Senin, 29 April 2013

“Hidangan Basi” Masih Tersaji di Pileg 2014




 “Hidangan Basi” Masih Tersaji di Pileg 2014

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Mungkin penulis akan dianggap sedikit kasar, karena dalam tulisan ini menyebutkan dan men sinonim kan anggota DPR RI aktif, yang ikut dijadikan calon legislatif pada Pileg 2014, dengan istilah “hidangan basi”. Bukan karena rasa geram atau rasa benci dengan para caleg pertahana alias caleg incumbent tersebut, tapi semata karena kinerja dan kualitas kebanyakan anggota DPR RI periode 2009-2014 secara umum sangat mengecewakan. Selain itu tak sedikit jumlah politisi senayan yang masih dicalegkan kembali, terindikasi ada keterlibatannya dalam kasus korupsi. Dan banyak dari mereka terkategori sebagai anggota DPR pemalas dan pembolos. serta tak bersikap mencerminkan sebagai wakil rakyat. Malah ada caleg yang  dikenal jarang ngantor dan malas ikut rapat atau sidang, serta sudah mundur dari keanggotaan DPR setelah ketahuan menandatangi absensi tapi tak ikut rapat dan keluar dari pintu belakang, juga kembali di caleg kan oleh partainya.  

Anggota DPR RI aktif yang kembali mencaleg sebanyak 507 orang atau 90,5 persen dari keseluruhan jumlah anggota DPR RI. Dari 560 anggota DPR RI periode 2009-2014, hanya 53 orang yang tak lagi mencaleg pada Pileg 2014. Partai Demokrat mencalonkan kembali 133 orang anggota DPR nya, kemudian Partai Golkar sebanyak 92 orang dicalonkan kembali dari 108, .PDIP 84 orang PKS 57 orang PAN 42 orang, PPP 33 orang. Gerindra 24 orang, PKB 26 orang, dan Hanura 16 orang. PAN, PKB dan Hanura mencalegkan semua anggota DPR RI nya yang aktif. Ke 507 legislator tersebut adalah orang-orang yang masih berambisi besar menjadi politisi senayan, sehingga nama mereka masuk mesin daur ulang untuk  direproduksi dan selanjutnya disajikan untuk dijual kembali ke hadapan masyarakat. 

Masuknya ke 507 legislator aktif tersebut, ke daftar caleg pada Pileg 2014, menuai beragam pendapat. Ada yang berpendapat bahwa partai politik telah gagal melakukan kaderisasi, serta partai politik peserta pemilu tidak melakukan proses seleksi terhadap caleg incumbent. Soalnya legislator aktif yang masih dijadikan caleg tersebut  sebagian besar adalah legislator bermasalah dengan kategori ada yang terindikasi korupsi, pemalas, pembolos dan tak menunjukkan sikap sebagai wakil rakyat. 

Dengan masih direproduksi dan diusung serta disajikan dan dihidangkan untuk dipilih sebagai caleg pada Pileg 2014, tentu ada kekhawatiran bahwa caleg wajah lama dan bermasalah tersebut akan tetap jadi virus, apalagi jika misalnya kelak sebagian besar caleg bermasalah tersebut terpilih kembali, dipastikan wajah DPR RI pada periode mendatang akan sama saja dengan wajah DPR RI periode 2009-2014. 

Memang tak semuanya dari ke 507 legislator tersebut sebagai caleg bermasalah, tapi karena jumlah legislator yang bermasalah lebih banyak, maka wajah-wajah legislator aktif dan masih mencaleg tersebut, meski telah melalui proses reproduksi, akan tetap menjadi “hidangan basi” dalam daftar menu caleg pada Pemilu Legislatif tahun 2014. Sebagai caleg daur ulang, caleg dari anggota DPR RI memang diuntungkan karena mereka sebagai pertahana atau incumbent. Selain itu masyarakat yang punya hak pilih, juga tak terjamin berkapasitas sebagai pemilih yang cerdas, sehingga bisa memilah sebelum menentukan pilihan. 

Semuanya tergantung masyarakat yang punya hak pilih, apakah masyarakat negeri ini kelak bisa menilai dan memilah mana caleg “hidangan basi” dan mana yang bukan hidangan basi, karena yang basi dan yang  belum basi bercampur dalam daftar menu caleg yang dihidangkan untuk dipilih. (***)

Minggu, 28 April 2013

Langkah Konyol Sang Profesor




Langkah Konyol Sang Profesor

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Tentu kita masih ingat dengan Kasus Korupsi Proyek Sismibakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) di Kementrian Hukum dan HAM.  Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MSc mantan Menteri Hukum dan HAM dijadikan Kejaksaan Agung sebagai tersangka, Meski saat itu ditetapkan sebagai tersangka, namun Profesor Yusril, tak sempat diseret ke Pengadilan, karena sebelum sang Profesor diseret ke pengadilan, sejumlah tersangka utama yang telah diseret terdahulu dalam kasus tersebut dibebaskandari jeratan hukuma. Diantaranya Prof Romli Atmasasmita SH. LLM (Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum) diputus lepas dari tuntutan di tingkat Kasasi. Lalu Yohannes Woworuntu (Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika) diputus bebas di tingkat peninjauan kembali. Kemudian menyusul Zulkarnaen Yunus (Juga mantan Dirjen AHU) diputus bebas di tingkat kasasi.

Yang menarik terkait kasus Sismibakum, yaitu saat Yusril mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), tak lama setelah dirinya ditetapkan tersangka oleh Kejagung. Gugatan Yusril terkait legalitas Jaksa Agung Hendarman Supandji yang saat menetapkannya sebagai tersangka, masih menjabat sebagai Jaksa Agung, sementara masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Pertama Pimpinan Presiden SBY telah berakhir. 

Putusan MK memenangkan sebagian gugatan Profesor Yusril. Dalam putusannya MK menyatakan Jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya jabatan Presiden RI dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet.. Artinya Jabatan Hendarman Supandji telah berakhir sejak Kabinet Indeonesia Bersatu Jilid I dibawa pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bubar pada tanggal 20 Oktober 2009. 

Kendati penetapan status tersangka Yusril dianggap sah berdasarkan Putusan MK, namun keberhasilan Yusril via gugatannya ke MK telah membuat Hendarman Supandji tak lagi menjadi Jaksa Agung. Kemenangan yang luar biasa bagi Yusril, karena gugatannya itu menyangkut perlawanannya menghadapi pemerintah. 

Tak hanya itu saja kemenangan Sang Profesor melawan pemerintah melalui gugatan yang diajukannya, terkait dengan kasus Sisminbakum. Pakar Hukum Tata Negara itu, juga berhasil membuat kejagung terjepit, dan diperintahkan untuk menghadirkan Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri sebagai saksi meringankan jika memang kasus Sisminbakum dilanjutkan prosesnya. 

Kemenganan Yusril berikutnya,, masih terkait kasus Sisminbakum.  Guru besar yang merangkap advokat tersebut berhasil mengkuakan kelemahan dasar dan pertimbangan hukum surat penetapan pencekalan terhadap dirinya oleh Kejagung. Yusril berhasil mengungkap surat penetapan pencekalan dibuat dengan cara copy pasti oleh Kejagung sehingga pertimbangan hukumnya masih menggunakan peraturan yang sudah tak berlaku lagi. Dan pihak kejagung tak bisa mengelak dan mengakui surat penetapan tersebut dibuat dengan cara copy.

Kehebatan Yusril dengan berbuah kemenangan ketika bersoal di ranah hukum melawan pemerintah tidak hanya di Kasus Sisminbakum saja. Kasus hukum lain yang dimenangkan yaitu keberhasilan Yusril mementahkan kebijakan pemerintah dalam hal pengetatan remisi bagi koruptor. Yusril berhasil juga berhasil membuat Presiden SBY dan Mendagri menunda pencopotan Gubernur Bengkulu (non aktif) Agusrin M Najamuddin. Melalui gugatannya  ke PTUN, Yusril sukses membuat Partai Bulan Bintang (PBB) yang sebelumnya dinyatakan KPU tak lolos verifikasi, akhirnya terdaftar sebagai parpol peserta pemilu. 

 
Sejumlah keberhasilan Profesor Hukum Tata Negara itu dan mantan Menteri SekretarisNegara itu, tentunya membuat tercengang dan terkesima banyak kalangan. Mantan Kabagreskrim Polri Komjen Polisi Purn Susno Duadji pun tak ragu menggantungkan nasibnya kepada Sang Profesor. Terpidana Kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan Kasus Korupsi Dana Pengamanan Pilkada Jawa Barat tersebut, mungkin melihat tak ada advokat yang lebih hebat selain daripada Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MSc, sehingga tanpa pikir panjang sang Jenderal tersebut masuk menjadi kader bahkan jadi Caleg DPR RI Parta Bulan Bintang yang pendiri dan Ketua Dewan Syuronya adalah sang Profesor tersebut. 

Kali ini, naas bagi Profesor yang berperan memberi advis kepada Suharto agar mundur sebagai presiden saat bergulirnya tuntutan reformasi pada tahun 1998. Keberadaan Susno Duadji di PBB telah membuatnya berposisi  mem back up Susno Duadji saat hendak dieksekusi oleh kejaksaan. Alasan Susno Duadji menolak dieksekusi yakni Putusan MA yang menolak kasasinya tanpa ada perintah untuk menahan, itu pula yang menjadi statement Yusril mendukung penolakan yang dilakukan Susno Duadji. Kedatangan  Yusril di kediaman Susno Duadji tak lama setelah tim eksekutor kejaksaan datang, juga berpengaruh menggagalkan eksekusi terhadap Susno Duadji. Apalagi saat itu Susno Duadji tak mau keluar kamar sebelum Yusril datang ke kediamannya. Bahkan saat diamankan dan dibawa ke Mapolda Jabar, Yusril setia mendampingi Susno Duadji. Dalam hal ini Profesor Yusril dengan kekuatan massa PBB tak bisa dipungkiri telah melindungi Susno Duadji dari upaya eksekusi yang dilakukan kejaksaan. 

Ironisnya meskipun Susno berhasil terhindar dari eksekusi, Namun banyak kalangan menilai peran Yusril yang nyata mem back up penolakan Susno, membuat kalangan tak simpati dengan Profesor Yusril, termasuk kepada PBB. Berbagai tanggapan di media memojokkan sikap Yusril yang melindungi Susno Duadji, dan juga itu berpengaruh kepada eksistensi PBB. Simpati publik pun tampaknya sirna terhadap Profesor Yusril terkait perannya mem back up Susno Duadji ketika hendak dieksekusi. 

Nampaknya keterlibatan Profesor Yusril mem back up Susno Duadji yang merupakan terpidana korupsi, merupakan langkah konyol yang dijejakkan sang Profesor Y. Betapa tidak sebagai sosok yang selama ini di nilai ekspert sebagai pakar hukum, maupun sebagai pimpinan partai politik, Yusril  dinilai telah mengganggu upaya penegakan hukum. Terlepas dari adanya celah hukum atas putusan MA sehingga Susno Duadji menolak dieksekusi, tentunya saat itu tak kapasitas Yusril mem back up Susno Duadji, saat hendak dieksekusi oleh Kejaksaan, sebab Yusril saat itu posisinya bukan sebagai kuasa hukum atau pengacara Susno Duadji. Kalaupun sebagai Ketua Dewan Syuro PPB yang nota bene  pimpinan partai dimana Susno Duadji merupakan kadernya,  juga tak ada hak Yusril mem back up penolakan kadernya yang telah ditetapkan sebagai terpidana korupsi, saat hendak di eksekusi. Tegasnya tak ada hak dan wewenang Yusril mendampingi Susno Duadji baik saat dibawa ke Mapolda dan saat berada di Mapolda, karena persoalan yang menimpa Susno adalah persoalan hukum dan bukan persoalan yang ada kaitannya dengan PBB. 

Sulit dan tak bisa disangkal kalau posisi Yusril saat itu  nyata bahwa memang mem back up Susno Duadji. Keberhasilan Yusril mem back up Susno Duadji sehingga gagal dieksekusi oleh Kejaksaan, nilai keberhasilannya tak sama dengan seperti keberhasilan Yusril mengalahkan pemerintah dalam berbagi kasus sebelumnya yang membuat Yusril mendapat apresiasi. Yusril punya peran menggagalkan eksekusi, tapi itu bukan ternilai sebuah kemenangan seperti kemenangan atau pun keberhasilan ketika Yusril menghadapi pemerintah dalam sejumlah persoalan hukum seperti yang dilakukan Yusril sebelumnya. Kekonyolan Yusril adalah posisinya mem back up Susno Duadji yang telah berstatus seorang koruptor. Tentu yang lebih konyol dan sangat disesalkan dari sikap Yusril yang dikenal sebagai seorang profesor, pakar hukum dan pemimpin tertinggi di PBB, yang segampang itu menerima Susno Duadji menjadi kader PBB serta menjadikannya sebagai Caleg DPR RI dari PBB, padahal sejak awal diketaahuinya Susno Duadji terlibat korupsi, Yang pasti langkah konyol Profesor Yusril tersebut punya efek negatif terhadap PBB. (***)

Klik dan Baca Artikelini di :



Kamis, 25 April 2013

PBB dan Polisi Lindungi Koruptor




PBB dan Polisi Lindungi Koruptor

Oleh : M Alinapiah Simbolon


Penolakan Susno Duadji Duadji selaku terpidana Kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan Kasus Korupsi Dana Pengamanan Pilkada Jawa Barat, ketika hendak dieksekusi, oleh pihak kejaksaan Tinggi DKI dibantu Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Negeri Bandung, telah mengusik pelaksanaan penegakan hukum di republik ini. Penolakan atas penjemputan paksa yang dilakukan ekskutor kejaksaan di kediamannya Rabu, 24 April 2013, berlangsung alot dan sempat terjadi perang argumen antara pihak kejaksaan dengan Susno Duadji. Akibat penolakan tersebut akhirnya eksekusi di kediaman Susno gagal dilakukan kejaksaan.  Susno Duadji selanjutnya minta pengamanan kepada pihak kepolisian, dan akhirnya Susno Duadji dibawa ke Mapolda Jawa Barat. Di Mapolda Jabar, upaya kejaksaan untuk melakukan eksekusi juga gagal, dan setelah itu Susno Duadji minta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Yang menjadi persoalan atas penolakan Susno Duadji ketika hendak dieksekusi adalah persoalan dasar hukum eksekusi yaitu Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Susno Duadji. Satu sisi pihak kejaksaan melakukan eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pihak Susno Duadji. Dan sesuai Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, maka selaku terdakwa Kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan Kasus Korupsi Dana Pengamanan Pilkada Jawa Barat, Susno Duadji harus dihukum selama 3 tahun 6 bulan penjara. 

Sementara Susno Duadji yang ngotot menolak untuk dieksekusi, berargumen bahwa putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasinya, tidak mencantumkan perintah penahanan 3 tahun 6 bulan penjara. Ditegaskan mantan Kabag Reskrim Polri dan mantan Kapolda Jawa Barat tersebut, bahwa putusan Maahkamah Agung tersebut hanya tertulis menolak permohonan kasasinya dan membebankan biaya perkara kepadanya sebesar Rp 2.500. Selain itu Susno Duadji juga menilai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah cacat hukum karena salah menuliskan nomor putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dalam hal ini Susno Duadji menganggap kasusnya tersebut telah selesai.

Penolakan itu dilakukan karena Susno Duadji melihat ada celah yaitu ketidaktegasan dari putusan Kasasi Mahkamah Agung. Dan itu dimanfaatkan Susno Duadji sebagai upaya penghindaran dari hukuman badan. Jika memang ada celah, bisa saja Susno  Duadji berupaya memanfaatkan celah tersebut, apalagi dia adalah mantan penegak hukum dan perwira tinggi polisi dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi serta jabatan terakhir Kabag Reskrim Polri. 

Namun yang sangat disayangkan upaya penolakan dilakukan Susno Duadji saat hendak di eksekusi oleh Kejaksaan, tak semata memanfaatkan celah hukum, yang dianggapnya ada dari putusan Mahkamah Agung. Susno Duadji juga nyata-nyata memanfaatkan kekuatan partai politik untuk mem back up penolakan eksekusi terhadap dirinya. Selain itu Susno juga terkesan memanfaatkan pihak kepolisian.

Sebagai kader (meskipun kader baru) di Partai Bulan Bintang. Susno Duadji melibatkan kekuatan massa Partai Bulan Bintang. Tak bisa disangkal jika penolakan eksekusi tersebut telah diback up kekuatan massa dari Partai Bulan Bintang. Sebanyak 50 orang dari Brigade Hizbullah yang merupakan Ormas Partai Bulan Bintang, telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kediaman Susno Duadji, di Jalan Dago Pakar Raya No 6 Kelurahan Mekarsalayu Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, sebelum tim eksekusi dari kejaksaan datang. 

Sejumlah pengurus termasuk Ketua DPW PBB Jawa Barat  Arif Budiman dan Sekretarisnya Tatus Sudarta,  serta sejumlah pengurus teras DPC PPB se Jawa Barat  juga hadir di kediaman Suno Duadji. Bahkan informasinya Susno berani keluar kamar setelah Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra dating ke kediaman Susno. Sebagaimana dikatakan Sekretaris DPW PPB Jawa Barat Tatus Sudarta, bahwa kehadiran massa Brigade Hizbullah di rumah Susno Duadji juga untuk mengamankan Susno Duadji yang dikatakannya sebagai asset Partai Bulan Bintang, Ditegaskannnya juga bahwa kehadiran massa Brigade Hizbullah atas instruksi langsung pimpinan PBB Yusril Ihza Mahendra. 

Kehadiran Yusril Ihza Mahendra saat berlangsungnya perdebatan antara pihak kejaksaan dan Susno Duadji, menguatkan bahwa PBB memang mem back up Susno Duadji. Apalagi Yusril dengan tegas mengaku kepada wartawan bahwa kapasitasnya hadir di kediaman Susno Duadji sebagai Ketua Majelis Syuro PPP dan bukan sebagai Pengacara Susno Duadji.  Selain itu argumen pembelaan dari Yusril, sebagai bentuk dukungan penolakan eksekusi terhadap Sudno Duadji yang dicetuskannya kepada wartawan, sama dengan argumen yang dicetuskan Susno Duadj saat menolak eksekusi, merupakan pernyataannya sebagai Ketua Majelis Syuro PBB. 

Kehadiran polisi di rumah Susno Duadji juga terkesan tak netral. Polisi cenderung berpihak kepada Susno Duadji. Permintaan Susno Duadji untuk diamankan seketika dikabulkan pihak kepolisian, malah permintaannya untuk dibawa ke Mapolda Jabar juga dikabulkan pihak kepolisian. Padahal jika polisi menempatkan posisinya sebagai pihak keamanan seharus eksekusi berjalan dengan lancar,  dan kalau pun ada upaya perlawanan untuk menghalangi eksekusi, polisi yang berada di kediaman Susno Duadji diminta atau tak diminta harus menghalangi upaya penghalangan eksekusi dari pihak Susno Duadji, karena eksekusi yang dilakukan jaksa adalah upaya penegakan hukum yang merupakan amanat peraturan perundang-undangan. Sangat aneh rasanya jika polisi melakukan pembiaran ketika ada upaya menghalangai penegakan hukum. Ironisnya sikap polisi terkait pelaksanaan eksekusi terhadap Susno Duadji, sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan sikap polisi saat memeriksa Susno Duadji dalam kasus yang sama, yaitu ketika kasus ini masih ditangani polisi. Malah saat kasus in masih diitangani polisi, Susno Duadji sempat dipaksa polisi untuk diperiksa.

Pihak Polda Jabar melalui Kabid Humas Polda Jabar Kombes Martinus Sitompul menjelaskan bahwa pihaknya memberikan perlindungan kepada Susno Duadji saat hendak dieksekusi karena sesuai pasal 12 ayat 3 UU No 2 Tahun 2012 Tentang Polri, dinyatakan bahwa tugas Polri adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat baik jiwa dan raganya. Pernyataan Kabid Humas Polda Jabar tersebut, justru memposisikan polisi tak netral dan terkesan melindungi Susno Duadji yang saat itu posisinya sebagai terpidana kasus korupsi yang hendak di eksekusi, bukan masyarakat yang pantas untuk dilindungi karena terancam jiwa dan raganya. 

Pihak kepolisian juga berargumen bahwa polisi betindak netral dan berupaya mengamankan situasi dan membawa Susno Duadji ke Mapolda  Jabar uintuk mencegah terjadinya benturan, karena saat hendak dilakukan dieksekusi situasi di kediaman Susno tak kondusif karena ada dua kelompok di kediaman Susno Duadji yaitu personil kejaksaan yang akan melakukan eksekusi dan kelompok ormas yang berupaya melindungi Susno Duadji. Hal itu kemudian ditegaskan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, bahwa Polda Jawa Barat tidak berupaya menghalang-halangi eksekusi. Pihak Polda Jabar dijelaskan Kapolri hanya melaksanakan tugas melakukan pengamanan untuk menghindari bentrok antara tim jaksa eksekutor dengan pihak Susno Duadji, sebab kedua kubu sempat bersitegang karena Susno Duadji menolak eksekusi. 

Okelah, jika demikian alasan polisi, dan bisa diterima akal kalau Susno Duadji diamankan ke Mapolda Jabar untuk menghindari terjadinya benturan. Anehnya, setelah saat di Mapolda Jabar ternyata eksekutor dari kejaksaan yang tetap berupaya mengeksekusi Susno Duadji, juga tak berhasil  melakukan eksekusi,  padahal secara logika jelas tak mungkin terjadi benturan jika dilakukan eksekusi dilakukan setelah Susno Duadji di Mapolda Jabar. Jadi sangat berasalan jika muncul tudingan polisi tidak netral dan terkesan melindungi Susno Duadji dari upaya eksekusi.

Putusan MA ditafsirkan berbeda pihak Susno Duadji dan dijadikan alasan penolakan eksekusi terhadap dirinya, namun secara substantif putusan MA yang menolak kasasi Susno Duadji tak serta merta membebaskan Susno dari jeratan hukuman, sebab amar putusan MA, yang ditafsirkan tak tegas oleh Susno, juga tak menegaskan adanya pembatalan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukum Susno Duadji selama 3 tahun 6 bulan penjara.  Intinya Susno Duadji sudah pantas disebut sebagai terpidana kasus korupsi alias koruptor. 

Karena Susno Duadji telah dianggap sebagai koruptor, maka upaya pem back up an sebagai bentuk pembelaan yang ditunjukkan PBB terhadap Susno Duadji yang juga kader dan calon legislatif  PBB, saat Susno Duadji menolak untuk dieksekusi, tak salah dianggap tindakan melindungi seorang koruptor. Informasi terkait adanya pembelaan ekstra dari PBB  saat Susno Duadji menolak eksekusi, telah dibaca, didengar dan disaksikan publik, Penilaian dan opini pun telah terbangun, intinya mencap PBB telah melindungi seorang koruptor. Cap sebagai partai pelindung koruptor adalah konsekwensi yang harus diterima PBB.

Demikian pula halnya dengan sikap polisi yang dinilai tak netral saat pelaksaan eksekusi terhadap  Susno Duadji. Meskipun berdalih dengan berbagai alasan, bahwa polisi tak menghalangi proses eksekusi, namun sikap yang dipertontonkan polisi terkait penolakan eksekusi oleh Susno Duadji, tekesan dinilai telah melindungi Susno Duadji yang notabene seorang koruptor dari upaya eksekusi yang telah dilakukan kejaksaan. (***)



Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA