Kamis, 26 Maret 2009

* HELATAN DEMOKRASI YANG MEMBINGUNGKAN ( A r t i k e l )

HELATAN DEMOKRASI YANG MEMBINGUNGKAN

Oleh : M. Alinapiah Simbolon, SH


Memang hingga detik ini masih ada persoalan yang menjadi ganjalan menuju proses pemilihan umum, yakni belum ada kepastian aturan caleg terpilih (calih) pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut, serta penilaian atas kinerja penyelenggara Pemilu yang dianggap masih kurang maksimal, sementara Hari Mencontreng sudah semakin dekat, menyikapi hal itu, lalu muncul pula pendapat dari berbagai kalangan meminta ditundanya pemilu dan ini belakangan mewacana kepermukaan. Namun bagi para kompetitor politik yang ikut bertarung di Pemilu kali ini, hal itu seakan tak mempengaruhi proses perjalanan menuju puncak helatan demokrasi. Seolah tampak tak perduli apakah Aturan Caleg Terpilih mau keluar atau tidak, yang penting bagi para caleg adalah memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit lagi dengan meningkatkan intensitas gerakan politiknya dalam rangka mendulang suara dengan satu tekad yaitu menang dan meraih suara terbanyak di hari H.

Tanggal 9 April hanya menunggu hitungan hari, Rakyat Indonesia terkhusus para kompetitor politik diantaranya partai politik dan para penghuni partai politk yang berpredikat caleg (Calon Legislatif) untuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi dan DPR RI serta Calon non partai alias calon perseorangan untuk DPD, sudah pasti fokus menanti kehadiran tanggal keramat tersebut, karena tanggal itu merupakan tanggal penentu nasib mereka sebagai peserta yang ikut mempertarungkan diri di liga politik nasional yang diselengarakan 5 tahun sekali itu.

Bagi hampir semua kalangan, tentunya hasil pertarungan di tanggal 9 April nanti akan menjadi informasi aktual dan pasti menjadi issu menarik untuk dibahas dan diperbincangkan secara nasional Bayangkan saja lebih dari 500.000 atau setengah juta jiwa jumlah para pertarung politik yang berbandrol dan bermerek caleg, dalam kondisi sport jantung menanti hasil contrengan sekitar 171,2 juta rakyat Indonesia yang telah ditetapkan sebagai pemilih. Apakah mereka akan berhasil menduduki 17.792 kursi yang telah disediakan atau tidak ( dengan perincian 560 kursi DPR, 132 kursi DPD dan 17.100 kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota), itu semua terpulang dan tergantung kepada hasil contrengan 171,2 juta rakyat pemilih yang hadir di TPS pada hari H. Berapapun jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih pada tanggal 9 April, yang pasti hasilnya tetap menentukan nasib lebih 500.000 juta caleg tersebut.

Dalam pemilu yang baru pertama kali ini dilakoni dengan mekanisme demokrasi yang sesungguhnya terutama tanpa menggunakan nomor urut, sangat wajar melahirkan tingkat ambisi yang tinggi dari para caleg, dan hasilnya juga sudah pasti akan melahirkan sebuah konsekwensi terpahit yang akan dialami oleh sekitar 482 ribu jiwa lebih caleg yang tak mendapat kepercayaan rakyat. Berarti dengan demikian jauh lebih besar persentase jumlah caleg (hitungan kasarnya sekitar 98 persen lebih) yang keok alias tetap menyandang gelar bekas caleg, dan hanya sekitar 17.792 jiwa caleg (sekitar kurang dari 2 persen) dari sekitar 500 ribu caleg, yang akan tersenyum manis karena berhasil meraih kursi panas legislatif alias menjadi pejabat negara dengan embel-embel wakil rakyat terhormat.

Tragis memang membayangkan dan rakyat awam mungkin bisa dibikin bingung jika menghitung-hitung budget yang terbuang sia-sia, dan sangat sulit rasanya untuk menghitung secara terperinci maupun secara global berapa besaran nominal pundi uang yang keluar dari kantong para caleg tereleminasi yang jumlahnya sangat fantastis yaitu 482 ribu lebih caleg. Yang jelas rupiah yang telah keluar dan tak terhitung jumlahnya itu hanya

dikenang sebagai biaya ambisi politik yang gagal dari para caleg, dan kalau boleh sedikit agak guyon yaitu biaya yang telah mengucur yang sebahagian besar terbuang untuk kepentingan jual tampang melalui iklan, ternyata hanya efektif untuk membeli gelar “Mantan Caleg” yang resmi disandang setelah kalah dikompetisi pemilu.

Mungkin hanya segelintir dari caleg yang kalah akan menganggap sebagai hal yang biasa dalam sebuah pertarungan di ranah politik, dan itupun tentu bagi para caleg terkatagori berkantong tebal dan siap menerima kekalahan dan dengan segala macam kerugiannya. Namun apakah demikian bagi caleg diluar katagori seperti itu ? terutama para caleg yang menganggap kursi legislatif sebagai lowongan kerja yang sangat menjanjikan sehingga berjuang mati-matian dengan mengorbankan segala sesuatu untuk meraihnya. Tentu kita masih akan meraba apa yang akan terjadi. Mungkin untuk sementara kita hanya bisa berprediksi bahwa helatan demokrasi kali ini membingungkan, ataupun akan melahirkan hal yang membingungkan.

Sebenarnya banyak aspek yang membuat bingung, diantaranya bingung melihat amburadulnya persiapan penyelenggaraan pemilu termasuk aturan caleg terpilih yang masih mengambang dan tak jelas, bingung melihat banyaknya partai peserta pemilu beserta pampangan para calegnya dan bingung siapa yang mau dipilih serta bingung memprediksi siapa yang terpilih, bahkan tidak hanya kita yang bingung, negara luar juga bingung melihat pemilu kita dan dianggap sebagai pemilu yang terumit karena melibatkan sekitar 9, 4 juta orang sebagai penyelenggara pemilu. Dan hal yang membingungkan lainnya mungkin akan terjadi dan perlu menjadi perhatian adalah bingungnya para caleg, karena kemungkinannya banyak para caleg yang akan bingung sekaligus linglung jika tak terpilih.


Penulis adalah

Direktur Eksekutif Government Monitoring (GoMo)

dan Vocal Point, Institute for Judicial Monitoring (IJM)

Siantar-Simalungun

e-mail : m.alinapiahs@yahoo.com

http//www.ali-dolisimbolon.blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Running Teks ANTARA


Berita Terkini dari ANTARA