Jumat, 30 April 2010

Wabah “ Cair ” Menjangkiti Pemilukada Siantar (Tulisan / Artikel)

Wabah “ Cair ” Menjangkiti

Pemilukada Siantar


Oleh : M. Alinapiah Simbolon SH


Pernah suatu ketika penulis mendengar ocehan seorang bocah 7 tahun kepada ayahnya. “ Yah….. tadi ada acara calon walikota, yang datang dikasi duit..... pokoknya ‘cair’ lah yah ! Kalau ayah tadi datang pasti dapatan,” itu adalah sepenggal laporan seorang bocah pada ayahnya.

Laporan sang anak yang bijak dan cepat nangkap tersebut kepada ayahnya, menurut penulis, adalah sebuah diskripsi betapa dahsyatnya gaung bagi-bagi uang yang dilakoni oleh calon walikota untuk medapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat menjelang pemilukada, sampai-pai bocah ingusan pun tahu istilah “cair”. Ini adalah sebuah imbas negatif akibat kondisi proses pembelajaran politik yang sudah menyimpang dari etika demokrasi.

Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kota Siantar, acara yang digelar calon walikota dengan titel sosialisasi, silaturrahmi, tatap muka atau apapun namanya, dapat dipastikan akan dihadiri warga secara berbondong-bondong. Sebab di acara seperti itu terselip sebuah harapan dari masyarakat yang datang, akan mendapat saweran dari sang calon. Seiring berjalannya waktu dan semakin dekatnya jadwal kontes pertarungan politik dalam rangka meraih kekuasaan di kota ini, maka intensitas dan frekwensi acara seperti itu akan semakin banyak dan semakin tinggi, dan sudah barang tentu akan semakin banyak pula peluang masyarakat dapat saweran.

Dalam kondisi seperti ini, acara yang gelar ataupun yang dihadiri calon, bagi masyarakat kebanyakan jadi prioritas untuk dihadiri.. Kehadiran masyarakat datang ke acara seperti itu bukan lagi untuk menilai sang calon, apakah memang berbobot dan pantas untuk dipilih menjadi imam kota Siantar, tapi yang menjadi target utama adalah apakah dalam acara itu ada sesi pencairan (bagi-bagi uang) atau tidak.

Harus kita akui, sekarang ini sebagian kalangan masyarakat juga sudah apriori dalam menentukan pilihannya. Tak ada lagi penilaian secara logika, ataupun penlaian secara hati nurani. Mana yang “cair“ itulah yang kemungkinan akan dipilih. Bahkan pemikiran seperti itu semakin mengkristal, mana yang “cair “ nya lebih besar, itu yang pasti dipilih.

Ironis memang dengan pemikiran masyarakat pemilih seperti itu, mungkin kondisi di kota Siantar sama seperti didaerah lain. Tapi yang jelas kondisi seperti ini, adalah akibat ambisi besar para calon, yang ingin meraih kursi kekuasaan, sehingga cara apapun dilakukan agar terpilih, termasuk dengan trik yang konon katanya memang efektif, yaitu bagi-bagi uang. Trik itu harus diakui memang sudah mentradisi sejak lama. Dan kemudian dengan kondisi masyarakat yang kehidupannya sangat memprihatinkan, trik cari simpati yang dilakukan para calon untuk meraup dukungan dengan cara bagi-bagi uang itukian mentradisi dan direspon cepat oleh masyarakat. Dalam situasi seperti ini, kedua belah pihak masing-masing punya target, para calon menargetkan dapat dukungan suara, dan masyarakat pun menargetkan akan mendapat uang, dan ada yang menargetkan akan memilih jika “cair “ dari calon.

Mungkin dikota Siantar kondisinya terlihat lebih parah. Wabah “cair“ semakin menjangkiti pemilukada Kota ini. Betapa tidak, sang incumbent yang berambisi besar untuk berkuasa kembali, justru lebih proaktif dan lebih terbuka melakukan trik bagi-bagi uang kepada masyarakat. Tidak hanya bagi uang, bagi-bagi barang seperti gelas pun jauh sebelumnya sudah dilakukan, termasuk memanfaatkan pembagian beras raskin sebagai bentuk mencari dukungan. Apapun ceritanya target untuk terpilih bagi sang incumbent tampaknya sudah menjadi harga mati. Karena jika tidak terpilih sudah pasti akan berbahaya bagi dirinya, karena kemungkinan besar “maut” telah menunggunya..

Segala kemampuan, termasuk fasilitas jabatan walikota yang masih melekat pada dirinya pun dikerahkannya agar bisa menang dalam pemilihan nanti. Acara pemerintahan pun dimanfaatkannya dan uang pun bertebaran di acara itu. Tak hanya itu, sang incumbent melalui tim suksesnya telah menebarkan angin surga, bahwa pihak sang incumbent secara vulgar berani menggulirkan uang nilainya sangat fantastis kepada setiap pemilih yang menjatuhkan pilihan kepada dirinya.

Calon lain tampaknya juga tak ketinggalan mengambil langkah melakukan bagi-bagi ke masyarakat. Yang lebih seru lagi, ternyata tidak hanya sang incumbent yang berani bermanuver akan membeli suara dengan harga yang fantastis. Ada juga calon lain juga turut melakukannya, bahkan ada calon yang mengaku berani mengulirkan dana yang melebihi jumlah yang dijanjikan incumbent, jika pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tersebut, dan kabar itu telah menyebar luas dikalangan masyarakat.

Dengan kondisi seperti ini, sudah barang tentu momentum pencairan akan berlangsung lebih semarak. Istilah “Cair” pun semakin mewabah ditengah-tengah masayarakat. Hal itu memang sebuah realita yang terjadi saat ini. Sepertinya sebagian masyarakat sudah tak perduli kalau proses demokratisasi telah ternodai oleh wabah “Cair” yang saat ini telah merasuki jiwa dan pikiran masyarakat. Tapi yang pasti proses pemilukada akan tetap berjalan meskipun dinodai oleh wabah “cair” tersebut. Karena meskipun sudah aturan yang melarang cara-cara seperti itu, dan diharapkan bisa menjadi obat mujarab untuk memberantas wabah “cair” itu, ternyata belum mujarab. Tapi kita masih berharap, karena bisa saja pada saat pada saat hari pencoblosan, wabah “cair” itu memang tak efektif mempengaruhi masyarakat, jika timbul kesadaran masyarakat pemilih untuk menggunakan haknya secara sadar tanpa dipengaruhi oleh uang. Atau paling tidak masyarakat berani mengambul sikap, uang tetap diambil, tapi pilihan bukan oleh pengaruh uang.


Penulis

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

Siantar-Simalungun


Catatan :

Telah terbit di Harian Siantar 24 Jam, Selasa tanggal 27 April 2010



Menyerahkan Trophy Mini Cross

Saat Menyerahkan Trophy kejuaraan Mini Cross Se Sumut

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA