Hardiknas, UN dan Ki Hajar Dewantara
Oleh : M Alinapiah Simbolon
Tanggal
2 Mei merupakan hari bersejarah bagi dunia pendidikan di negeri ini dan
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ditetapkannya 2 Mei
sebagai Hardiknas diambil dari tanggal dan bulan kelahiran Ki Hajar Dewantara
atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yaitu 2 Mei 1889. Ditetapkan tanggal 2
Mei sebagai Hardiknas oleh pemerintah pada tahun 1959, setahun setelah Ki Hajar
Dewantara meninggal dunia (29 April 1958). Dan dasar pertimbangannya adalah
jasa Ki Hajar Dewantara selaku pahlawan nasional dan sebagai pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Perguruan Taman Siswa
satu-satunya sekolah yang didirikannya pada zaman penjajahan khusus sekolah
untuk anak-anak pribumi. Tujuannya sangat mulia yaitu mencerdasakan anak bangsa
yang saat itu berada dalam himpitan kekuasaan penjajah.
Dari
tahun ke tahun gelaran peringatan Hardiknas tetap menjadi tradisi rutin, tidak
hanya sekedar menjadi agenda kegiatan dalam bentuk perayaan saja, tapi
setidaknya peringatan Hardiknas dapat menjadi momentum evaluasi agar pelaku dan
penyelenggara pendidikan termotivasi untuk terus berpacu meningkatkan kualitas
pendidikan.
Tampaknya
pada tahun 2013 ini, moment Hardiknas berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun ini Moment Hardiknas laksana tak punya nilai dan serasa tak ada tujuan.
Soalnya pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat SMA yang ketepatan jadwalnya
berdekatan dengan momentum Hardiknas (tak lama setelah Hardiknas), serta UN
yang diharapkan menjadi parameter penilaian dan evaluasi untuk peningkatan
pendidikan, tenyata penyelenggaraannya berlangsung dengan kondisi kacau balau.
Ada
11 propinsi yang tak bisa tertunda melaksanaan UN tingkat SMU (gagal
melaksanakan UN sesuai jadwal), yang persoalannya adalah soal dan lembar
jawaban UN tak terdisribusikan hingga jadwal pelaksanaan UN. Tak hanya itu,
dengan alasan yang sama, masih ada sejumlah kabupaten di propinsi yang
melaksanakan UN sesuai jadwal, juga tak bisa melaksankan UN sesuai jadwal. Dan
banyak lagi persolan yang terjadi dalam pelaksanaan UN tingkat SMU, yang
kesemuanya dipastikan membuat carut marut wajah pendidikan di negeri ini.
Memang untuk UN tingkat SMP tak ada lagi propinsi yang gagal melaksankan UN
sesuai jadwal, tapi persoalan keterlambatan distribusi soal dan lembaran jawaban
ke sejumlah sekolah masih tetap terjadi.
Terkait
bobroknya penyelenggaran UN tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional selaku penyelenggara UN dan selaku penyelenggara dan penanggungjawab
pendidikan secara nasional, telah meneteskan noda hitam buat dunia Indonesia.
Pastinya tak ada makna untuk peringatan Hardiknas tahun ini. UN dengan segala
persoalannya, telah mencoret wajah pendidikan nasional, dan telah membuat
posisi pendidikan di negeri ini jauh mundur kebelakang. Hardiknas tahun
ini pun telah dinodai oleh bobroknya penyelenggaraan UN.
Momen
Hardiknas tahun ini hanya bisa membuat kita merenung, yakni merenung yang
dibarengi rasa kesal yang mendalam, karena UN yang merupakan agenda pendidikan
nasional dan penilaian akhir kualitas pendidikan anak negeri, telah ternoda.
Dan ironisnya noda tersebut diteteskan oleh penyelenggara utama dan penanggung
jawab pendidikan secara nasional.
Mohon
maaf jika penulis berandai sejenak. Seandainya Ki Hajar Dewantara di alamnya
sana mengetahui kondisi pendidikan di negeri ini, mungkin dia sangat bersedih
bahkan mungkin akan menitikkan air mata. Mungkin juga dia akan membandingkan
kondisi pendidikan saat ini dengan kondisi saat dia masih berjuang memberikan
pendidikan kepada anak bangsa saat negeri ini masih dijajah oleh Belanda.
Betapa
geram dan kesalnya, seorang Ki Hajar Dewantara seandainya dia bisa melihat dan
mendengar dari alamnya sana, ternyata di negeri tempat dia pernah berjuang
mencerdaskan anak negeri, kelanjutan penyelenggaraan pendidikannya berlangsung
amburadul, padahal penyelengaaraannya telah terkonsep dan terprogram secara
nasional, serta diselenggarakan melalui lembaga kenegaraan, dengan fasilitas
dan anggaran yang tersedia.
Seandainya
Ki Hajar Dewantara bisa berharap dari alamnya sana, mungkin dia akan berharap
kepada pemimpin dan penyelenggara pendidikan di negeri ini, agar mengutamakan
penyelenggaraan pendidikan. Mungkin bisa saja dia berkata seperti ini dalam
pengharapannya “ Aku dulu berjuang mencerdaskan anak bangsa tanpa failitas
tanpa anggaran. Aku dulu berjuang dalam tekanan kekuasaan penjajahan kolonial
Belanda, namun aku tak patah semangat memperjuangkan agar anak pribumi bisa
sekolah. Aku dulu mendirikan sekolah khusus untuk anak pribumi, agar anak
pribumi bisa mengecap pendidikan dan punya ilmu. Sekarang aku berharap kepada
pemimpin di negeri yang dulunya negeri tempatku berjuang, agar serius dan
bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. Kuharap anggaran pendidikan
jangan di korupsi, dan pendidikan jangan dijadikan komoditas politik ! Kepada
pemimpin dan penyelenggara pendidikan yang terhormat, renungkanlah kembali
prinsip dan makna slogan pendidikan yang kucetuskan dulu dan masih kalian
gunakan sampai sekarang yaitu Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani ! (***)
Klik
dan Baca Artikel ini di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar