Siapakah
Pemimpin Hebat Itu ?
Kepemimpinan
dalam organisasi, termasuk di dalamnya perusahaan, masih tetap menjadi isu
penting. Dalam lingkup organisasi yang kecil sekalipun, isu kepemimpinan dapat
berkembang menjadi persoalan yang membelah orang-orang di dalamnya dalam
kutub-kutub yang berseberangan. Perbedaan pandangan yang tidak lagi
terakomodasi atau tidak menghasilkan titik temu berpotensi mendorong sebagian
orang untuk keluar dari organisasi.
Isu
kepemimpinan bukan hanya menyangkut ‘siapa’, melainkan juga ‘bagaimana’. Dalam
studi manajemen, para guru berusaha mencari unsur-unsur apa sebenarnya yang
menjadikan kepemimpinan itu berhasil. “Seperti apa pemimpin yang hebat itu?”
adalah salah satu pertanyaan yang berusaha mereka jawab.
“Apakah
seorang pemimpin layak disebut hebat hanya karena ia memiliki banyak pengikut (follower)?”
Tom Peters, guru manajemen yang bukunya, In Search of Excellence, begitu
mashur, mengobservasi bahwa pemimpin terbaik atau pemimpin hebat bukan
menciptakan lebih banyak pengikut; mereka justru menciptakan lebih banyak pemimpin
(baru).
Alih-alih
berusaha mengukuhkan kekuatan dalam organisasi untuk mempertahankan posisinya,
para pemimpin hebat ini justru berbagi kepemimpinan. Para pemimpin seperti ini,
menurut Peters, memiliki visi jauh ke depan bahwa organisasi akan menghadapi
tantangan yang bisa jadi jauh lebih sukar. Dengan berbagi kepemimpinan,
organisasi dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih cerdas, lebih gesit, dan
lebih kapabel dalam menghadapi tantangan-tantangan itu.
Kepemimpinan
yang hebat lebih memikirkan organisasi dan tugas ketimbang dirinya sendiri.
Meminjam kata-kata guru manajemen Peter Drucker, “Pemimpin hebat memahami
betapa tidak penting dirinya saat dibandingkan dengan tugas yang diembannya.”
Banyak chief executive officer (CEO) yang menyuburkan lahan bagi
tumbuhnya kepemimpinan di dalam organisasi. CEO ini melihat, semakin banyak
orang yang dapat mengasah kemampuan-memimpinnya di tiap-tiap jenjang
organisasi, itu semakin baik. Ia mengambil posisi sebagai penyedia lahan dan
bekal bagi pemimpin-pemimpin baru.
Apakah
mereka tidak takut tersaingi? Tidak. Para pemimpin hebat percaya bahwa karakter
kepemimpinan tertentu dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Orang
seperti mendiang Winston Churchill mungkin tidak tepat bila memimpin di masa
damai. Karakter dan kekuatan kepemimpinannya dibutuhkan justru ketika dunia
sedang kisruh karena perang. Lebih penting dari itu, Churchill sendiri memahami
bahwa di masa damai tugasnya sudah usai.
Pemimpin
hebat tidak takut tersaingi sebab dengan menyediakan lahan dan kesempatan bagi
lahirnya pemimpin baru, ia akan dilihat oleh orang lain sebagai pemimpin
berkarakter yang mendahulukan organisasi dan tugas. Bagi orang-orang seperti
ini, jabatan hanyalah salah satu sarana, bukan satu-satunya dan bukan yang
utama. Pada akhirnya, mengembangkan watak dan visi adalah cara pemimpin untuk
menciptakan dirinya—dan inilah tantangan yang tidak mudah diatasi oleh
orang-orang yang tengah mengasah kepemimpinannya.
Nelson
Mandela berjuang keras untuk menghapus apartheid yang mencengkeram bangsanya.
Ia memang sempat menjadi presiden Afrika Selatan, tapi dengan segera ia memilih
untuk memberi kesempatan kepada orang lain untuk menduduki posisi itu. Ia
dipenjara selama 27 tahun oleh rezim apartheid, dan ia hanya mau menjadi
presiden untuk satu kali masa jabatan (5 tahun). Tanpa menjabat sebagai
presiden, kepemimpinan Mandela tetap dibutuhkan bangsanya. ***
Dikutip
dari http://blog.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar