Banjir
Jakarta
Panggung
Politik Ditengah Musibah
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Bagi warga yang
berdomisili di kota Jakarta, banjir merupakan pristiwa yang sudah menjadi
kalender tahunan kegiatan alam. Warga yang berdomisili di ibukota negara
Republik Indonesia ini pun sudah
terbiasa terkena musibah musiman itu. Mengahadapi dan dan menerima dampak atas musibah
banjir sudah menjadi pengalaman berulang-ulang.
Mungkin di tahun-tahun
sebelumnya, pristiwa banjir tak separah
seperti yang terjadi pada awal tahun ini, dan yang menjadi korban pun mungkin
tak sebanyak pada pristiwa banjir kali ini. Bisa jadi warga tak menyangka kalau
banjir yang terjadi bisa begitu dahsyat. Air bah tak hanya mengarah dan mem peneltrasi
ke perumahan warga yang terletak di lingkungan kumuh dan pinggiran kali, tapi
sudah memasuki ruang-ruang perumahan elit, mall, plaza, gedung-gedung mewah,
kantor lembaga pemerintahan dan Instansi swasta bahkan lingkungan Istana Presiden.
Namun untuk kali ini
air bah sedikit bersikap sedikit adil, sebab kegetiran yang dirasakan akibat banjir untuk kali ini tak
saja hanya berlaku bagi orang miskin dan orang pinggiran kali saja. Pahit
getirnya akibat terjangan banjir, juga dirasakan oleh para kalangan atas.
pemimpin tertinggi negara serta para pejabat tinggi dan para pengusah pun tak
hanya dibuat berpikir, tapi juga dibuat ikut merasakan pahitnya dampak banjir. SBY pun harus menggulung celana sampai
selutuk saat air bah merengsek ke Istana Negara, serta harus blusukan meninjau
kondisi banjir dan kondisi banjir. Tak ketinggalan sejumlah menteri dan pejabat
tinggi harus terpaksa juga buka sepatu dan angkat celana mengarungi air. Pertemuan
membahas banjir pun terpaksa digelar dilokasi banjir.
Sosok Joko Widodo
(Jokowi) dan partnernya Basuki Purnama Tjahya (Ahok), wajar merasa terbebani
atas berlakunya pristiwa banjir yang cukup berkerpanjangan ini. Meskipun
musibah tersebut bukanlah kesalahan mereka,
karena itu sudah diluar kemampuan mereka, tapi karena musibah banjir berlangsung diawal
start kepemimpinan mereka sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta,
sudah pasti membuat mereka dalam kondisi pusing tujuh keliling, serta dibebani
rasa bertanggung jawab.
Secara reaktif Jokowi
telah berbuat. Setidaknya tindakan insidentil yang mereka lakukan sejak
terjadinya banjir sudah sangat maksimal.
Terlepas dari adanya segelintir tudingan miring terhadap Jokowi dan
Ahok, namun kesigapan dan apa yang mereka perbuat lebih tendensius sebagai
panggilan tugas dan tanggung jawab selaku pemimpin pemerintahan di DKI Jakarta.
Karena siapapun tahu sebelum pristiwa banjir melanda, Jokowi sudah punya niat planning
dan sudah berbuat dalam bentuk program untuk
penanggulangannya. Hanya, yang disayangkan banjir yang terjadi akibat pristiwa
alam sudah memang waktunya untuk datang tak bisa dihadang kedatangannya dan tak
sempat lagi terantisipasi.
Terjadinya pristiwa
alam yang sangat berbias terhadap berbagai aktivitas kehidupan masyarakat dan
aktivitas perekonomian di ibukota tersebut, memang memberikan kegetiran dan
kepiluan yang sangat mendalam terutama bagi warga yang menjadi korban. Sampai
sampai ada warga yang meregang nyawa terjebak banjir meskipun masih dalan level
yang tidak signifikan jumlahnya. Kerugian harta belum bisa terdeteksi besar
nominalnya, banjir belum usai, karena disejumlah tempat air masih menggenang
serta merengsek dan menerobos ruang dan tempat, dan kalaupun mulai surut tak
bisa dipastikan tak akan datang lagi karena kondisi alam tak selamanya bisa
diestimasi. Selain kerugian materi, kerugian lain juga bakal menanti, sebab banjir
dipastikan akan menghadirkan dampak lain, yakni potensi besar korban dijangkiti
berbagai wabah penyakit.
Memang harus diakui, dalam merespon pritiswa
banjir yang sangat dahsyat ini, serta sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah
pusat dibawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dan pemerintah provinsi
DKI Jakarta dibawah komando Joko Widodo, terlihat berupaya optimal untuk mengatasi
dan menanggulangi tentunya dalam batas kemampuan yang ada. Sehingga perintah
dan kebijakan yang intinya untuk menanggulangi dan mengatasi pristiwa banjir
yang masih tengah melanda pun tercetus dari bibir Presiden SBY. Saat menggelar
jumpa pers di tepi Sungai Ciliwung, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan
Jatinegara, Minggu (20/1/2013). Didampingi Jokowi, SBY menegaskan dalam
mengatasi banjir untuk jangka pendek dan menengah pemerintah akan
menggelontorkan dana Rp 2 Triliun. Kebijakan presiden itu merupakan hasil rapat
koordinasi bersama sejumlah Menteri,
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, perwakilan DPR, dan perwakilan dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Rapat tersebut digelar sebelumnya
(Minggu siang) di pos pengungsian di GOR Otista, Jakarta Timur.
Keseriusan pemerintah khususnya
pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam merespon musibah banjir kali ini, memang
tampak dibarengi upaya refresif sejak awal terjadinya banjir. Memang yang bisa dilakukan masih tindakan refresif
karena tak ada yang bisa dilakukan untuk melakukan upaya preventif. Kesigapan pemerintah dan aparat dari berbagai kekuatan
yang ada telah terkerahkan untuk meminimalisir banyaknya korban jiwa. Disamping
itu, sikap proaktif dari berbagai kalangan sebagai bentuk empati, juga terlihat.
Dari segi bantuan untuk korban banjir memang tak mengalami kekurangan, dan itu
memang dirasakan para korban, kendati dibeberapa lokasi datangnya bantuan
terkesan lamban.
Sah-sah saja, jika siapapun
dan kelompok manapun melakukan aksi kepedulian, saat pristiwa banjir melanda Jakarta dan sejumlah daerah lainnya. Tak ada
yang bisa melarang aksi itu, dan memang warga yang jadi korban juga sangat
mengharapkan banyak pihak yang peduli.
Dan aksi kepedulian itu memang berlangsung dan dilakukan berbagai kalangan, seperti kalangan lembaga dan organisai
kemasyarakatan, artis, pengusaha, pejabat bahkan elit-elit partai politik.
Sebaliknya kalaupun ada penilaian, miring terhadap berbagai aksi kepedulian
tersebut, karena kesannya musibah banjir dijadikan dan dimanfaatkan jadi ajang
pencitraan individu ataupun kelompok ataupun kampanye dan pencitraan para elit
politik dan partai politik, merupakan sebuah penilaian yang sah-sah juga dan
sangat beralasan.
Musibah momentum
pristiwa banjir sedahsyat ini memang sangat efektif dijadikan panggung politik untuk
pencitraan dan kampanye, sebab pristiwa tersebut menjadi fokus dan sasaran
perhatian mata secara nasional bahkan internasional, karena tersiar via berbagai
media termasuk media sosial. Bahkan tak sedikit para elit politik parpol yang
punya media, memomentumkan aksi mereka untuk ter ekpsos ke publik.
Ironisnya sampai-sampai
aksi kepedulian, seakan jadi rebutan, ditengah terjadinya musibah banjir, juga
tampak nuansa kompetitifnya dan terkesan munafik. Ada sosok pimpinan parpol
yang menghimbau elit parpol lainnya agar tidak memanfaatkan musibah banjir
sebagai ajang pencitraan dan kampanye, sementara sang pimpinan parpol itu
sendiri juga menggelar aksi kepedulian secara terang-terangan membawa memperlihatkan
atribut parpol yang dipimpinnya, dan mengatasnamakan dirinya sebagai calon
presiden.
Memang pragmen pencitaraan dan kampanye yang terjadi dengan bungkusan aksi kepedulian, tak bisa dihindari ditengah terjadinya musibah apapun, termasuk musibah banjir Jakarta. Soalnya, aksi peduli yang tak membawa atribut partai pun bisa saja secara tak langsung dinilai sebagai aksi pencitraan dan kampanye terselubung yang mengarah kepada partai tertentu.
Bisa saja publik
menilai kepedulian Presiden SBY dan Jokowi tidak hanya sebagai rasa tanggung
jawab sebagai pemimpim pemerintahan, tapi ada imbas politisnya, karena
kapasitas mereka diketahui khalayak juga merupakan pimpinan dan elit partai
politik. Begitu juga dengan aksi sejumlah menteri yang ikut blusukan ditengah
banjir, mereka juga ada yang ber back ground sebagai pimpinan ataupun elit
partai tertentu. Termasuk para artis yang ikut aksi peduli juga tak bisa
dikatakan murni punya kepedulian, karena ada sejumlah artis yang buat aksi peduli dan turun blusukan
dilokasi banjir punya kepentingan atau target politik dan ada yang berkecimpung di partai politik. Begitu juga
dengan sejumlah ormas serta lembaga usaha, ikut buat aksi peduli padahal para
pemimpin ormas dan pimpinan lembaga usaha tersebut juga ada yang berkecimpung
sebagai orang parpol atau punya kepentingan politik.
Meskipun ada tujuan
politisnya, aksi kepedulian yang dilakukan kalangan tertentu masih ada nilai
positifnya, yaitu korban musibah banjir merasa terbantu. Ironisnya sejumlah
kalangan atau elit politik melakukan pencitraan ditengah masih berlangsung
musibah banjir dengan modal Lid and Lut alis modal Lidah dan Mulut. Yang
digelontorkanya bukan bantuan buat para korban tapi pendapat dan analisi yang
terlansir melalui sejumlah media. Malah pendapat dan analisi berbagai elit tadi
tak sedikit memicu polemik, sebab bersifat tendensius dan pendiskreditan maupun
bervolume isu-isu politik. Isu yang mengaktual dan jadi polemik serta terus
membahana ditengah banjir masih melanda, yaitu isu yang pemindahan ibukota.
Klik dan Baca
Artkel ini di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar