Pilgub
Sumatera Utara
Hanya
Sebatas Mencari Pemenang
Oleh
: M. Alinapiah Simbolon
Atmosfer menjelang Pemilihan
Gubernur Sumatera Utara, memang tak semeriah dan semembahana ketika berlangsungnya pristiwa Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta yang telah dimenangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Wajar, sebab fokus
perhatian publik terhadap agenda politik Pilgub Sumut tak sedahsyat
dibandingkan dengan fokus perhatian publik terhadap momentum Pilgub DKI Jakarta.
Propinsi Sumut memang bukan
DKI Jakarta, dimana fokus perhatian terhadap Propinsi DKI Jakarta lebih
menasional karena di wilayah DKI Jakarta lah beradanya markas besar pemerintahan Negara RI dan perangkatnya,
serta menjadi pusat bersemayam para kapitalis kondang, pimpinan berbagai lembaga
swasta, pimpinan organisasi politik dan kemasyarakatan. Disamping itu, DKI Jakarta
juga tempat dimana menjadi kantor pusat pendistribusi informasi ke pelosok negeri yaitu media-media
nasional baik media cetak maupun elektronik, sehingga gaung pemberitaan terkait pristiwa
apapun di DKI Jakarta, termasuk aktivitas
agenda Pilgub DKI Jakarta, baik pada pra
pemilihan, pemilihan dan pasca pemilihan jauh lebih besar volumenya. Pastinya dari berbagai aspek lain juga
Propinsi DKI Jakarta memang lebih punya
nilai dari propinsi manapun di nusantara ini.
Kendati Pilgub Sumut
tak akan bisa mengimbangi gaung Pilgub DKI Jakarta, seharusnya agenda politik
Pilgub Sumut yang hari H pencoblosannya akan berlangsung 7 Maret 2013 mendatang,
sejak awal digulirkan bisa menjadi momentum politik yang menggaet antusias
publik, meskipun tidak secara nasional, paling tidak menggaet antusias pubik
secara regional dalam hal ini publik Sumatera Utara.
Amatan penulis, selaku
orang Sumatera Utara yang bermukim di Sumatera Utara, antusias publik menyahuti
agenda Pilgub Sumatera Utara, jauh dari standar
responsif. Yang paling spesifik adalah minimnya rasa antusias untuk menilai
dan merespon kehadiran lima pasangan calon yang akan bertarung untuk
memperebutkan Sumut 1 dan Sumut 2 diantaranya : (1) Gus Irawan
Pasaribu-Soekirman, (2) Effendi MS Simbolon-Jumiran Abdi, (3) Chairuman
Harahap-Fadly Nurzal, (4) Amri Tambunan-RE Nainggolan, dan (5) Gatot Pujo
Nugroho-T Erry Nuradi.
Mengintip sekilas figur
para pasangan calon yang telah resmi akan bertarung pada 7 Maret 2013
mendatang, semua adalah figur sudah dikenal di Sumatera Utara. Dari semua nama, saat ini
hanya 3 orang yang tak punya jabatan baik jabatan dilingkaran kekuasan politik
dan pemerintahan, yakni Cagubsu Gus
Irawan Pasaribu, Cawagubsu RE Nainggolan (pasangan Cagubsu Amri Tambunan) dan Cawagubsu
Djumiran Abdi (pasangan Cagubsu Effendi Simbolon). Kendati demikian ketiganya
adalah wajah lama di kancah perpolitikan dan lingkungan birokrasi di Simut. Gus
Irawan Pasaribu adalah mantan Direktur Bank Sumut selama 9 tahun. RE Nainggolan
adalah mantan pejabat tinggi di Sumut yang terakhir jabatannya adalah Sekda
Sumatera Utara. Smentara Djumiran Abdi termasuk salah satu tokoh salah satu
etnis yang juga pernah menjadi Calon DPD
dari Sumut.
Sementara untuk figur
cagubsu dan cawagubsu lainnya sampai
detik ini masih berstatus sebagai pejabat baik dilegislatif dan eksekutif.
Cagubsu Efendi Simbolon dan Cagubsu Chairuman Harahap masih menjabat sebagai anggota DPR RI,
Cagubsu Amri Tambunan masih menjabat Bupati Deli Serdang, Cagubsu Gatot
Pujonugroho masih menjabat Gubernur Sumatera Utara (Incumbent). Sementara
Cawagubsu Soekirman (pasangan Cawagubsu Gus Irawan) masih menjabat Wakil Bupati
Serdang Bedagai, Cawagubsu Fadly Nurzal
(pasangan Cagubsu Chairuman Harahap) masih menjabat Wakil Ketua DPRD
Sumatera Utara, dan T Erry Nuradi (pasangan Cagubsu Gatot Pujonugroho) masih
menjabat Bupati Sedang Bedagai.
Minimnya respon sebagian
besar publik Sumatera Utara terhadap figur calon, tentunya disebabkan beberapa
faktor. Penilaian awal adalah bahwa semua calon adalah wajah lama yang masih
berambisi untuk berkuasa menggapai jabatan
Sumut 1 dan Sumut 2 . Lalu kesemua calon juga wajah lama yang yang tak pernah
terbukti integitasnya sebagai figur yang
pro rakyat, sebab semua figur ada yang masih pejabat dan ada yang pernah jadi
pejabat, dan tak terbukti pro rakyat
Selanjutnya, masyarakat
Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat Sumut, sangat terobsesi dan
terkesima dengan sosok Jokowi Ahok, meskipun pedatang namun berhasil menggaer
hari warga DKI Jakarta sehingga berhasil terpilih menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta. Tak bisa dipungkiri gaya dan karakter Jokowi selanjutnya menjadi
mainstream bagi masyarakat Sumut.
Setidaknya sosok pemimpin seperti Jokowi dan Ahok telah memberi penilaian bagi
publik tentang standar pemimpin yang
ideal dan pro rakyat . Masyarakat Sumut sangat mengidamkan pemimpin yang pro
rakyat seperti Jokowi dan Ahok. Keinginan masyarakat Sumut hadirnya pemimpin
seperti sosok Jokowi dan Ahok, ternyata tak tertitiskan pada kelima pasangan Cagub dan
Cawagub Sumatera Utara. Jangankan untuk mengharapkan persis seperti Jokowi dan
Ahok, sepertiganya karakter, sikap, ketulusan serta performance Jokowi dan Ahok tampaknya juga tak ter refleksi dan tak
melekat pada figur-figur Cagub dan Cawagub Sumut yang telah dihidangkan untuk
dicoblos.
Inilah relaita yang
terjadi sehingga minim respon dari sebagian besar publik Sumut atas kehadiran
lima pasangan Cagub dan Cagubsu tersebut. Kondisi tersebut terlihat ketika para
calon turun ketengah-tengah masyarakat
di sejumlah daerah di Sumatera Utara, termasuk yang penulis saksikan ketika
kesemua calon turun ke kota tempat penulis berdomisili. Sama seperti didaerah
lain, respon masyarakat terkesan biasa-biasa saja, tak seperti saat Jokowi dan
Ahok yang turun ke masyarakat saat masih menjadi Cagub dan Cawagub DKI Jakarta.
Kalaupun para calon
berusaha blusukan, seperti yang dilakukan Jokowi dan Ahok dalam mencari simpati
masyarakat, tampak sudah lebih dahulu masyarakat menilai kalau cara dan style
seperti itu, hanyalah sandiwara belaka, karena masyarakat sudah tahu kalau gaya
itu bukan gaya asli figur-figur tersebut. Istilah orang batak “
Nunga hu tanda do ho ! “ (“Sudah ku tahunya siapa kau !”)
Meski kurang laku,
memang blusukan tampaknya tetap dilakukan meski tidak rutin, justru yang
terlihat intens dilakukan adalah aktivitas pertemuan dengan mempertontonkan konsentrasi massa melalui acara yang bersifat
seremonial, agar telihat seolah banyak pendukung. Seperti pertemuan di acara
deklarasi, acara partai, pelantikan organisasi serta berbagai acara dengan nama
beragam, termasuk yang dianggap efektif yaitu acara yang bersifat primordial
yaitu acara adat atau perkumpilan marga serta acara keagamaan. Namun sudah
menjadi rahasia umum, kalau kehadiran massa pada acara-acara seperti itu
sepenuhnya tak murni karena militansi dan respon positif terhadap para calon,
tapi karena adanya nilai rupiah yang diimingkan. “ Yang Penting Jelas !”… “Yang Penting Cair !”, itulah celetukan
yang kerap tercetus, disaat adanya momen-momen seperti itu.
Jadi, jangankan respon masyarakat, kehadiran para
calon terutama pola pendekatan kepada masyarakat juga tak menjadi sajian berita menarik para
awak media. Performa para calon tidak punya nilai jual untuk dipublikasikan. Tidak seperti Jokowi
dan Ahok saat Pilgub DKI Jakarta, yang terus menjadi incaran awak media. Kesan
yang tertangkap justru dari pihak para calon yang sebelumnya melobbi media agar
aktivitas mereka terpublikasi di media. Maraknya
wajah pasangan calon dalam bentuk iklan, serta pemberitaan yang promosif terkait aktivitas para calon di halaman utama berbagai
media cetak di Sumatera Utara. Tak bisa dipungkiri merupakan bentuk piblikasi
tersetting karena sudah adanya kontrak antara pihak calon dan media.
Menyikapi kondisi yang
demikian, tentunya jauh dari harapan untuk masa lima tahun mendatang Sumatera Utara akan dipimpin oleh pemimpin yang pro
rakyat. Siapapun pemenang Pilgub Sumut, untuk sementara jangan diharap ada
sosok yang merakyat seperti Jokowi dan Ahok, ataupun sepertiganya Jokowi dan
Ahok. Warga Sumut yang memilih, masih sebatas hanya memilih salah satu calon
pasangan dari lima pasangan calon yang telah dipampangkan untuk dipilih. Yang
menjadi target dalam Pilgub Sumut hanya sebatas mencari pemenang. Itulah untuk
sementara, sebab mengharapkan pemimpin yang kelak terpilih bisa menjadi peminpin
yang pro rakyat, masih butuh proses. Memang tak tertutup kemungkinan pemimpin
yang kelak terpilih setelah memimpin akan
menjadi berubah peminpin yang pro rakyat. Bisa saja… tapi itukan butuh waktu
dan proses plus niat, karena merubah karakter bukan segampang membalikkan
terlapak tangan. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar