Jumat, 18 Februari 2011

Hulman Sitorus, Walikota Yang Tak Berani Hadapi Kenyataan ( Tulisan/Artikel )

Hulman Sitorus

Walikota Yang Tak Berani Hadapi Kenyataan

Oleh : M Alinapiah Simbolon SH

Sukses yang didulang Hulman Sitorus bersama Koni Usmail Siregar, mendapatkan dukungan mayoritas suara rakyat, memang berhasil mendudukkan mereka di tahta kepemimpinan pemerintahan di kota Siantar. Meskipun akhirnya, telah menjadi rahasia umum kalau ternyata dukungan mayoritas suara yang membuat keduanya jadi pasangan penguasa, merupakan dukungan instant, karena mayoritas rakyat pemilik suara yang memilih mereka, merasa ditipu dan dibohongi, karena sebelumnya telah diiming dengan rangsangan berupa dana stimulus fiktif dalam bentuk voucher, yang ternyata tak kunjung dicairkan.

“ Apa boleh buat, nasi telah jadi bubur, dan penyesalan memang datangnya terlambat ”, begitulah ujar-ujar sebuah pepatah mengatakan. Penyesalan baik yang terbersit dihati maupun yang keluar dari mulut sebagian besar orang-orang yang mengaku memilih Hulman dan Koni, hanya tinggal penyesalan. Legalitas Hulman dan Koni sebagai penguasa, tak bisa dianulir, bahkan tak bisa lagi di judicial review kan oleh siapapun. Meskipun ramai-ramai rakyat mendeklarasikan kekecewaannya karena merasa sudah ditipu dan dibohongi Hulman dan Koni, anugrah sebagai penguasa yang punya kekuasaan, telah melekat pada diri mereka, telah diuji dan dimenangkan oleh kekuatan hukum, serta pengukuhan mereka sebagai penguasa pemerintahan telah di stempel, secara resmi, meskipun stempelnya sempat di tuding sebagai stempel palsu.

Namun demikian, disebalik itu, ada juga konsekwensi negatif yang diterima Hulman dan Koni, disaat keduanya masih dalam hitungan bulan berkuasa, yaitu tudingan dan cap sebagai penipu dan pembohong besar. Tudingan itu belakangan layaknya seperti telah melekat pada diri mereka. Meskipun predikat sebagai penipu dan pembohong besar itu, tak dinobatkan atau tak dilantik secara resmi.. Tapi predikat itu secara de facto telah menjadi sebuah bukti, seiring dengan adanya pengakuan banyak orang yang kecewa, yaitu kecewa karena vouher yang dijadikan tiket untuk meraih kemenangan bagi Hulman dan Koni, dan sempat disimpan erat-erat oleh orang-orang yang memegang voucher itu, akhirnya menjadi voucher palsu ibarat cek kosong yang tak ada dananya.

Belakangan, tak hanya tudingan sebagai penipu dan pembohong besar yang melekat pada mereka karena janji palsunya. Selama dalam perjalanan kepemimpinan mereka yang masih dalam hitungan bulan, tudingan dengan embel-embel palsu-palsu lainnya juga terkuak dan dan kembali dikuakkan secara bertubi-tubi. Dan itu semua tertuju khusus kepada sang Walikota Siantar Hulman Sitorus, tudingan hal yang berbau palsu itu diantaranya tudingan menggunakan sample urine palsu dan darah palsu pada saat cek kesehatan Hulman Sitorus ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sampai dengan tudingan dugaan menggunakan ijazah palsu saat mencalonkan sebagai walikota. .Terlepas benar atau tidak, semua tudingan dengan embel-emberl palsu itu, muasalnya dari kekecewaanaan atas tak terealisasinya janji Hulman dan Koni, maupun akibat dari kebijakan Hulman yang membuat ada pihak lain yang kecewa.

Tak hanya itu, keharmonisan antara Hulman dan Koni juga dinilai banyak kalangan sebagai keharmonisan palsu, sebab ditenggarai kalau hubungan diantara keduanya sudah seperti musuh dalam selimut. Dan tanda-tandanya kearah itu juga terlihat pada beberapa momen acara tertentu, dimana mereka terlihat tak menunjukkan kedewasaan, karena masih menyempatkan diri saling sindir pada momen-momen acara tertentu. Disamping sempat beredarnya informasi bahwa Koni berniat menggulingkan Hulman dan berada dibalik pengungkapan darah dan urine palsu serta dibalik unjuk rasa yang dilakukan salah satu organisasi.

Selanjutnya kekecewaan terhadap kepemimpinan Hulman dan Koni selama menjalankan roda kekuasaan pemerintahan yang masih hitungan bulan itu, juga mendapat penilaian negatif dari berbagai kalangan. Hulman dan Koni dinilai tak menunjukkan tanda-tanda menuju perubahan, Keduanya masih hanya sebatas melakukan pencitraan, meskipun mereka berdua akan susah mengembalikan citra nya karena sudah terlanjur dicap sebagai penipu dan pembohong besar. Optimalisasi kinerja mereka masih hanya berkutat pada sidak ke instansi dan menghadiri acara-acara resmi maupun tak resmi, tanpa ada terobosan yang signifikan untuk perubahan kota Siantar disegala aspek. Bagaimana mereka bisa merealisasikan visi dan misi mereka yaitu “Menuju Siantar Mantap Maju dan Jaya ”, kalau awal kinerjanya saja tak ada terobosan yang innovatif untuk mengarahkan dan menggairahkan agar membuat Siantar menjadi mantap, menjadi maju dan menjadi jaya.

Yang sangat disayangkan, Hulman ternyata bukan pemimpinan yang kooperatif dan komunikatit. Malah reaksinya selalu bernuansa arogansi, terutama menyikapi tudingan-tudingan dengan akhiran palsu yang diarahkan kepadnya. Acapkali dari mulutnya terlontar cuap-cuap yang membuat geram orang banyak, terutama orang-orang yang telah merasakan dikecewakannya. Beraninya dia berucap, kalau saat mencalonkan diri sebagai Walikota, dialah calon yang paling sedikit mengeluarkan uang dibandingkan dengan calon lain, dan dia malah mengaku kalau dia lebih hebat dari professor karena calon yang dikalahkannya saat pemilihan salah sartunya bertitel profesor.

Selain itu Hulman juga blak-blakan mengaku tak suka dengan media yang yang kerap membuat pemberitaan kritis, khususnya media lokal, bahkan terang-terangan mengaku tak mau membaca media lokal Tak hanya itu, sang walikota itu pun dengan tegas mengaku sebagai sosok walikota yang anti di demo, dengan mengatakan takkan menggubris dan tak menanggapi penyampaian aspirasi melalui aksi demo atau unjuk rasa yang dilakukan masyarakat.

Jika ditelusuri, sikap Hulman yang demikian, selain sebuah wujud dari sikap arogansinya, juga merupakan sikap kekhawatirannya terhadap berbagai gelombang tudingan negatif terhadap dirinya . Sebenarnya dia menyadari kalau citranya diawal pemerintahannya sudah anjlok dimata banyak orang terutama orang-orang yang memilihnya saat pencalonan, akibat kekecewaan terkait janji palsunya itu. Dia juga menyadari kalau dia takut dengan tudingan sebagai penipu dan pembohong besar akibat voucher yang tak dicairkannya itu, dan dia tahu kalau itu telah menjadi bumerang terhadap dirinya dan bisa menghancurkan kredibilitasnya sebagai pemimpin besar kota Siantar. Perimbangan itu pula lah, maka Hulman sejak awal mengklaim sebagai anti demo dan anti media yang memberitakan masalah vouchernya itu

Tentu alangkah naifnya seorang Hulman yang sudah walikota, karena vochergate itu ditambah borok kepalsuannya lainnya, yang belakangan terkuat, akhirnya membuat dia mengambil sikap menutup ataupun membatasi komunikasi dengan masyarakat dan media. Memang harus diakuainya kalau itu merupakan kelemahannya dan menjadi bumerang terhadap dirinya. ataupun menjadi senjata buat orang lain untuk menghancurkan kredibilitasnya. Tapi alangkah gobloknya sorang walikota kalau karena boroknya akhirnya membatasi diri dengan mengklaim dirinya sebagai anti demo dan anti media. Itu namanya dia memelihara umur boroknya itu untuk terus jadi bumerang baginya dan jadi senjata orang lain untuk mengkonyolkannya. Tapi mungkin saja langkah dan sikap seperti itu yang diambil seorang Hulman yang walikota Siantar itu adalah yang terbaik menurutnya, meskipun itu merupakan hal yang tergoblok yang pernah dilakukan seorang walikota. Yang pasti sikap yang dipertontonkan Walikota Hulman Sitorus yang membalut berbagai kepalsuannya dengan cara seperti itu adalah sikap seorang walikota yang tak berani menghadapi kenyataan.

Penulis adalah :

Ombudsman Harian Metro 24 Jam / Siantar 24 jam

Dan Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo) Siantar Simalungun



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA