
UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 itu,
nyata-nyata mempersempit ruang bagi pengembangan industri rokok di negeri ini, sebab
memuat sejumlah aturan yang amat ketat dan merugikan produsen rokok. Yang jelas
PP tersebut berpotensi menurunkan omset penjualan rokok secara besar-besaran.
Kalau kita lihat
sejumlah butir aturan yang terkandung di PP tersebut, memang sangat jelas
membuat efek takut yang tinggi bagi para perokok untuk membeli rokok, sekaligus
menimbulkan rasa takut yang tinggi bagi produsen rokok, karena aturan itu
memang berpotensi besar menurunkan omset penjualan rokok mereka.
Sejumlah aturan yang
yang menjadi monster bagi konsumen dan bagi produsen rokok diantaranya,
kewajiban bagi produsen rokok mencantumkan Peringatan
Kesehatan dalam bentuk gambar bahaya merokok dan tulisan pada bungkus
rokok. Peringatan dalam bentuk gambar dan tulisan dicantumkan pada bagian atas
kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang, masing-masing seluas 40 % (empat
puluh persen), dengan lima varian gambar pada setiap merek. Peringatan dalam
bentuk gambar dan tulisan diawali dengan kata “Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar
hitam, harus dicetak jelas dan mencolok baik sebagian maupun seluruhnya.
Selanjutnya, produsen
rokok juga diwajibkan mencantumkan tentang kandungan kadar nikotin dan tar,
yang ditempatkan pada sisi samping setiap kemasan rokok dan dibuat kotak dengan
garis pinggir 1 mm (satu millimeter), warna kontras antara warna dasar dan
tulisan. Ukuran tulisan paling sedikit 5 mm (lima millimeter). sehingga dapat
terlihat dengan jelas dan mudah dibaca. Juga masih pada sisi samping kemasan
rokok harus dicantumkan pernyataan “ Dilarang
menjual atau memberi kepada anak berusia dibawah 18 tahun atau perempuan hamil
“ dan larangan itu dicantumkan pada sisi samping kemasan rokok. Selain itu
pada sisi samping lainnya pada kemasan rokok, produsen juga wajib mencantumkan
kalimat “ Tidak ada batas aman”, dan “mengandung
lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya, serta lebih dari 34 zat menyebabkan
kanker”.
Tak hanya
kewajiban-kewajiban mencantumkan kalimat-kalimat berupa peringatan gambar,
pernyataan dan larangan. Produsen rokok juga dilarang mencantumkan kata “Light, Ultra Light, Mild, Extra Mild, Low
Tar, Slim, Special, Full Flavour atau Premium atau kata-kata lain yang
mengindikasikan kualitas, superior, rasa aman dan pencitraan, kepribadian,
ataupun dengan kata-kata arti yang sama.
Selain aturan tersebut,
banyak lagi larangan yang termaktub dalam PP tersebut, yang berpotensi
menurunkan omset penjualan rokok dan menghambat lancarnya proses penjualan
rokok, diantaranya larangan pemberian bahan tambahan pada produk rokok, larangan
iklan dan sponsor rokok untuk banyak objek dan kegiatan yang mempersempit ruang
promosi produk rokok, serta diperluasnya kawasan-kawasan bebas rokok.
Terbitnya PP No
109tahun 2012 tentunya, menimbulkan rasa geram dan gerah produsen rokok. Tak
hanya produsen rokok, petani tembakau dan petani cengkeh yang terimbas langsung
dengan keluarnya PP tersebut juga ikut merasa geram. Betapa tidak, aturan ketat
dalam PP itu, tentu mengurangi omset penjualan rokok dengan jumlah yang signifikan,
Bahkan diperkirakan tak sedikit juga produsen rokok bakal tak produksi lagi
alias gulung tikar. Dengan demikian, pemecatan secara besar-besaran terhadap pekerja
dan buruh pabrik rokok bakal terjadi. Dan jika demikian kondisinya, sudah bisa
dibayangkan jutaan orang yang berkerja di pabrik rokok serta di ladang tembakau
dan cengkeh akan kehilangan mata pencaharian. Untuk diketahui, sekarang ini sekitar 10 juta
orang bekerja di pabrik rokok, dan sekitar 1,25 juta orang bekerja di ladang
tembakau dan cengkeh.
Kendati Peraturan
Pemerintah No 109 tahun 2012 tersebut, sudah diberlakukan sejak tanggal 24
Desember 2012, namum kenyataannya PP monster bagi produsen dan pekerja pabrik
rokok serta petani tembakau dan cengkeh itu, sampai saat ini
pemberlakuannya belum terlihat efektif. PP yang diteken Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono itu, sudah dua bulan berlaku, namun tampilan kemasan semua jenis dan
merek produk rokok yang beredar di pasaran masih tampilan kemasan yang lama.
Tak tahu pasti apa
penyebabnya, tapi mungkin saja aturan organik
atau peraturan turunan dari PP tersebut belum ada, atau memang masih
banyaknya stok rokok yang lama. Atau pun memang konsekwensi atas berlakunya PP
itu belum ada solusi penanganannya. Potensi bakal terjadinya ratusan ribu
hingga jutaan orang pengangguran, dan berlimpahnya stok tembakau dan cengkeh
lokal, antara lain merupakan konsekwensi yang memang harus diantisipasi.
Namun upaya
pembangkangan dan resistensi dari produsen rokok ataupun pihak dan orang banyak
yang dirugikan atas lahirnya PP tersebut juga menjadi penyebab tak efektifnya pemberlakuannya.
Persoalannya, sebelum diberlakukannya PP tersebut, atau masih dalam bentuk
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), sampai diberlakukan sudah banyak protes
yang muncul.
MAKKI (Masyarakat
Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia) yang merupakan afiliasi Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI), Laskar Kretek, Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan
Minuman (SPTRMM), Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI), dari awal atau
sejak masih dibahas, sampai diberlakukan, menolak pemberlakuan PP tersebut.
Petani tembakau di
daerah bahkan melakukaan aksi penolakan pemberlakuan PP No 19 Tahun 2012. “ Sampai kapanpun, dengan
apapun, sampai titik darah penghabisan, kami warga petani tembakau Sindoro dan
Sumbing akan menolak PP No 109 Tahun 2012 karena akan mematikan tembakau.
Tembakau kami mati, kami juga mati. Labih baik mati terhormat menolak tembakau
daripada mati karena kelaparan” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Temanggung, Ahmad Fuad, saat
berorasi unjuk rasa menolak PP 109 Tahun 2013, Selasa tanggal 19 Februari 2013
di Temanggung. aksi serupa juga seblumnya
berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia, baik dari petani tembakau maupun
dari kalangan buruh dan pekerja pabrik rokok.
Pemberlakuan PP No 109
Tahun 2012, tak sedikit pula pendukungnya, terutama dari sejumlah penggiat anti
tembakau. Menurut Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Priji
Sidipratomo, bahwa tanpa pengendalian rokok upaya penghapusan kemiskinan tak
akan membawa hasil. Penduduk miskin paling banyak membelanjakan uang untuk
rokok. Sebaliknya mereka yang paling sedikit mengalokasikan pendapatan untuk
kesehatan
.
Mantan Ketua Pusat
Dukungan Pengendalian Tembakau (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,
Alex Papilaya mengatakan, tidak ada kemajuan berarti dalam pengendalian
tembakau di Indonesia selama 2012. Perselingkuhan industri rokok, politisi, dan
birokrasi menurutnya sudah jadi rahasia umum. Ditambahkannya juga bahwa iklan
rokok semakin merajalela. Tak hanya iklan luar ruangan berukuran raksasa,
sponsor rokok juga sudah merambah berbagai kegiatan hingga tingkat kampung.
Menteri Kesehatan,
Dr Nafsiah Mboi pun tak kalah hebatnya bersuara dalam mendukung pemberlakuan PP
ini. Ditegaskannya, pentingnya arti PP
No 109 tahun 2012, karena bisa menekan biaya ekonomi negara. Menurutnya negara
justru dirugikan dari peredaran dan penggunaan rokok dalam aspek penerimaan
negara. Tembakau di Indonesia pada tahun 2012 menyebabkan pengeluaran sebesar
Rp 231,27 Triliun. Sementara pendapatan negara dari dari cukai tembakau hanya
Rp 55 Triliun. Pengeluaran tersebut antara lain pembelian rokok Rp 138 triliun,
biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan yang mencapai Rp 2,11 triliun,
dan kehilangan produktifitas karena kematian prematur dan morbiditas dan
disibilitas sebesar Rp 91,16 triliun. Besarnya
biaya pengobatan adalah untuk mengobati penyakit-penyakit yang muncul akibat
tembakau. Diantaranya penyakit pernapasan, jantung, pembuluh darah, stroke,
kanker dan gangguan janin.
Pro kontra atas
pemberlakuan PP No 109 tahun 2012, tampaknya bakal menjadi persoalan yang
berkepanjangan. Penolakan atas pemberlakuan PP itu, tampaknya tak bakal
berhenti. Sementara PP itu juga tak bisa berlaku secara efektif, mengingat
banyaknya resiko yang bakal dihadapi jika PP itu dengan tegas dijalankan.
Pemerintah juga terlihat setengah hati untuk menjalankannya, dan aturan dan
perangkat dan aturan pendukung untuk
menjalankan PP tersebut juga tak serius dipersiapkan.
Tampaknya produsen
rokok, sepanjang masih didukung para pekerjanya dan petani tembakau, akan tetap
tak mau tunduk dengan PP 109 tahun 2012. Pembakangan dari produsen rokok atas
pemberlakuan PP itu, juga masih dimungkinkan tanpa ada sanksi yang tegas, karena
sikap pemerintah yang masih setengah hati, dan ini karena ketidaksiapan pemerintah mendukung
pemberlakuan PP tersebut. Apalagi pemerintah tampaknya tak rela pendapatan dari
cukai rokok yang tahun 2013 ini ditargetkan sekitar Rp 80 triluan lebih, gagal
diraih.
Jadi untuk
sementara PP No 109 tahun 2012, akan
menjadi peraturan yang tak berkuku.
Laga panjang antara Produsen
Rokok versus PP No 109 tahun 2012 pun akan
tetap berlangsung. Intinya gambar monster dan kalimat-kalimat seram berupa
larangan dan pernyataan yang bertujuan menakuti orang untuk membeli rokok dan
merokok, untuk sementara tak akan ditemui di kemasan rokok yang beredar. Tak
hanya itu pembakaran uang sebesar Rp 138 triliun dalam bentuk rokok yang
banyaknya sekitar 260 miliar batang pertahun akan tetap berlangsung. Dan
Indonesia pun akan tetap bercokol sebagai konsumen rokok nomor tiga terbesar di
dunia, dan sebagai salah satu produsen rokok terbesar di dunia. (***)
Klik dan Baca
Artkel ini di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar