Rabu, 26 Februari 2014

Saya Lebih Layak Jadi Capres, Ketimbang si Raja Dangdut Bergelar Profesor


Saya Lebih Layak Jadi Capres,
 Ketimbang si Raja Dangdut Bergelar Profesor

Oleh M Alinapiah Simbolon


Prof. Rhoma Irama (foto : news.detik.com)
Judul tulisan ini, bukan menggambarkan bahwa saya punya hasrat untuk mencalonkan diri jadi presiden. Penting saya garis bawahi, bahwa tak sedikitpun terpikirkan oleh saya untuk jadi calon presiden. Yang pasti sangat mustahil. Jangankan untuk jadi capres, untuk bisa masuk figur yang terwacana jadi bakal capres juga sangat tak mungkin.

Keterkenalan atau popularitas kefiguran memang bisa menjadi salah satu pintu masuk agar bisa terwacana jadi bakal calon presiden. Dengan demikian sudah saya pastikan tak ada sedikitpun peluang bagi saya untuk bisa terwacana jadi bakal capres, karena saya bukan figur terkenal dan saya juga tak berpeluang jadi figur terkenal. Pastinya tak ada satu sisi pun dari sosok saya untuk bisa menjadi populer.

Selain itu saya juga masuk kategori rakyat kelas biasa yang tinggal di pemukiman biasa di sebuah kota sedang di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pergaulan saya juga tak mendukung untuk masuk jajaran orang yang dicapreskan. Saya bergaul dengan orang biasa, dan saya tak punya kapasitas untuk bisa masuk ranah politik praktis karena saya bukan kader partai politik. Intinya jangankan untuk bisa nyapres, untuk bisa Nyawalkot (Nyalon Walikota) di kota kediaman saya, juga sangat jauh dari kemungkinan.  Karena kodrat saya bukan orang yang bisa nyapres, maka angan-angan untuk nyapres tak pernah terlintas dipikiran saya. Saya pun takut ber angan-angan, nanti takut dibilang kurang waras atau gila nyapres.

Lalu saya berpikir, dengan modal kegetolan saya yang hobbi membaca dan mengikuti perkembangan politik di republik ini termasuk yang berkaitan dengan soal pencapresan, ditambah secuil kemampuan meniulis, maka saya berpikir ternyata lebih asyik mengamati, menilai serta membuat pendapat terkait figur-figur yang saat ini sedang terwacana sebagai capres melalui tulisan, ketimbang mengkhayal untuk mencapres. Dan itu sudah saya tuangkan melalui tulisan.

Saya telah menuangkan pendapat melalui sejumlah tulisan, tentang hal-hal yang berhubungan dengan pencapresan dan figur-figur yang sekarang terwacana sebagai bakal capres. Karena saya tipe orang yang kritis, maka tulisan saya menyangkut sejumlah figur bakal calon presiden sangat kental nilai kristisinya. Saya akui saya sedikit ngefans sama figur Jokowi karena sosoknya yang merakyat, sehingga tulisan tentang Jokowi tak ada nilai kritisinya.  Itu karena saya memandang dan menilai sampai saat ini belum ada tak celah terkait figur Jokowi. Soal banjir Jakarta dan kemacetan di kota Jakarta tak saya jadikan celah atau bahan untuk dikritik dalam tulisan saya, karena saya berpandangan objektif, dan menilai soal banjir Jakarta dan kemacetan Jakarta bukan hal yang proporsional di cap sebagai kegagalan Jokowi sebagai pemimpin DKI Jakarta.
Saya tegaskan juga, kalau pun tulisan saya soal Jokowi minus kritik, bukan berarti saya termasuk Jokowi Lovers. Saya bukan pendukung Jokowi, famili tidak dan kenalan pun tidak, dan saya sama sekali tak pernah bertemu Jokowi secara langsung. Saya juga  tak terdaftar sebagai orang yang ikut dalam kelompok yang mendukung Jokowi jadi presiden. Pastinya tak sedikit pun sosok saya punya keterkaitan dengan sosok Jokowi. Sama halnya saya juga tak ada hubungannya dengan figur-figur bakal capres lainnya.

Dari seluruh nama-nama yang sudah terwacana, ada satu nama yang mengusik daya geli saya, sehingga saya merasa tergelitik membahas dan menilai figur tersebut. Figur yang saya maksudkan adalah  Rhoma Irama yang bergelar si Raja Dangdut. Siapa yang tak kenal dengan Rhoma Irama. Sosoknya sangat tersohor sebagai seorang penyanyi dangdut. Wajar saja keterkenalannya membuat dia merasa punya peluang untuk menjadi calon presiden. Dan untuk sementara pencapresannya terus mewacana karena popularitasnya. Ironisnya meskipun popularitas Rhoma Irama sangat tinggi, tapi dari sisi elektabilitas dia kalah dari figur lain yang juga terwacana sebagai bakal capres. Dari hasil survei sebuah lembaga survei, bahwa elektabilitas bakal capres yang bakal digadang oleh partai politik berbasis islam, ternyata elektabilitas Rhoma Irama berada diurutan paling bawah. Lalu dari ketiga kandidat capres yang bakal diusung PKB, Rhoma Irama juga berada diurutan ketiga soal elektabilitas.

Banyak hal lucu yang saya tangkap terkait pencapresan Rhoma Irama. Rasa percaya dirinya mendeklarasikan diri sebagai bakal capres, atas pertimbangan banyaknya dukungan dari rakyat terutama dukungan para penggemarnya dan dukungan para ulama, membuat banyak orang merasa geli. Apalagi kemudian diketahui wadah penggemar bernama Sonata Fans Club Indonesia (SFCI) yang diklaim mendukungnya ternyata hanya berisi segelintir orang yang didramatisir seolah berjumlah besar.

Selain itu organisasi ulama bernama Wasiat Ulama (Wasilah Silaturrahmi Asatidz Tokoh dan Ulama) yang mendukungnya belakangan diketahui hanya oraganisasi ulama karbitan yang namanya tak pernah terdengar sebelumnya.  Dan ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi ulama tersebut terindikasi sebagai ulama tak ekspert dianggap sebagai ulama. Satupun diantaranya tak ada masuk kategori ulama sepuh dan kharismatik, dan tak satupun diketahui tak punya basis..

Selain itu,  klaim Rhoma Irama bahwa dia telah resmi didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai capres, terbukti hanyalah bohong besar, karena belakangan diketahui kalau PKB belum mengusung carpes secara resmi. Yang membuat saya merasa tambah lucu, karena belakangan pemimpin Soneta Grup itu mendadak  punya gelar Profesor yang tak  jelas dari mana juntrungannya.

Memang wacana sosok Rhoma Irama sebagai bakal capres terus menggelinding sampai saat ini. Karena kedekatannya dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan  sempat terwacana sebagai capres yang bakal diusung PKB, membuat Rhoma Irama tetap masuk sebagai figur yang bakal ikut diseleksi sebagai kandidat  capres PKB bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla.

Sayangnya dibanding kedua bakal capres yang masuk godokan PKB, Rhoma Irama ternyata kalah kualitas. Terlepas dari hasil surveri, memang kalau dinilai dari sudut kepemimpinan, inteklektuali serta kemampuan dan penguasaan soal politik, pemerintahan, hukum, dan perekonomian, maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kenegaraan, Rhoma Irama ternyata tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mahfud MD dan Jusuf Kalla.  Itu ternilai, ketika Rhoma Irama bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla menjadi pembicara di Seminar  Politik yang diadakan Fraksi PKB di Gedung MPR RI.

Saat berbicara sebagai narasumber dalam seminiar politik itu Rhoma Irama banyak dicibir dan dinilai tak layak jadi capres, karena pernyataannya yang mengusulkan pembubaran Mahkamah Konstitusi dengan alasan tumpang tindih dengan Mahkamah Agung karena memiliki fungsi serupa. Dia juga menganggap mubazir, sehingga disarankannya MK dilebur kedalam MA.  Pernyataan Rhoma jadi blunder, dan ditanggapi negatif  banyak kalangan. Ada yang menuding Rhoma tak mengerti dan tak pernah membaca Undang-Undang khususnya UU MK dan UU MA, sehingga tak bias membedakan fungsi MK dan MA.
Komentar paling pedas pun terlontar dari mulut Ruhut Sitompul yang pernah menjadi lawan aktingnya dalam Film Sajadah Ka’bah. “Itulah kalau Raja Dangdut ikut politik, kita orang hukum jadi pening,” kata si Raja Sorot yang juga politisi dan jubir Partai Demokrat tersebut. “….Kalau capres pas-pas an ya begitu,”  itulah kalimat lain yang diarahkan Ruhut menyikapi pernyataan Rhoma Irama itu.

Kalau dinilai dari aspek inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan, hukum, termasuk maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan dan kenegaraan, tak salah rasanya jika saya ingin membandingkan diri saya dengan  legendaries Dangdut tersebut. (Ini hanya sekedar membuat perbandingan, tak lebih dari itu, karena sudah saya tegaskan sebelumnya mustahil saya bisa jadi capres, dan itu sudah sebuah kepastian). Diluar popularitas, maka kalau dinilai dari aspek  inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan, hukum, termasuk maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan dan kenegaraan, kayaknya saya lebih layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama meskipun belakangan diketahui dia punya gelar Profesor. Salah satu hal yang membuat saya merasa yakin kalau saya lebih layak nyapres dibanding si Raja Dangdut tersebut, yaitu penilaian saya soal pernyataan Rhoma Irama yang mengusulkan MK dengan alasan punya fungsi yang sama dengan MA. Penryataannya itu menurut saya adalah wujud dari kebodohan Rhoma soal hukum pemerintahan dan ketatanegaraan.

Terkait latar belakang keilmuan terutama penguasaan ilmu tentang hukum, pemerintahan dan tengang ketatanegaraan, yang memang dibutuhkan untuk jadi seorang presiden, kayaknya saya sangat memenuhi syarat dan kelayakan jadi capres ketimbang Rhoma Irama. Kendati saya tak bekerja di pemerintahan, tapi background pendidikan saya adalah Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena saya tamatan SI jurusan Hukum Administrasi Negara. Jadi jika dibandingkan dengan kandidat capres penyanyi dangdut, tentu lebih tinggi ilmu tentang pemerintahan yang saya kuasai ketimbang dia. Karena kami sama-sama belum pengalaman dan belum teruji memimpin pemerintahan. maka saya akan lebih berkemampuan dalam hal memimpin pemerintahan dan negara ketimbang Rhoma Irama. Alasannya karena saya sudah punya modal ilmu dan lebih mumpuni soal hukum, pemerintahan dan tentang ketatanegaraan, yang merupakan modal penting untuk menjadi presiden. Sementara seorang Rhoma Irama yang aslinya hanya tamatan SMA sudah terbukti tak menguasai ilmu hukum, pemerintahan dan ketatanegaraan.

Soal moral,  dibanding figur bakal capres dari penyanyi dangdut yang hobbi kawin siri, maka saya termasuk figur yang lebih bermoral dari Rhoma Irama yang terkenal hobbi kawin siri. Yang pasti saya masih bersih dari noda moralitas termasuk tak pernah kawin siri. Maka secara moral saya lebih layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama.


Lalu kalau ditanya apa modal unggulan yang diandalkan si Raja Dandut tersebut dalam mencapres. Tak lain dan tak bukan hanya popularitasnya sebagai pedangdut dan gelarnya sebagai Raja Dangdut. Tapi yang jelas kemampuan menyanyikan lagu dangdut plus menciptakan lagu dangdut, termasuk gelar profesornya yang tak jelas itu, tak ada korelasinya dan tak dibutuhkan sebagai referensi penilaian agar dianggap layak untuk mencapres. 


Klik dan baca juga di :




Senin, 24 Februari 2014

Motivasi Caleg Masih Sebatas Cari Jabatan dan Pekerjaan


Motivasi Caleg Masih Sebatas 

Cari Jabatan dan Pekerjaan

Oleh  : M Alinapiah Simbolon


foto : berita.muslim-menjawab.com
Menjelang Pemilu legislatif  2014 tampang para calon legislatif yang bertarung untuk merebut kursi DPR RI,  DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI, terpampang, terpancang dan bergantungan dimana-mana. Tampang para caleg yang terbingkai pada Alat Peraga Kampanye (APK), dengan berbagai ukuran baik dalam bentuk baliho, spanduk, stiker dan sejenisnya bertebaran dan bertaburan di berbagai sudut tempat di pelosok nusantara. Pagar, dinding rumah atau dinding gedung, berikut tiang listrik, tiang telepon  sampai tiang jemuran. menjadi lokasi pampangan alat peraga kampanye para caleg. Pepohonan yang nota bene makhluk hidup, terpaksa jadi korban yang terluka dan tersakiti, karena jadi sasaran paku untuk tempat cantolan alat peraga kampanye para caleg. Tak hanya itu, body mobil pun jadi tempat alat peraga kampanye, dan itu dianggap efektif karena bisa bebas bergerak dan berpindah kemana saja.

Gambar para caleg dengan nuansa warna-warni, tak terhindar menjadi pemandangan menyilaukan. Saat ini siapapun yang menoleh kiri kanan dan muka belakang, akan melihat penampakan berupa tampang para caleg baik yang terpancang, yang bergelangtungan maupun yang berseleweran di jalanan. Selain nomor urut para caleg, termasuk nomor partai politik yang mengusung sang caleg, pada alat peraga kampanye tertera juga kata-kata  ataupun kalimat yang seolah menegaskan mereka layak untuk dipilih juga terangkai dan menghiasai gambar tampang para caleg.

Maraknya para caleg yang jual tampang melalui alat peraga kampanye, sebuah gambaran kuatnya ambisi para caleg untuk meraih kursi kehormatan sebagai wakil rakyat. Kondisi seperti itu, hal yang wajar terjadi, dan sudah tradisi musiman yang menggebyar menjelang berlangsungnya helatan demokrasi bernama pemilihan umum legislatif. Memang terkesan menghamburkan uang, apalagi kalau dinominalkan dengan nilai rupiah, sudah pasti tak sedikit uang yang dikeluarkan masing-masing caleg untuk pengadaaan alat peraga kampanyenya. Kalau diglobalkan, jelas tak terhitung jumlah uang yang dikeluarkan seluruh caleg hanya untuk biaya pengenalan wajah melalui alat peraga kampanye.

Meski tak ada jaminan akan efektif membuat para caleg dipilih oleh rakyat, namun pamer tampang melalui alat peraga kampanye terlihat sangat kompetitif terjadi di lapangan. Kesan yang ditangkap dari bertebar dan bertaburnya alat peraga kampanye adalah bentuk keseriusan para caleg agar dikenal dan dipilih rakyat, dengan satu tujuan yaitu meraih dan menduduki jabatan sebagai anggota legislatif.

Berbicara ambisi, dipastikan sebagian besar atau bahkan seluruh caleg berambisi agar terpilih sebagai legislator. Maraknya alat peraga kampanye, bukti para caleg memang berambisi untuk menang. Selain itu tak sedikit dari para caleg yang awalnya hanya sekedar mencaleg atau memenuhi kuato jatah caleg, terutama caleg perempuan, ketika mendekati hari pemilihan, obsesinya berubah menjadi caleg yang ambisius dan menjadi serius bertarung mencari simpati rakyat agar menjadi caleg terpilih. Banyak juga para caleg  yang ambisius tanpa mempertimbangkan peluang dan batas kemampuannya mendapat simpati rakyat.  Bagi yang tak punya materi atau minim materi, maka untuk mewujudkan ambisinya, berusaha maksimal meningkatkan sosialisasi dan bahkan ada yang tak sungkan-sungkan mengumbar janji agar terpilih. Tak sedikit juga caleg yang mengandalkan uang semata, dan  berprinsip uang akan bisa menjadikannya terpilih sebagai legislator.  Munculnya caleg demikian karena masih banyak masyarakat tak punya prinsip, sehingga tak berpikir cerdas dalam menggunakan hak pilihnya atau memilih karena orientasi materi semata.

Jabatan legislatif  adalah jabatan yang diimpikan dan berusaha diraih para caleg. Sebagian besar para caleg yang sudah merasakan nikmatnya kursi legislatif , seperti terkena zat adiktif sehingga ketagihan menduduki jabatan tersebut, dan kembali mencalegkan diri (caleg incumbent atau pertahana). Untuk caleg incumbent atau pertahana, tampak  tak merasa malu kembali mereproduksi diri alias mendaur ulang dirinya seolah dianggap sebagai orang yang merakyat dan peduli sama rakyat, meskipun mayoritas dari mereka ketika menjabat sikapnya tak mencerminkan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Lalu, yang belum pernah merasakan nikmatnya jabatan legislatif, ambisinya untuk meraih kursi legislatir tak kalah dengan ambisi caleg incumbent atau pertahana. Bahkan tak sedikit jumlah caleg yang tak kapok-kapoknya atau tak bosan-bosannya mencalegkan diri, meski sebelumnya sudah beberapa kali menyandang status sebagai caleg gagal.  Ironisnya lagi, ada caleg yang hanya modal tampang doang,  ditambah modal semangat serta modal banyak berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar bisa terpilih.

Jabatan sebagai anggota legislatif  bukanlah jabatan sembarangan. Meski pada prinsipnya jabatan tersebut tak ubahnya seperti profesi perkerjaan lain yang mendapat upah atau gaji bulanan, atau tak ubahnya seperti jabatan pegawai negeri yang mendapat gaji dari negara. Meskipun hanya jabatan yang berpriodik (hanya 5 tahun), namun ada nilai lebih dari jabatan tersebut, yaitu status terhormat yang melekat di jabatan tersebut. Dikatakan sebagai jabatan terhormat karena orang yang berhasil menduduki posisi di jabatan tersebut dijuluki wakil rakyat yang terhormat, karena dipilih dan mendapat kepercayaan (mandat) dari rakyat melalui sebuah proses demokrasi.

Melihat kuatnya daya tarik jabatan legislatit, merangsang para caleg berusaha maksimal untuk meraih jabatan tersebut. Para caleg tak peduli dengan besarnya cost politik yang dikeluarkan agar bisa terpilih dan meraih jabatan sebagai anggota legislatif.  Sampai-sampai ada yang berani mengambil resiko mengelontorkan uang untuk melakukan money politik atau membeli suara rakyat, agar berhasil meraih jabatan tersebut, dan cara ini seperti sudah mentradisi dan sudah menjadi rahasia umum. Ironisnya jumlah nominal yang digelontorkan untuk beli suara pemilih sangat kompetitif. Tak terbantah kalau terjadi persaingan harga pasaran suara, dan prakteknya memang terjadi di pemilihan legislatif sebelumnya dan kemungkinan besar tak mungkin tak terjadi pada pemilihan legislatif 2014 nanti.  

Status sebagai wakil rakyat terhormat, begitu menggairahkan bagi para caleg untuk meraihnya. Sayangnya yang terlihat dari upaya sebagian besar para caleg yang tengah bertarung untuk meraih satatus tersebut, terkesan mengenyampingkan fungsi dan tujuan mulia yang melekat di jabatan yang mereka kejar itu, apalagi partai-partai politik lebih mengutamakan target meraih kursi sebanyak-banyaknya di lembaga legislatif, sehingga tak sedikit caleg yang dimajukan pun hanya sebatas caleg berpotensi untuk meraih suara.

Melihat ambisi para caleg, kursi jabatan yang diperebutkan seolah tak dianggap lagi sebagai   jabatan yang berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kesan yang ditangkap, bahwa motivasi para caleg dengan daya upayanya untuk menang di pemilihan umum, di satu sisi hanya semata mengejar status sebagai wakil rakyat terhormat, dan di sisi lain karena melihat posisi wakil rakyat tersebut sebagai sebuah pekerjaan dengan gaji besar, dan sebagai pekerjaan dengan posisi jabatan politik yang punya kekuatan dan nilai tawar secara politik. Yang membuat lebih merangsang para caleg, jabatan tersebut adalah jabatan yang berpeluang meraih penghasilan materi dan fasilititas yang menjanjikan, di luar dari penghasilan resmi dari jabatan itu.

Jadi tak bisa dipungkiri dan sudah menjadi pemikiran di benak sebagian besar para caleg yang berambisi dan berusaha untuk menang, terutama caleg yang berani menggelontorkan uang untuk menang, termasuk para caleg incumbent atau pertahana, bahwa biaya yang mereka keluarkan saat mencaleg akan bisa kembali saat mereka  berhasil meraih jabatan sebagai wakil rakyat.

Kalaupun para caleg mengumbar janji jika mereka terpilih akan memperjuangkan kepentingan rakyat, kebanyakan janji seperti itu hanya sebatas retorika dan dan dilontarkan sebagai bentuk cari simpati, karena pada kenyataannya jabatan tersebutlah tujuan utamanya. Logikanya, para caleg yang kelak terpilih, yang sebagian besar telah mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar terpilih, tentu lebih mengutamakan kepentingan pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya saat mencaleg. Kondisi demikian memang sudah menjadi preseden dan fakta yang dipertontonkan kebanyakan dari anggota legislatif hasil pemilihan legislatif sebelum-sebelumnya, dan berkemungkinan akan dipertontonkan oleh sebagaian besar anggota legislatif yang bakal terpilih di pemilihan legislatif 2014 nanti. 


Minggu, 23 Februari 2014

Ruhut Pantas Disebut si Poltak = Politisi Tak Berotak


Ruhut Pantas Disebut si Poltak = Politisi Tak Berotak

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Ruhut Sitompul (foto : kompas.com)
Poltak adalah kata dari bahasa batak yang artinya Terbit. Bagi orang batak, Poltak peruntukannya untuk nama anak laki-laki. Kalau ada pria yang bernama Poltak, sudah dipastikan itu adalah orang dari suku batak..  Dalam sinetron Gerhana, yang pernah ditayangkan RCTI beberapa tahun yang lalu ada peran pria batak bernama Poltak. Dalam sinetron tersebut si Poltak adalah sosok seorang raja minyak dari Medan.  Si Poltak suka dengan si Bulan yang merupakan pacar si Gerhana. Pemeran si  Poltak dalam sinetron Gerhana adalah pria yang memang asli suku batak bernama Ruhut Sitompul.

Kendati sinetron tersebut sudah tak lagi tayang, namun nama Poltak selalu melekat dan  akrab pada sosok Ruhut, bahkan Ruhut kerap menyebut dirinya si Poltak. Meski Ruhut sebelumnya adalah seorang pengacara yang juga politisi Partai Golkar, tapi peran poltak telah membuat Ruhut jadi lebih terkenal.

Ruhut yang saat ini sebagai politisi Partai Demokrat dan anggota DPR RI memang termasuk publik figur yang sangat tenar, tetapi ketenaranya sebagai politisi tak bisa dilepaskan dari ketenarannya sebagai pemeran Poltak di sinetro Gerhana.  Aksentuasi bicaranya juga kerap dibuatnya persis seperti saat dia memerankan si Poltak di sinetron Gerhana.

Karena Ruhut selalu menyebut dirinya si Poltak, berarti tak salah penulis dalam tulisan ini merasa sangat cocok menyebut Ruhut dengan sebutan si Poltak. Tapi pengertian si Poltak dalam konteks tulisan ini bukan bermakna sebuah nama batak yang artinya Terbit. Sebutan Poltak yang penulis maksudkan adalah singakatan dari “Politisi Tak Berotak“.

Mohon maaf buat orang yang bernama Poltak, bukan maksud melecehkan orang-orang yang punya nama asli Poltak, dan bukan pula  mau melencengkan arti Poltak yang sebenarnya.. Sebutan Poltak terhadap Ruhut sebagai singkatan dari Politisi Tak berotak hanya kepentingan tulisan yang berkaitan dengan sosok Ruhut Sitompul selaku seorang politisi yang karekater, sikap dan ucapannya, penulis nilai tak mencerminkan seorang politisi. karena kerap membuat ketersinggungan dan kegeraman berbagai pihak serta mendapat tudingan negatif dari publik.

Sebagai seorang politisi Ruhut terbilang sosok yang sudah keseringan tak beretika dalam berbicara. Dan rasanya itu tak hanya merupakan penilaian penulis, tapi juga menjadi penilaian khalayak banyak. Sebab memang nyata Ruhut dalam berbagai acara dialog atau wawancara yang disiarkan di televisi kerap mengeluarkan ucapan yang tak beretika dan membuat tersinggung lawan bicaranya.  Pernyataan-pernyataan Ruhut yang dilansir via media online dan media cetak, juga kerap membuat ketersinggungan dan membuat pembaca geram. Alasan-alasan Ruhut dalam mengeluarkan pernyataan, terutama dalam hal mengkritik pihak tertentu atau pihak yang berseberangan dengan posisinya, terkadang tak berdasarkan fakta dan logika.
Soal membuat orang tersinggung, Ruhut memang ahlinya. Kalimat-kalimat kontrovesial begitu gamblang keluar dari mulut Ruhut. Dia tak segan-segan menuding lawan bicara dengan kata-kata kasar, pedas dan penuh tudingan yang tendesius ke arah pribadi.  Pastinya sudah tak terhitung ucapan Ruhut membuat  ketersinggungan berbagai kalangan.

Sebagai orang partai politik, Ruhut juga acapkali berkomentar yang menyerempet urusan internal partai politik lain, dan bahkan tak jarang Ruhut mendiskreditkan partai lain.  Ruhut juga sudah keseringan menyindir profesi dan pribadi orang lain. Beberapa kali tayang di televisi adegan pertengkaran Ruhut dengan lawan bicaranya jadi tontonan rakyat.  Ironisnya, saat pertengkaran, ucapan-ucapan yang keluar dari mulut tak lagi mencerminkan dirinya seorang politisi ataupun seorang tokoh yang punya latar belakang pendidikan di bidang hukum.

Ucapan Ruhut saat terjadi insiden pertengkaran dengan lawan bicaranya dalam acara dialog, ternyata tak hanya sekedar meyerempat internal partai lain ataupun menyindir profesi dan pribadi orang lain. Pernah ucapan Ruhut dalam sebuah dialog diacara yang ditayangkan sebuah televisi, membuat lawan bicara yang berasal dari kalangan pengamat politik sangat tersinggung dan merasa terhina. Ucapan Ruhut dianggap telah menyinggung SARA, dan Ruhut pun dilaporkan ke Komnas HAM dan ke Kepolisian.

Ruhut terkesan sangat egois alias mau menang sendiri dalam mengeluarkan ucapan baik dalam dialog maupun dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Ruhut kerap lebih dulu memulai mengkritik, tapi jarang bisa terima atau legowo ketika menyikapi kritikan. Dalam hal merespons kritikan, Ruhut lebih sering memperlihatkan sikap emosionalnya. Dengan gaya temperamentalnya Ruhut pun tak segan mengkounter kritikan tersebut dengan balas menyerang pihak yang mengkritik dengan kalimat-kalimat kebabalasan.

Yang fenomenal, dalam halnya merespon kritik, Ruhut tak hanya berani melawan pihak lain. Rekan separtainya  juga berani dilawannya, terbukti sejumlah rekannya termasuk salah seroang seniornya di Partai Demokrat karena mengkritik sikap dan ucapan Ruhut , jadi sasaran ucapan kasar yang keluar dari mulut Ruhut. Sikap Ruhut yang berani melawan seniornya di Partai Demokrat, jelas tak mencerminkan sikap seorang politisi yang professional.

Ketikadakprofesionalannya sebagai politisi, juga diperlihatkan Ruhut ketika melakukan pembelaan atas munculnya sorotan dan kritikan dari pihak lain terhadap SBY dan keluarganya. Pembelaan yang dilakukan Ruhut dianggap sangat berlebihan, dan itu membuatnya dianggap sebagai politisi penjilat, apalagi Ruhut tak malu-malu mengklaim dirinya merupakan kesayangan SBY.

Terkait  karakter, sikap dan ucapan Ruhut yang jauh dari standar nilai etika dan  moral membuat penulis menganggap Ruhut pantas disebut sebagai si Poltak. Apalagi Ruhut sendiri memang kerap menyebut dirinya sebagai si Poltak. Tapi maksud sebutan si Poltak dalam anggapan penulis adalah singkatan dari Politisi Tak Berotak. Pertimbangan penulis menyebut Ruhut si Poltak atau Politisi Tak Berotak, karena memang faktanya sebagai seorang politisi, karekter, sikap dan ucapan sosok seorang Ruhut memang nyata-nyata mencerminkan sikap dan ucapan orang yang tak berotak.  Penulis berani dan bertanggung jawab menilai  Ruhut sebagai Politisi Tak Berotak, karena penulis yakin sikap dan ucapan yang demikian, dinilai dari sudut pandang etika dan moral termasuk kategori sikap dan ucapan orang-orang yang tak berotak. Bahkan penulis merasa yakin penilaian penulis tersebut tak berbeda dengan penilaian banyak orang.


Penulis ingin sekedar mengingatkan, bahwa kehidupan pribadi Ruhut khusus menyangkut masalah perkawinannya telah menjadi sorotan miring. Tanpa merasa malu dan seolah tanpa beban, Ruhut telah menyatakan bahwa perkawinanan dengan Ana Rudhiantiana Legawati tak diakuinya sebagai perkawinan yang sah, dan dinyatakannya sebagai kumpul kebo, lalu anak  lahir dari perkawinannya dengan Ana Rudhiantiana Legawati itu dinyatakannya juga bukan anak yang lahir dari hasil perkawinan yang syah alias anak hasil kumpul kebo. Persoalan perkawinannya tak terlepas dari dari posisinya sebagai seorang politisi dengan jabatan wakil rakyat, sebab masalah perkawinannya itu telah masuk ranah politik, karena Ruhut telah dilaporkan isteri yang tak diakuinya itu ke Badan kehormatan DPR RI. Jadi sikap dan ucapan Ruhut yang tak mengakui perkawinannya dan tak mengakui anaknya, membuatnya penulis juga merasa pantas menyebut Ruhut disebut si Poltak alias Politisi Tak berotak

Kamis, 20 Februari 2014

Skenario Tak Memenangkan PDIP, Jika Jokowi Tak Dicapreskan Sebelum Pileg


Skenario Tak Memenangkan PDIP,

Jika Jokowi Tak Dicapreskan Sebelum Pileg


Oleh : M Alinapiah Simbolon


Spanduk Jokowi Yes! Megawati No! (foto : kompas.com)
Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, sudah pernah mengeluarkan pernyataan bahwa penetapan calon presiden yang diusung PDIP setelah 9 April 2014 atau setelah Pemilihan Umum Legislatif.  Itu dikatakan Megawati  di sela-sela Acara “Dialog Kebangsaan : Kedaulatan Pangan dan Martabat Bangsa” di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 21 Desember 2013 lalu (Siapa Capres PDIP? Kata Megawati Tunggu 9 April 2014. Kompas 21/12/2013).

Pernyataan Megawati tersebut, membuat banyak kalangan terutama pendukung Jokowi merasa kecewa. Megawati dicurigai masih berambisi mencapreskan diri, apalagi sebelumnya pernyataan itu, sudah lebih dulu muncul skenario menduetkan Megawati-Jokowi dari internal PDIP yang dilontarkan segelintir elit PDIP. Skenario duet Megawati dianggap sebagai skenario untuk mencapreskan Megawati dengan memanfaatkan popularitas Jokowi. Dan untuk tak mengecewakan arus bawah yang mendukung Jokowi sebagai capres, serta seolah-olah agar dinilai sosok Jokowi sebagai joker,  bersamaan dengan skenario menduetkan Megawati-Jokowi,  sengaja dienduskan skenario lain yaitu skenario menduetkan Jokowi dengan kader PDIP dan skenario menduetkan Jokowi dan bekoalisi dengan partai lain.  Skenario itu dinilai sengaja dienduskan, soalnya Megawati tak mempersoalkan skenario tersebut, bahkan dinilai memang merestui skenario tersebut dilontarkan,  Skenario itu pun terlihat sinkron dengan pernyataan Megawati soal penetapan capres setelah pileg. 

Kendati, sudah keluar dari mulut Megawati mengenai penetapan capres usai pileg, dan yang didahului pemunculan skenario mencapreskan Megawati yang diduetkan dengan Jokowi, tetap saja tak mengurangi derasnya dukungan kepada Jokowi untuk menjadi capres. Malah desakan terhadap Megawati agar mencapreskan Jokowi sebelum Pileg 2014 semakin menguat dan membahana. Selain itu, gencarnya serangan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan wacana pencapresan Jokowi, serta munculnya upaya-upaya menghancurkan elektabilitas Jokowi dengan cara mendramatisir dan mempolitisir soal banjir Jakarta seolah menjadi sisi lemah kepemimpinan Jokowi sebagai Gubernur DKI, juga tak memperlemah dukungan terhadap Jokowi.

Munculnya berbagai kelompok yang menamakan diri sebagai pendukung Jokowi, diantaranya PDIP Projo (Pro Jokowi), barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP, Pendukung Jokowi untuk RI 1, Jokowi For Presiden, Komunitas Aksi Memaksa Jokowi Mejadi Presiden, dan sejumlah nama lainnya, merupakan bukti bahwa dukungan terhadap Jokowi semakin menguat dan mengkristal.  Apalagi lahirnya kelompok-kelompok tersebut atas kemauan arus bawah tanpa ada arahan, perintah dan intervensi dari Jokowi.  Semakin mendekati pileg, kelompok-kelompok pendukung Jokowi, semakin berkembang serta menggurita sampai ke daerah-daerah, dan intensitas desakan dari berbagai kelompok pendukung Jokowi, kepada Megawati agar mencapreskan Jokowi sebelum pileg semakin meningkat.

Desakan pun tak hanya muncul dari kelompok-kelompok pendukung Jokowi. Sebagian besar elit politik PDIP dan kalangan pengamat dan akademisi juga memberikan masukan bahwa Jokowi harus dicapreskan sebelum pileg. Mayoritas kader PDIP secara nasional juga berposisi di pihak yang mendukung Jokowi dicapreskan sebelum pelaksanaan pileg. Pertimbangannya, karena melihat besarnya dukungan publik membuat PDIP menang di Pileg 2014, jika Jokowi dicapreskan sebelum pileg, serta besarnya dukungan nitu juga dibuktikan dengan berbagai survey yang tetap menempatkan Jokowi sebagai capres yang berelektabilitas tertinggi berpeluang besar menang jika di capreskan di pilpres 2014.

Salah seorang petinggi PDIP Komaruddin Watubun yang juga masih mencaleg, dan berdasarkan kegiatan sosialisasinya di daerah pemilihannya di Papua, mengatakan bahwa sebagian besar rakyat Papua menginginkan Jokowi sebagai presiden. Antusias rakyat Papua untuk memilih Jokowi takkan luntur meski Jokowi diserang dengan pemberitaan miring terkait banjir Jakarta. Menurut Komaruddin, sebagian besar komit akan mendukung dan memilih PDIP jika partai tersebut dipastikan mendukung Jokowi sebagai capres sebelum pileg. Gambaran pemikiran rakyat di Papua yang demikian, sebenarnya tak jauh beda dengan pemikiran rakyat di daerah-daerah lainnya.

Kengototan pendukung Jokowi, agar Gubernur DKI Jakarta itu dicapreskan sebelum pelaksanaan pileg 2014, karena melihat Megawati selaku orang yang paling kompeten menentukan capres PDIP tak kunjung menentukan sikap dan seolah tak merespon keinginan arus bawah. Hingga saat ini Megawati juga dinilai masih belum memberikan sinyal yang jelas dan mengarah untuk mencapreskan Jokowi. Munculnya skenario menduet Megawati-Jokowi, yang sampai saat ini masih terus bergulir dan seakan dibiarkan terus bergulir oleh Megawati, mengindikasikan bahwa Megawati masih belum ikhlas memberikan jatah capres PDIP kepada Jokowi, atau masih ada keinginan Megawati menjadi capres berduet dengan Jokowi, dengan tujuan tak lain dan tak bukan memanfaatkan popularitas dan elektabilitas Jokowi.

Belakangan skenario Duet Megawati-Jokowi yang awalnya dienduskan salah seorang elit PDIP  seolah telah menjadi skenario resmi PDIP. Bahkan secara terang-terangnya, dikatakan bahwa jika hasil pileg PDIP berhasil meraih suara kuota untuk mencalonkan capres dan cawapres sendiri (tanpa pentapan capres sebelum pileg), maka duet Megawati-Jokowi akan jadi piihan utama. Skenario itu sinkron dengan sikap Megawati yang sudah menyatakan bahwa penetapan capres setelah pelaksanaan pileg, dan dinilai mendukung dan memuluskan skenario duet Megawati-Jokowi jika hasil pileg PDIP meraih suara yang bisa mengusung capres dan cawapres sendiri.

Tapi tampaknya skenario duet Megawati-Jokowi, mendapat revans dari kalangan pendukung Jokowi. Desakan agar PDIP dan Megawati mencapreskan Jokowi sebelum pileg adalah bentuk resistensi atas skenario duet Mega-Jokowi dan sikap Megawati yang telah menyatakan akan menetapkan capres PDIP setelah pelaksanaan pileg. Pendukung Jokowi, yang hanya menginginkan Jokowi sebagai capres dan bukan cawapres, konsisten melakukan desakan agar Jokowi dicapreskan sebelum pileg. Intensitas dan frekwensi desakan, dari hari ke hari kian meningkat, sejalan dengan meningkatnya kuantitas pendukung  Jokowi.

Belakangan desakan dari kelompok-kelompok pendukung Jokowi, tak hanya sekedar desakan semata, tapi sudah  bernuansa ancaman yang digulirkan dalam bentuk opsi atau pilihan.  Opsi tersebut yakni membiarkan PDIP kalah di pileg 2014, agar tak memenuhi syarat ambang batas (kuota) untuk mengusung capres dan cawapres sendiri, sehingga dengan demikian Jokowi berpeluang jadi  capres PDIP. Atau mendukung PDIP agar menang di pileg, dengan syarat Jokowi di capreskan sebelum pileg.

Membiarkan PDIP kalah di pileg 2014, artinya para pendukung Jokowi yang mayoritas bukan kader PDIP, serta orang-orang yang selama ini dikenal menganut paham golongan putih (Golput) dan kaum penganut aliran apatisme, takkan memilih PDIP (caleg PDIP) dengan tujuan untuk tak memenangkan PDIP pada pileg 2014, apabila Jokowi tidak dicapreskan sebelum pileg. Tujuannya sudah jelas, yaitu agar suara yang diraih PDIP tak bisa menggiring capres dan cawapres sendiri. Baru baru ini ancaman seperti itu dilontarkan salah satu kelompok pendukung Jokowi yang bernama Aksi Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) saat menggelar deklarasi dukungan untuk Jokowi jadi presiden, di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta.

Tampaknya ancaman untuk tak memenangkan PDIP jika Jokowi tak dicapreskan sebelum pileg, telah mewacana menjadi skenario.  Skenario dimaksud prinsipnya bertujuan untuk melawan dan mengkounter pencapresan Megawati melalui  skenario menduetkan Megawati-Jokowi, dengan modal memanfaatkan popularitas dan tingginya elektabilitas Jokowi. Apalagi skenario duet Megawati-Jokowi tersebut kemungkinan akan terwujud jika raihan suara PDIP di pileg (tanpa penetapan capres) memenuhi ambang batas untuk menggiring capres dan cawapres tersendiri.  

Megawati dan PDIP jangan anggap remeh wacana skenario tak memenangkan PDIP di pileg 2014. Soalnya skenario tersebut kemungkinan besar didukung dan terus diwacanakan selanjutnya akan diwujudkan atau dibuktikan oleh pendukung Jokowi, jika Jokowi tak dicapreskan sebelum pileg, maka skenario tak memenangkan PDIP di pileg akan dipatuhi untuk diaplikasikan para pendukung Jokowi. Jika itu yang terjadi, maka sangat berpeluang membuat raihan suara  PDIP di pileg 2014 tak sesuai dengan harapan, atau bahkan mungkin jauh dari yang diprediksikan sebelumnya.

Begitu pula sebaliknya, jika Jokowi dicapreskan sebelum pileg, maka PDIP berpeluang besar untuk menang atau paling tidak berhasil meraih kuota suara untuk menggiring capres dan cawapres sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Sebab rakyat yang terobsesi atau menginginkan agar Jokowi jadi presiden akan berupaya memenangkan PDIP. Demikian juga dengan  orang-orang yang selama ini dikenal menganut paham golongan putih (Golput) dan kaum penganut aliran apatisme, kemungkinan besar tak akan golput dan tak akan apatis lagi, lalu menggunakan suaranya untuk memenangkan PDIP di pileg 2014, agar mulus jalan Jokowi menjadi presiden.

Megawati dan PDIP, harus menyadari bahwa sosok Jokowi karena kepemimpinannya, sudah bagaikan besi sembrani, yang mampu membuat mayoritas dari rakyat tertarik, kagum dan simpati kepadanya sehingga Jokowi menjadi pemimpin yang diidamkan dan jadi pilihan untuk ikut mencapres, dan kemungkinan besar menjadi pilihan rakyat banyak, karena dianggap mampu membawa perubahan bagi negara dan rakyat negeri ini.

Megawati dan PDIP, juga harus menyadari, bahwa skenario duet Megawati-Jokowi, bekemungkinan akan jadi blunder, apabila skenario tak memenangkan PDIP yang sudah mewacana, betul-betul terwujud karena Megawati tak mencapreskan Jokowi sebelum pileg 2014. Ingat bahwa skenario tak memenangkan PDIP, lebih tangguh dan lebih berpeluang mengalahkan dan menjungkalkan ambisi Megawati mencapres melalui skenario duet Megawati-Jokowi.


Memang sehari setelah munculnya skenario tak memenangkan PDIP, jika Jokwi tak dicapreskan sebelum pileg, muncul pernyataan dari Megawati bahwa penetapan capres PDIP belum tentu setelah pileg. Namun pernyataan Megawati yang dilontarkannya dari Purwakarta itu, terkesan sekedar untuk meredakan desakan terhadapnya dari kelompok pendukung Jokowi, dan pernyataan itu belum menjamin bahwa Jokowi akan dicapreskan sebelum pileg. Kalau pun itu sebagai sinyal, tapi sinyalnya masih mengambang dan tak mengarah untuk pencapresan Jokowi sebelum pileg. 


Klik dan Baca juga di :




Senin, 17 Februari 2014

Sutan Bathoegana, Pasrah Menanti Jeratan KPK


Sutan Bathoegana, Pasrah Menanti Jeratan KPK

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Sutan Bathoegana (foto : kompas.com)
Resmi dicegah berpergian ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kurun waktu enam bulan ke depan, membuat Sutan Bathoegana tak berkutik. Sejak di cegah, tak terdengar lagi suara lantang dari mulut politisi Partai Demokrat tersebut. Apalagi Partai Demokrat yang dihuninya sudah mengeluarkan perintah peringatan buat Ketua Komisi VII itu untuk berpuasa bicara setelah dicegah KPK.

Dicegah oleh KPK, ditambah lagi keluarnya perintah dan peringatan dari Partai Demokrat agar puasa bicara, membuat Sutan Bathoegana tak berdaya.  Sebenarnya Sutan sudah menyadari kalau kekuatannya sebagai politisi dan kader Partai Demokrat sudah melemah sejak terungkap ada keterlibatannya dalam kasus korupsi SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi), dan semakin melemah setelah dicegah oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM), serta dinyatakan oleh Ruhut Sitompul takkan  mendapat perlindungan Partai Demokrat.

Pencegahan Sutan Bathoegana, menarik untuk dianalisa. Sutan di cegah KPK untuk kepentingan pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian ESDM yang menjerat mantan Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno. Itulah alasan resmi KPK mencegah Sutan Bathoegana, Tri Yulianto, Gerhard Rumeser dan Sri Utami berpergian ke luar negeri selama enam bulan sebagaimana tertuang dalam surat permintaan yang dikirimkan KPK kepada pihak Imigrasi.

Meskipun dicegah karena dugaan korupsi di lingkungan Kementerian ESDM yang menjerat mantan Sekjen ESDM Waryono Karno, tapi yang pasti pencegahan Sutan sangat erat kaitannya dengan kasus dugaan suap di SKK Migas, yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan Komisaris PT Kernel Oil Indonesia Simon Tanjaya. 

Untuk diketahui pemeriksaan Rudi Rubiandini setelah ditangkap KPK dan dijadikan tersangka telah berkembang ke mana-mana. Mantan Sekjen ESDM Waryono karno terlibat dan dijadikan tersangka kasus dugaan korupsi  di Kementerian ESDM juga berawal dari pengembangan dari  Suap SKK Migas. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudi Rubiandini yang sempat bocor ke publik, nama Sutan Bathoegana pun disebut pernah minta uang THR kepada Rudi. Nama rekan Sutan di Komisi VII DPR RI Tri Yulianto termasuk juga disebut menerima titipan uang THR yang diminta Sutan. Uang yang diserahkan untuk THR anggota Komisi VII DPR RI sebesar 200.000 Dolar AS itu, diserahkan oleh Rudi melalui pelatih golfnya bernama Deviardi.

Soal permintaan uang THR untuk anggota Komisi VII DPR RI, ke Rudi Rubiandini ternyata tak hanya dari Sutan Bathoegana saja. Soalnya pengacara Rudi Rubiandini , juga mengungkapkan bahwa Rudi juga dimintai Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno uang sebesar 200.000 Dolar AS yang katanya untuk THR anggota Komisi VII DPR RI. Namun yang diberikan Rudi sebesar 150.000 Dolar AS, lalu saat diminta lagi sama Waryono kekuarangannya, Rudi menolak.

Rudi Rubiandini pun sempat diminta oleh Waryono Karno menghubungi Dirut Pertamina  Karen Agustiawan, tujuannya agar ikut menyumbang terkait permintaan uang THR tersebut. Namun permintaan itu ditolak oleh Karen. Bahkan disebutkan pihak Karen, kalau Rudi sempat mengancam Karen akan dilaporkan ke seorang Menteri jika tak mau menyumbang dana untuk THR anggota Komisi VII DPR RI. Soal disebut mengancam Karen, pihak Rudi membantahnya dan mengatakan itu disampaikannya adalah pesan dari Waryono Karno.

Menyimak hal itu, tak pelak kalau alasan pencegahan Sutan untuk kepentingan pemeriksaan dugaan korupsi di Kementerian ESDM yang menjerat mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno, sangat erat kaitannya dengan  permintaan uang THR untuk anggota Komisi VII DPR RI oleh Waryono kepada Rudi. Kalau itu kaitannya, maka kemungkinan besar uang yang diminta Waryono kepada Rudi yang katanya untuk uang THR anggota Komisi VII itu itu, juga atas permintaan Sutan kepada Waryono. Jadi dalam hal ini selain meminta kepada Rudi, Sutan juga meminta kepada Waryono Karno. 
  
Selain hal itu, bukan tak mungkin pencegaah Sutan, juga untuk kepentingan pemeriksaan hal-hal lain selain masalah permintaaan uang THR tersebut. Soalnya terungkap juga kalau Sutan juga pernah meminta via sms kepada Rudi saat masih menjabat sebagai Ketua SKK Migas, agar perusahannya yaitu PT Timas Suplindo dimenangkan dalam tender proyek di SKK Migas yaitu proyek pembangunan konstruksi lepas pantai.  Sms Sutan ke Rudi di forward Rudi kepada bawahannya yaitu Gerhard Rumeser yang menjabat sebagai tenaga ahli bidang operasi di SKK Migas. Soal titip perusahaan untuk dimenangkan, ternyata tak hanya sekali itu saja dilakukan Sutan. Pada tahun 2011 nama Sutan di sebut dalam kasus korupsi Solar Home System (SHS) di Kementrian ESDM. Sutan disebut menitip perusahaan untuk dimenangkan dalam tender proyek SHS itu.  

Kembali ke soal pencegahan terhadap Sutan Bathoegana. Pencegahan itu, tampaknya punya daya hamtan dan daya ledak yang kuat, sehingga seorang Sutan Bathoegana yang dikenal piawai bersilat lidah dan jago berkelit dari persoalan, tampak tak berdaya. Sutan Bathoegana masih memperlihatkan kemampuannya mengindar dari serangan dan tudingan negatif pasca terungkap ke publik soal dia disebut pernah meminta uang THR kepada mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Dia terlihat begitu percaya diri tampil di televisi saat mengkounter informasi soal permintaan uang THR tersebut. Bahkan di salah acara televisi yang membahas soal kasus suap di SKK Migas,  seolah tanpa beban dia mengeluarkan kata Demi Allah saat membantah soal permintaan THR tersebut.  Sutan juga masih tampak tenang dan mengaku tak risau saat menyikapi penggeledahan yang dilakukan KPK di rumahnya maupun kantornya.

Namun ketika Sutan mengetahui KPK telah resmi menetapkannya berstatus sebagai orang dicegah untuk ke luar negeri, terkait kasus dugaan korupsi, tak lagi terlihat aura ketegaran dari seorang Sutan Bathoegana. Sedikitpun tak terlihat sikap reaktif Sutan dari pernyataannya saat menyikapi soal pecegahan dirinya. Malah dia menyatakan pasrah dan akan mengikuti proses hukum dalam dugaan kasus korupsi di lingkungan kementerian ESDM.

Memang Sutan masih tetap membantah keterlibatannya, namun dari sikapnya yang tak reaktif, pantas dicurigai ada siratan kekawatiran yang dirasakan Sutan. Dapat dipastikan Sutan sangat khawatir dengan pencegahan dirinya, sebab dia tahu betul bahwa siapapun yang pernah di periksa sebagai saksi oleh KPK terkait kasus korupsi, lalu resmi dicegah keluar negeri, tak satupun yang lolos dari jeratan KPK. Faktanya memang sampai saat ini sejumlah orang yang awalnya diperiksa KPK sebagai saksi karena ditenggarai terlibat korupsi, lalu resmi di cegah keluar negeri, pada akhirnya pasti jadi tersangka dan dipastikan pula dijebloskan ke dalam penjara dengan status tahanan KPK. Sudah banyak orang yang mengalami proses demikian diantaranya mantan rekan Sutan di Partai Demokrat yakni Andi Malaranggeng dan Anas Urbaningrum. Dan contoh orang terakhir adalah mantan Gubernur Banten Ratu Atut.

Harus diakui,  KPK tak sembarangan menetapkan seseorang di cegah keluar negeri sehubungan adannya proses pemeriksaan terkait kasus korupsi, apalagi yang dicegah itu masih berstatus saksi. KPK berani mencegah seorang saksi keluar negeri tentunya berdasarkan pertimbangan hukum yang kuat.  Biasanya saksi yang dicegah keluar negeri adalah saksi yang berpotensi kuat menjadi tersangka. Kalau saksi yang tak berpotensi jadi tersangka dilakukan pencegahan, tentu punya konsekwensi hukum. KPK berpeluang dituntut dengan tuduhan melanggar hak azaasi karena mengekang kebebasan seseorang.

Sutan Bathoegana, dapat dipastikan tak lagi berdaya pasca dicegah oleh KPK. Dia terlihat pasrah dan sikap pasrah telah diproklamirkannya. Sutan juga dipaksa untuk pasrah oleh kekuatan partainya, sebab Partai Demokrat yang selama ini tempatnya bernaung telah resmi menyatakan takkan melindunginya. Dahsyat nya status cegah yang dikeluarkan KPK, membuat mulut Sutan jadi terbungkam. Terasa keluh untuk berkomentar menyikapi pencegahannya. Seolah tak ada lagi kata dan kalimat penangkal yang bisa dilontarkan untuk membuat dirinya keluar dari kungkungan lingkaran kasus korupsi yang membuatnya berstatus dicegah olek KPK. Selain memang terbungkam dengan sendirinya, Partai Demokrat juga ikut membungkam mulut Sutan dengan mengeluarkan maklumat agar Sutas berpuasa bicara setelah di cegah KPK.

Sutan tahu betul dan betul-betul menyadari,  status cegah yang ditabalkan KPK dan kini tersemat pada dirinya, merupakan jeratan awal buat dia.  Dan Sutan juga menyadari, selanjutnya KPK bakal lebih erat menjeratnya dengan menetapkannya menjadi seorang tersangka dan selanjutnya menjebloskanya ke bilik prodeo dengan status tahanan KPK, dengan tuduhan menerima suap.  Kini Sutan Bathoegana berada dalam posisi pasrah menanti proses hukum kasus korupsi di SKK Migas dan Kementerian ESDM, yang untuk sementara telah terungkap melibatkan namanya, dan kemungkinan besar akan menjerat dirinya.  Pastinya, Sutan Bathoegana kini dalam ngeri-ngeri sedap menanti jeratan KPK. Bakal kena barang tu…!!!



  

Wakil Rakyat Kota Siantar Yang Doyan Pelesiran

Wakil Rakyat Kota Siantar Yang Doyan Pelesiran

Oleh : M Alinapiah Simbolon


kantor  DPRD Kota Pematangsiantar
(foto : medan.tribunnews.com)
Selama 4 tahun lebih, rasanya tak ada hal yang luar biasa yang diperlihatkan anggota DPRD Pematangsiantar, terkait fungsi dan tugasnya sebagai wakil rakyat. Kinerja anggota DPRD Siantar periode 2009-2014, dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, terasa dan dirasakan sangat minim. Legislator kota Siantar justru terlihat memposisikan diri sebagai mitra dan pendukung kebijakan pemerintah.  Lalu kesan yang ditangkap selama ini, para wakil rakyat yang terhormat justru memanfaatkan persoalan rakyat menjadi bergaining politik, untuk kepentingan pribadi.  Bahkan acapkali hal-hal yang kontradiksi dengan kepentingan rakyat, dipertontonkan para wakil rakyat yang terhormat tersebut.

Salah satu hal yang bertentangan dengan kepentingan dan perasaan rakyat, adalah kegiatan studi banding yang dilakukan oleh wakil rakyat kota Siantar. Studi banding menjadi kegiatan rutinitas dilakukan DPRD Siantar setiap tahun anggaran.  Ironisnya, menjelang tamatnya masa tugasnya, anggota DPRD Siantar masih tetap melakukan studi banding. Padahal hal itu sangat tak pantas dan sangat tak tepat  dilakukan para  anggota legislatif yang masa tugasnya hanya tinggal hitungan bulan. Itulah yang dilakukan anggota Dewan Siantar saat ini, mereka tengah melakukan studi banding ke Kota Bandung Jawa barat, yang biayanya sekitar Rp 285 juta ditanggung negara yang nota bene uang rakyat. Anggota DPRD Kota Pematang Siantar yang berjumlah 30 orang,  tak peduli dan tetap melakukan studi banding tersebut meskipun dianggap sangat tak pantas dan tak tepat momennya.

Legislator Kota Siantar juga seakan tak peduli bahwa studi banding itu telah melukai perasaan rakyat. Mereka begitu semangat berangkat studi banding ke Bandung, bahkan saking semangatnya tak satupun yang tak ikut berangkat studi banding, meskipun dituding sebagai tindakan menghamburkan uang negara.

Kalau ditanya apa manfaatnya ?  Sudah dapat dipastikan tak ada manfaatnya untuk kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pembangunan, karena masa kerja mereka sebagai anggota DPRD hanya tinggal hitungan bulan, maka apa yang didapat dapat dari studi banding tak bisa dimanfaatkan. Kalaupun ada hasilnya, maka  hasil dari studi banding tersebut, bakal tak bisa untuk diaplikasikan menjadi program dan kebijakan di sisa masa bakhti tugas mereka.

Lalu jika hasilnya hanya sekedar jadi masukan buat Pemerintah Kota Pematangsiantar, rasanya studi banding  tersebut sangat tak pantas dilakukan. Artinya studi banding yang sekarang ini, sama saja dengan studi banding-studi banding yang dilakukan sebelumnya, yang hasilnya hanya sekedar laporan dan masukan yang tak pernah ada implementasinya. Kalau hanya sekedar demikian maka sangat tepat kalau dikatakan sebagai tindakan menghamburkan uang negara, serta sangat wajar kalau studi banding yang mereka ikuti disebut sebagai kegiatan plesiran anggota DPRD Siantar.

Selain itu sejumlah studi banding yang pernah dilakukan anggota DPRD Siantar, terkesan memang diadakan hanya untuk kepentingan pribadi anggota DPRD Siantar.   Tujuannya hanya untuk medapat uang perjalanan dinas dari kegiatan studi banding dimaksud, sekaligus sebagai ajang plesiran. Soalnya pernah studi banding yang sebenarnya tak layak dilakukan, karena agendanya tak punya nilai substansial. Salah satunya yaitu studi banding anggota DPRD Siantar ke Batam pada bulan September 2010, yang agendanya untuk mempelajari cara penanggulangan sampah di  Batam. Jelas studi banding dengan agenda seperti itu bukan hal yang penting, sebab kalau hanya untuk mengetahui cara penanggulangan sampah, kota Siantar sudah berpengalaman dan pernah berhasil menanggulangi persoalan sampah, karena sudah beberapa kali meraih pernghargaan Adipura di pemerintahan sebelumnya.

Memang kalau melihat dari sejumlah studi banding  yang sudah dilakukan anggota DPRD Siantar, seharusnya kegiatan studi banding di semester akhir menjelang usainya masa bakhti anggota DPRD Siantar, tak perlu dan sangat tak pantas dilakukan anggota DPRD Siantar. Sebab kegiatan studi banding kali ini akan sama saja dengan studi banding-studi banding terdahulu. Selain tak ada manfaat dan hasilnya hanya sekedar jadi laporan dan masukan kepada pemerintah kota, anggota DPRD Siantar juga tak mampu membuat terobosan dengan cara membuat Peraturan Daerah Inisiatit untuk mengaplikasikan hasil yang didapat dari studi banding yang pernah dilakukan. Terbukti selama 4 tahun lebih masa tugas DPRD siantar, tak satupun Perda Inisiatif yang dilahirkan DPRD, padahal setiap tahun dua kali anggota DPRD melakukan studi banding, namun hasilnya semata hanya untuk dilaporkan kepada pemerintah.

Ironisnya para legislator kota Siantar seolah tak peduli meskipun menyadari bakal tak ada manfaatnya. Tanpa rasa malu mereka tetap mengagendakan dan melaksanakan studi banding. Mereka tampaknya sudah kehilangan urat malu meskipun mereka dicap sebagai anggota DPRD  yang doyan plesiran.

Selain sebagai ajang untuk menyalurkan hobbi mereka yang doyan plesirean, orientasi untuk meraup  uang dan mencari keuntungan dibalik kegiatan studi banding begitu terasa. Mereka terlihat bergairah dan semangat untuk kegiatan yang bernama studi banding, karena jelas ditanggung biayanya dan jelas ada uang sakunya, dan ada alasan untuk mencari dana tambahan terselubung dari pejabat SKPD. Sementara gairah dan semangat yang demikian tak mereka tunjukkan untuk kegiatan urusan rakyat lainnya, terutama urusan rakyat yang tak berpeluang menghasilkan uang masuk. Bahkan pernah terjadi, ada anggota DPRD yang hanya  mengambil uang perjalanan dinas untuk studi banding, tapi kenyataannya tak ikut berangkat

Jadi hal yang wajar kalau studi banding yang dilakukan oleh seluruh anggota dewan Siantar kali ini membuat geram banyak kalangan. Tak ayal, penilaian negatif dan kecaman pun  mengarah kepada ke 30 legislator tersebut. Studi  banding yang dilakukan seluruh legislator kota Siantar sekarang ini, menggambarkan bahwa tingkah laku anggota dewan Siantar tak mencerminkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat, tapi memperlihatkan bahwa mereka adalah legislator yang doyan plesiran sembari menghabiskan uang rakyat. Dan menjadi hal yang wajar pula jika diantara sebagian besar dari mereka yang masih maju sebagai calon legislatife, dianggap sangat tak pantas untuk dipilih lagi.  


Klik dan baca juga di :




Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA