Antara
Capres dan Gila Capres
Oleh
: M Alinapiah Simbolon
Pemilihan Presiden
masih dua tahun lagi, tapi figure yang berambisi mencalonkan diri jadi Capres sudah
bermunculan. Mungkin masih prematur untuk memprediksi siapa yang menang jadi
Presiden, karena persoalan siapa yang jadi Capres belum dapat dipastikan orangnya.
Abu Rizal Bakri (ARB) yang telah didaulat dan deklarasikan secara remi jadi
Capres oleh Partai Golkar, pun belum terlalu mulus jalannya untuk bertarung
pada pilpres mendatang, sebab riak di internal partainya masih berlangsung
sejalannya adanya wacana dari Akbar Tanjung atas nama Dewan Pertimbangan Partai
Golkar untuk mengevaluasi kembali pencapresan ARB jika elektabilitasnya tak
juga terangkat.
Partai-partai lainnya
memang belum mengusung secara resmi, namun sejumlah figure dari masing-masing
parta sudah “mengudara”. Partai
Gerindra misalnya, sudah memberikan lampu hijau, bahkan sudah memastikan untuk
mengusung Prabowo Subianto, namun belum mendeklarasikan secara resmi, meskipun
ada wacana untuk mendeklarasikannya pada tahun ini. Partai Amanat Nasional juga
sudah mengelus Ketua Umumnya Hatta Rajasa, tapi masih terkesan sebatas wacana
dan belum percaya diri.
Megawati yang sudah berpengalaman
dua kali kalah dalam pertarungan pilpres sebelumnya, sampai saat ini juga masih
menjadi figur sakral yang dimiliki Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sampai
saat ini terwacana bakal tetap didagangkan oleh PDIP pada pilpres mendatang. Partai
Demokrat, tampaknya kehabisan figur yang punya elektabilitas untuk diendus
kepermukaan pasca jatuhnya pamor partai besutan SBY itu akibat banyak petinggi
partai tersebut terlibat maupun terindikasi korupsi.. Sehingga partai pemenang
pemilu 2009 tersebut menyadari bakal turunnya popularitas partai, sehingga belum
berani meng “online” kan figurnya
untuk digadang sebagai capres.
Partai lainnya seperti Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa dan
Partai Hanura juga masih sebatas wacana mengusung figur pilihannya alternatifnya.
Partai Nasdem yang menjadi parpol baru, memang belum mengisukan capresnya,
namun perpecahan internal yang terjadi dalam partai tersebut, yang bermuara
eksodusnya elit-elit partai Nasdem (Harry Tanusudibyo dkk), sedikit banyak
mengindikasikan adanya upaya pemulusan penggiringan terhadap figur tertentu untuk
pilpres 2015.
Belum adanya figur
resmi capres (selain Golkar) karena masih ada yang ditunggu yaitu pertarungan politik di tahun 2014, sebab hasil
Pemilu Legislatif 2014, adalah parameter dan barometer untuk finalisasi
pengusungan capres dari masing-masing partai peserta pemilu pada Pilpres 2015.
Capres
dan Gila Capres
Mewartakan dan
membicarakan figure Capres untuk Pilpres 2015, dan itu sudah mengaktual
dan menjadi menu dan topik ulasan di
hampir semua media termasuk media sosial. Terlepas nanti resmi jadi capres atau
tidak, sejumlah nama yang muncul diantaranya Abu Rizal Bakri, Jusuf Kalla,
Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Dahlan Iskan,
Djoko Suyanto, Hamengkubuwono X dan sejumlah figur lainnya termasuk sosok
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, sudah menggelinding bahkan sudah menjadi
objek poling di sejumlah lembaga survey. Bahkan ada nama yang masih terkesan
malu-malu kucing di promosikan, salah satu diantaranya isteri Presiden SBY
yaitu Ani Yudhoyono.
Sejumlah nama diatas
terendus ke publik karena figur-figur tersebut memang secara proses politik telah
terarah dan diarahakan untuk figur capres dan telah terendus ke ranah publik.
Kendati ada diantara figur tersebut bukan dari kalangan partisan (non
partisan), tapi proses figurisasinya telah ter instal di kancah perpolitikan nasional.
Diluar figur-figur muncul
pula segelintir figur dadakan, yang kehadirannya ingin meramaikan bursa capres.
Rhoma Irama dan Farhat Abbas adalah figue-figur yang dimaksud, dan kehadirannya
meramaikan capres tampaknya hanya dengan
modal tampang dan cap selebritis. Malah
realita bahwa kedua kemunculan kedua figur ini karena outo setting (mereka setting sendiri) sudah bisa terbaca oleh publik.
Terlepas Rhoma Irama
juga pernah berkecimpung secara setengah-setengah di dunia politik dan berada
di salah satu partai parpol islam yaitu
PPP dan pernah menjadi legislatif di masa orde baru, namun figur Rhoma Irama
sangat kental didunia panggung seni dan
bukan panggung politik. Karir politik Rhoma Irama pun tenggelam oleh karir keartisannya.
Bahkan pencalonannya sebagai capres banyak mengundang kecaman oleh latar
belakangnya yang suka kawin siri. Tak dipungkiri kalau Rhoma Irama banyak
memiliki fans karena lagu-lagunya, tapi bukan berarti sosok Rhoma Irama akan
digemari ketika ingin berkecimpung di dunia politik. Realitanya, memang banyak yang ngefans sama lagu
Rhoma Irama tapi tidak mengidolakan sosok Rhoma Irama. Dan itu terbukti, ramai publik yang mengecam bahkan mencaci
makinya melalui media sosial terkait pencalonannya sebagai bakal capres.
Yang lebih ironis
adalah kehadiran sosok yang mengaklaim sebagai capres muda yakni Farhat Abbas. kemunculannya
untuk menjadi capres tanpa modal apapun yang bias diandalkan. Dari segi
ketenaran, Farhan Abbas dikenal publik karena dia suami artis Nia Dania. Sebelum
dia kawin dengan Nia Daniati siapapun tak kenal dengan orang yang bernama Farhat
Abbas, meskipun dia anak pejabat tinggi di lembaga penegakan hukum (ayahnya Abbas Said sekarang merupakan
anggota Komisi Yudisial).
Sebagai seorang figur pengacara,
dia menjadi pengacara yang dikenal karena suami Nia Daniati dan bukan pengacara
terkenal, seperti kebanyakan pengacara yang sudah punya nama. Okelah, bolehlah
Farhat Abbas dikatagorikan dari kalangan selebritis, karena dia suami artis,
namun kehadirannya jelas tak punya modal apapun selain modal tampang, karena
secara karir politik juga tak pernah ada yang tahu kiprahnya, karena kemungkinan
besat tak pernah ada kiprahnya di dunia politik.
Terlepas berhasil atau
tidak ikut jadi capres (meskipun kemungkinan besar takkan berhasil), tapi kedua
figur tersebut, telah mewarnai hiruk pikuk bakal capres di negeri ini. Berbeda
dengan figure capres lainnya, sebagaimana telah dikemukan kemunculannya sebagai
figure capres karena proses politik. Untuk
kedua figur ini yang membuat menarik adalah nilai konrtoversinya. Dari
kemunculannya sudah menimbulkan cemooh karena terkesan auto setting. Rhoma Irama muncul jadi capres diawali oleh
pengusungan dari segelintir orang melalui wadah fans nya sendiri yaitu Soneta Fans Club
Indonesia (SFCI). Lalu muncul pula secara tiba-tiba organisasi ulama karbitan dengan
nama Wadah Silahturahim Asatid (Wasiat Ulama) yang juga menyatakan mendukung
Rhoma Irama sebagai capres. Duh…. Ironisnya dalam perjalanannya cari dukungan justru
nyata-nyata tak dapat dukungan alias ditolak oleh kalangan ulama kondang dari
Nahdlatul Ulama, dari Dewan Syuro PKB.
Farhat Abbas juga
muncul dan mengklaim sebagai capres dari poses trik outo setting yang dilakukan oleh Farhat Abbas sendiri dengan memanfaatkan
media social. Parahnya Farhat Abbas memanfaat sosial media twitter dengan ocehan
diskriminatifnya terhadap Wakil Gubernur DKI Jaya Basuki Tjahya Purnama alias
Ahok. Ratusan bahkan mungkin ribuan twitt nya menagatasnamakan Capres Muda,
bernada diskriminatif terhadap Ahok. Kecaman dan perlawan yang bertubi-tubi terhadap
ocehan Farhat Abbas di Twitter, sedikit menguntung untuk membuat ketenaran Farhat Abbas sebagai seorang yang
mengklaim sebagai capres, bahkan ocehan di twiiter tersebut dirilis dan
berkembang melalui pemberitaan dan penyiaran banyak media baik media cetak
maupun elektronik.
Berbeda dengan capres
dari partisan dan non partisan punya peluang secara politik karena punya track record
mumpuni secara politik , tentunya peluang Rhoma dan Farhat Abbas untuk ikut
bertarung sebagai Capres pada Pilpres 2015, sangat-sangatlah minim, dan bisa
dikatakan tak punya peluang sama sekali. Meskipun ada partai politik islam yang
mengapresiasi pencalonan Rhoma Irama dan tidak menolak saat Rhoma Irama minta
dukungan, tapi partai tersebut tampaknya hanya sekedar beretorika karena tak mau
secara menolak frontal. Malah bisa juga
ada kesan partai tersebut memanfaatkan popularitor sosok yang digelar Sang Raja
Dangdut tersebut.
Kalau untuk mengusung
Rhoma sebagai calon tampaknya jauh panggang dari api, karena sebuah partai apalagi itu partai islam
takkan bodoh dan tak mau mengambil resiko mengusung seorang figur yang meskipun tersohor
didunia artis, tapi tersohor pula kelemahannya sebagai sosok yang doyan kawin
siri, apalagi isu kawin siri sudah menjadi trend negatif secara nasional pasca
kasus Bupati Garut Aceng Fikri.
Masih lebih mendingan
Rhoma Irama yang punya sedikit pengalaman politik dan terlihat berupaya terus cari
dukungan. Kalau untuk pencalonan Farhat Abbas, sudah jelas dan sudah dipastikan tak punya
gaung politik sama sekali. Jangankan partai politik, organisasi murahan pun tak
akan melirik dan mendukung pencapresan Farhat Abbas, kecuali organisasi itu
dibentuknya sendiri. Malah ayahnya sendiri
yang merupakan darah dagingnya, menganggap tak serius pencapresan anaknya
tersebut, dan juga menganggap anaknya tak layak jadi Capres. Tak hanya itu sang
ayahnya juga menganggap Farhat Abbas punya rasa percaya diri yang berlebihan.
Jelas kalau orang tuanya sendiri sudah menilai Farhat Abbas orang
yang punya rasa percaya diri berlebihan, artinya bisa dipahami kalau sosok yang
sudah dinilai berlebihan dalam tanda kutip bisa dikatakan mengarah pengertian
diluar batas normal alias Abnormal. Terlalu dini untuk menilai Farhat Abbas sebagai
sosok pribadi yang Abnormal alias disebut Gila, meskipun caranya terkadang
dianggap gila. Namun, sebagai sosok yang mengklaim diri sebagai capres muda,
namun tak dibarengi upaya dan modal untuk mengarah kepada capres sebenarnya,
maka tak salah kalau menilai Farhan Abbas sebagai seorang yang Gila Capres.
Rhoma Irama yang juga selaku sosok yang mengklaim sebagai
capres, memang tak segila Farhat Abbas yang juga mengklaim sebagai capres.
Namun, kengototan Rhoma Irama, dengan tidak menyadari banyak sisi kelemahannya sebagai
sosok yang punya background negatif, bukan tak mungkin Rhoma Irama juga dinilai sebagai sosok yang
Gila Capres. Mungkin jika Rhoma Irama dan Farhat Abbas tetap ngotot jadi
capres, tapi pada kenyataannya kedua sosok tersebut kelak tak ikut bertarung
pada Pilpres 2015 mendatang, bisa saja keduanya dinilai publik sebagai Capres
Gila.
Karena kurun waktu menuju Pilpres 2015 masih dua tahun lagi,
tentunya masih berpeluang munculnya lagi figur-figur capres. Pertanyaannya, Diantara para capres
yang akan muncul, akankah ada muncul lagi sosok-sosok yang Gila Capres ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar