Islam Tidak Membela Islam
Berbicara tentang islam, kita
memerlukan berbagai penyikapan yang objetif tanpa menanggalkan dalil naqli dan
aqli. Dua asas tersebutlah yang dipakai perintis madzhab Syafi’iyah
– Imam Muhammad bin Idris as - Syafi’iy – dalam istinbatul hukmi, mencoba
memadukan paradigma dua gurunya. Begitulah kita
seharusnya dalam menyikapi
segala problematika yang selalu menghimpit umat islam dalam berbagai zaman.
Akhir-akhir ini banyak berkembang ideologi islam garis keras
atau yang biasa kita sebut dengan islam radikal. Mereka mengecam segala wacana
baru yang mereka anggap sebagai bentuk kafirisasi antek-antek yahudi dan amerika
terhadap umat islam. Tak jarang mereka melakukan berbagai distorsi yang
berujung pada kerusuhan dan pengkafiran dalam melawan wacana tersebut.
Legalisasi fatwa hukuman matipun sering dijadikan pilihan. Dengan pretensi
bahwa para penggagas wacana-wacana baru tersebut telah melakukan penodaan agama
yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Lumrah kita temui berbagai Organisasi Masyarakat (Ormas)
Islam yang mengatasnamakan dirinya sebagai forum pembela islam, dalam tanda
kutip –menurut hemat penulis –mereka hanyalah pembela secara persuasif bukan
secara diskursif atas apa yang mereka bela dan mereka salahkan. Apalagi sifat
fanatisme mereka yang memuncak, acap kali telah menjadikan mereka bebal
terhadap sesuatu yang dianggap benar dan salah. “Berkontemplasi” sepertinya
tidak merupakan rujukan utama bagi mereka dalam menanggapi berbagai
problematika yang mendera. Kedangkalan berfikir membuat mereka selalu bersikap
anomali sebagai seseorang yang mengaku islam dan pembela islam. Hal inilah yang
seharusnya kita hindari dalam beragama.
Sedikit mendukung apa yang telah ditulis Ulil Abshar Abdala
dalam sebuah tulisan dengan judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,
-penulis mencoba mengambil gagasan epik yang telah ditulis Ull dalam tulisan
tersebut dan sedikit menanggalkan predikatnya sebagai koordinator JIL yang
telah diblacklist publik -. Islam menurutnya adalah sebuah “organisme”
yang hidup; sebuah agama universal yang selalu hidup dan berkembang seiring
dengan denyut nadi manusia. Islam bukanlah ibarat patung yang tidak boleh
dipegang dan diutak-atik. Kecenderungan “Memonumenkan Islam” inilah yang harus
kita rubah. Paradigma seperti ini hanya membuat islam membeku dan cenderung
menjadikan islam stagnan dan sulit untuk berkembang.
Itulah yang menjadi salah satu kelemahan mereka yang
menganggap dirinya sebagai pembela islam. Mereka cenderung lebih literal dan
kurang berfikir maju. Salah satu bukti kebebalan mereka adalah ketika Gus Dur
secara blak-blakan mengatakan bahwa “Assalamulaikum” bisa diganti dengan
“selamat pagi,dsb.”. Mulai muncul berbagai tanggapan yang sangat memojokkan Gus
Dur. Mulai dari anggapan bahwa Gus Dur gila, kurang waras, hingga –maaf- kafir.
Salah satu tokoh masyarakat yang ikut angkat bicara, menuturkan bahwa Gus Dur
sangat naïf karena telah merubah cara orang menutup sholat dengan mengganti
lafal Assalamualaikum dengan selamat pagi, dsb. Padahal, jika kita
cermati lebih dalam, orang sekaliber Gus Dur yang sudah diakui keilmuannya
pasti telah mengerti bahwa difinisi sholat menurut syafi’iyah adalah suatu
pekerjaan yang diawali dengan “takbiratul ikhram” dan diakhiri dengan salam.
Tidak mungkin Gus Dur dengan mudahnya merubah sesuatu yang telah menjadi
kepastian beribadah. Gus Dur hanya merubah esensi salam dalam bentuk ungkapan
yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Beginilah kalangan islam yang
menganggap dirinya pembela islam. Mereka sering bersikap fundamental dan
radikal, yang justru sangat membahayakan afiliasi mereka dengan keimanan
mereka.
Bukti lain kebebalan mereka adalah presepsi mereka bahwa
islam adalah agama partikelir arab. Mereka tidak bisa membedakan mana yang
kreasi budaya dan mana yang merupakan nilai fundamental. Pemikiran konservatif
mereka hanya beranggapan bahwa kreasi budaya arab termasuk ajaran islam. Sekali
lagi perlu kita ketahui bahwa islam adalah sebuah agama universal yang selalu
fleksibel dan comfortable di segala zaman dan peradaban. Islam
mengajarkan nilai-nilai universal yang kontekstual dan bukan literal. Esensi
dan substansinya bisa kita terjemahkan dalam segala konteks. Terlalu naïf jika
kita hanya menganggap bahwa islam adalah merupakan cerminan budaya arab yang
harus selalu kita anut di setiap zamannya.
Para pembela islam ini pernah marah dan mengecam tindakan
Ulil Abshar Abdala dalam memberikan wacana baru tentang islam yang telah
ditulis dalam “Menyegarkan kembali Pemahaman Islam” sebagaimana yang telah kami
jelaskan diatas. Salah satu ide pokok tulisan yang menuai kritik hebat adalah
ketika Ulil menulis bahwa ada beberapa kreasi budaya arab yang tidak wajib
diikuti oleh umat islam, yaitu memakai jilbab. Berbagai pihak mengecam wacana
Ulil tersebut. Bahkan sampai timbul sebuah fatwa yang telah disepakati oleh 80
ulama’ di Jawa yang melegalkan hukuman mati bagi Ulil karena dianggap telah
murtad dan melakukan penodaan agama. Padahal –lagi-lagi –jika kita cermati
lebih dalam, apa yang ditulis Ulil ada benarnya. Sebenarnya esensi dan sebab
utama memakai jilbab adalah untuk menutup aurat, yang dalam hal ini adalah
rambut dan sekitarnya. Jika kita mengatakan bahwa yang ditulis Ulil adalah
sebuah kesalahan, maka kitalah yang salah. Karena sesungguhnya menutup aurat
bisa kita aplikasikan dengan berbagai pakian yang memenuhi kriteria menutup
aurat, tidak hanya dengan jilbab. Mungkin jalan budaya arab pada waktu itu telah
mendahului peradaban sesudahnya tentang tata cara menutup aurat, jadi yang ada
dibenak kita adalah menutup aurat harus terkesan seperti mereka (orang arab).
Gus Dur pernah memuji Ulil sebagai Ibnu Rusyd (averros) yang membela
habis-habisan kemerdekaan berfikir dalam islam dan telah banyak dikafirkan oleh
orang yang berfikiran sempit dan takut akan perubahan. Gus Dur menilai
kesalahan Ulil adalah karena telah menentang anggapan salah yang telah bediri
kokoh di otak kaum muslimin.
Entah kenapa begitu mudahnya seseorang yang menganggap
dirinya sebagai pembela islam tersebut menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap
orang yang mereka anggap merongrong islam. Apakah mereka kurang mengetahui
bahwa kita dianjurkan berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai apa yang kita
lakukan membahayakan kelangsungan eksistensi keimanan kita. Sudah jelas apa
yang telah ditulis oleh Syeikh Abdullah ibn husein ibn Halim ibn Muhammad
ibn Hasyim Ba’alawy dalam kitabnya Sulam at-Taufiq dalam suatu pembahasan
yang menjelaskan macam-macam murtad. Jika kita timbang, sangat percuma ibadah
yang kita lakukan bertahun-tahun hilang dalam sekejap saja hanya karena kita
melakukan sesuatu yang tanpa disadari merusak keimanan kita. Secara tidak
langsung merupakan sebuah bukti bagi kita bahwa islam tidak membela mereka yang
mengatasnamakan dirinya sebagai orang islam yang membela islam.
Itulah kenapa dalam Al-Qur’an dejelaskan “udkhulu
fi-assilmi kaafah”, kita dianjurkan untuk masuk islam secara kaffah dan
tidak setengah-setengah. Hanya karena fanatisme kita terhadap islam, kita mudah
terpancing dengan suatu masalah tanpa mengerti batas-batas yang seharusnya
tidak kita lewati. Untuk masalah membela dan tidak membela islam, penulis
mengutip sekelumit tulisan K.H. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya “Tuhan Tidak
Perlu Dibela”, “Informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam
sebenarnya tidak perlu “dilayani”. Cukup diimbangi dengan informasi diri yang
‘Positif Konstruktif’.” Sedikit penulis tekankan, bahwa menyikapi masalah yang
dianggap sebagai hal yang merugikan islam dengan memperkaya informasi diri
secara positif dan konstruktif itu lebih utama dari pada harus rela
menggadaikan iman kita dengan saling menyalahkan dan berlaku distortif terhadap
keislaman orang lain. Kita seharusnya tidak mau jika apa yang kita lakukan
hanya semata-mata membela islam ternyata tidak dibela oleh islam. Jika hal
tersebut masih berlangsung dalam kehidupan berislam kita tanpa adanya kesadaran
dari tiap individu, maka keislaman kita akan semakin tidak berefleksi dan akan
menemui problematika hebat yang intensitas dan implikasinya semakin tinggi dan
semakin gawat bagi kelengsungan masa depan beragama kita semua. Waallahu
a’lam bisshowab.
Ditulis oleh : Fawwayz An-najwa
Dikutip dari kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar