Wabah “ Cair ” Menjangkiti
Pemilukada Siantar
Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH
Pernah suatu ketika penulis mendengar ocehan seorang bocah 7 tahun kepada ayahnya. “ Yah….. tadi ada acara calon walikota, yang datang dikasi duit..... pokoknya ‘cair’ lah yah ! Kalau ayah tadi datang pasti dapatan,” itu adalah sepenggal laporan seorang bocah pada ayahnya.
Laporan sang anak yang bijak dan cepat nangkap tersebut kepada ayahnya, menurut penulis, adalah sebuah diskripsi betapa dahsyatnya gaung bagi-bagi uang yang dilakoni oleh calon walikota untuk medapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat menjelang pemilukada, sampai-pai bocah ingusan pun tahu istilah “cair”. Ini adalah sebuah imbas negatif akibat kondisi proses pembelajaran politik yang sudah menyimpang dari etika demokrasi.
Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kota Siantar, acara yang digelar calon walikota dengan titel sosialisasi, silaturrahmi, tatap muka atau apapun namanya, dapat dipastikan akan dihadiri warga secara berbondong-bondong. Sebab di acara seperti itu terselip sebuah harapan dari masyarakat yang datang, akan mendapat saweran dari sang calon. Seiring berjalannya waktu dan semakin dekatnya jadwal kontes pertarungan politik dalam rangka meraih kekuasaan di
Dalam kondisi seperti ini, acara yang gelar ataupun yang dihadiri calon, bagi masyarakat kebanyakan jadi prioritas untuk dihadiri.. Kehadiran masyarakat datang ke acara seperti itu bukan lagi untuk menilai sang calon, apakah memang berbobot dan pantas untuk dipilih menjadi imam
Harus kita akui, sekarang ini sebagian kalangan masyarakat juga sudah apriori dalam menentukan pilihannya. Tak ada lagi penilaian secara logika, ataupun penlaian secara hati nurani. Mana yang “cair“ itulah yang kemungkinan akan dipilih. Bahkan pemikiran seperti itu semakin mengkristal, mana yang “cair “ nya lebih besar, itu yang pasti dipilih.
Ironis memang dengan pemikiran masyarakat pemilih seperti itu, mungkin kondisi di
Mungkin dikota Siantar kondisinya terlihat lebih parah. Wabah “cair“ semakin menjangkiti pemilukada
Segala kemampuan, termasuk fasilitas jabatan walikota yang masih melekat pada dirinya pun dikerahkannya agar bisa menang dalam pemilihan nanti. Acara pemerintahan pun dimanfaatkannya dan uang pun bertebaran di acara itu. Tak hanya itu, sang incumbent melalui tim suksesnya telah menebarkan angin surga, bahwa pihak sang incumbent secara vulgar berani menggulirkan uang nilainya sangat fantastis kepada setiap pemilih yang menjatuhkan pilihan kepada dirinya.
Calon lain tampaknya juga tak ketinggalan mengambil langkah melakukan bagi-bagi ke masyarakat. Yang lebih seru lagi, ternyata tidak hanya sang incumbent yang berani bermanuver akan membeli suara dengan harga yang fantastis.
Dengan kondisi seperti ini, sudah barang tentu momentum pencairan akan berlangsung lebih semarak. Istilah “Cair” pun semakin mewabah ditengah-tengah masayarakat. Hal itu memang sebuah realita yang terjadi saat ini. Sepertinya sebagian masyarakat sudah tak perduli kalau proses demokratisasi telah ternodai oleh wabah “Cair” yang saat ini telah merasuki jiwa dan pikiran masyarakat. Tapi yang pasti proses pemilukada akan tetap berjalan meskipun dinodai oleh wabah “cair” tersebut. Karena meskipun sudah aturan yang melarang cara-cara seperti itu, dan diharapkan bisa menjadi obat mujarab untuk memberantas wabah “cair” itu, ternyata belum mujarab. Tapi kita masih berharap, karena bisa saja pada saat pada saat hari pencoblosan, wabah “cair” itu memang tak efektif mempengaruhi masyarakat, jika timbul kesadaran masyarakat pemilih untuk menggunakan haknya secara sadar tanpa dipengaruhi oleh uang. Atau paling tidak masyarakat berani mengambul sikap, uang tetap diambil, tapi pilihan bukan oleh pengaruh uang.
Penulis
Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)
Siantar-Simalungun
Catatan :
Telah terbit di Harian Siantar 24 Jam, Selasa tanggal 27 April 2010